March 13, 2014

Urgensi FIB di Unila

Oleh Hardi Hamzah

Hardi Hamzah
PEDANG emas yang dikibaskan Lampung Peduli tentang keinginan untuk mendirikan fakultas ilmu budaya (berikutnya dibaca FIB) selayaknya kita sambut dengan kibasan hangat. Mengapa saya sebut sebagai kibasan pedang emas? Sebab, kilaunya kelak bisa dirasakan dalam refleksi yang konkret bersama turunannya, semacam Lampungnologi dan beberapa turunannya sampai pada usaha antisipatif terhadap antropologi budaya.

Lebih jauh lagi, menurut hemat penulis, bila FIB didirikan, tranformasi budaya terus mengalir bersamaan globalisasi dan tentu kita harapkan tidak hanya sebagai filter secara normatif terhadap akulturasi budaya yang muncul. Sebab, bila standarnya sedemikian ini, selain klise, akhirnya FIB hanya terseok pada teks book thinking.

Bagi penulis, dasar-dasar utama upaya mendirikan FIB, stimulasinya selain link and match antara teori dan realitas nilai, lebih jauh lagi ruang lingkup, yang pada gilirannya menyangkut silabus dan epistemologi sains sosial.

Urgensi berdirinya FIB bagi penulis lebih pada semangat untuk menguatkan tiga aspek penting, yaitu attitude (sikap), behavior (perilaku), dan civilization (peradaban). Ketiga aspek itu kelak mampu vis a vis dengan globalisasi yang membawa teori round the world of pseudo alias gurita peradaban semu.
Penulis ajukan hal itu karena masyarakat Lampung yang multietnik dan sangat terbuka hampir terus-menerus mengaktualisasikan dirinya sebagai orang lain di provinsinya sendiri. Sederhananya, kita terkadang malu berbahasa Lampung dengan orang lain, ironinya dengan sesama kita orang Lampung.

Dengan berdirinya FIB di Unila, perbenturan nilai-nilai yang menyangkut sikap, perilaku, dan peradaban kelampungan sangat boleh jadi mampu menjadi katup strategi kultur dalam konteks keilmuan. Artinya, tentu FIB di Unila harus membedakan penyusunan silabusnya dengan FIB yang ada di universitas lainnya di Indonesia.

Arti penting FIB pada tingkat teoritik tentu sangat diperlukan. Kalau FIB terwujud, nilai-nilai praksis yang ada dalam masyarakat mampu kita terjemahkan lebih komprehensif lagi. Bukankah Indonesia mini yang kita banggakan ini telah mereduksi kelampungan itu sendiri meskipun kita tidak mau terlibat dalam diskursus otonomi dan keterbukaan.

Namun, FIB secara concerned mampu terhadap upaya menyikapi dan memaknai multietnik itu sendiri, selain tentu FIB tidak melupakan semangat antropologi yang kelak berkorelasi dengan arkeologi yang kemudian mampu mengidentifikasi kesejarahan Lampung.

Apabila terwujudnya FIB, sejalan dengan ruang lingkup yang penulis singgung di muka, kendala untuk mencari dosen tidak terlalu sulit karena arah utama yang penulis maksud lebih berwujud pada nilai-nilai empiris. Artinya, kita mengambil dosen yang juga empirik dalam perilaku sosial yang termanya jelas. Di sinilah kita bisa memanfaatkan pilihan dosen sesuai dengan semangat nilai dan empiris tadi.

Bisa saja dengan berdirinya FIB, berarti langsung mengembangkan kultur kelampungannya dalam konteks dosen. Kita bisa ambilkan dosen dari tokoh seniman Lampung, budayawan Lampung, dan beberapa sosok yang kapasitasnya mumpuni. Tentu kita simultan pula tidak mendasarkan staf pengajarnya harus magister atau doktor. Toh, dalam skala empiris, Lampung banyak sumber daya intelektual yang mumpuni dalam konteks kebudayaan dan turunannya.

Lebih jauh lagi, memahami proses pendirian perguruan tinggi seyogianya janganlah bersikukuh pada standar baku S-2, doktor, dan lainnya, tetapi yang terpenting visinya harus faktual dan misinya realistis dan kita sanggup memulainya.

Kalau kita tetap percaya, kebudayaan itu hasil gagasan, pemikiran, dan pengejawantahan kreatif manusia, kesulitan terhadap staf pengajar pastilah segera dapat kita atasi. Teristimewa pada tahap awalnya, kita bisa menunjuk orang-orang muda idealis dan kreatif, tentu bisa ditambah senior-senior lainnya yang juga mumpuni dan patut mengaktualisasikan lagi semangat keilmuannya.

Pada titik ini, penulis melihat berdirinya FIB adalah ruas nilai yang kelak mampu mengantisipasi atau setidaknya merespons kecenderungan perubahan yang ada di Lampung. Perubahan yang mana berjalan begitu pesat. Dengan demikian, eklarasinya bukan normatif, melainkan empiris, sehingga budaya kreatif dapat dikembangkan melalui akulturasi budaya dan kulturisasi nilai lain yang migran ke Lampung sebagai perlintasan Sumatera.

Dengan demikian, setidaknya terdapat tiga hal penting, yakni mengembangkan dan antisipatif terhadap good will orang-orang muda dan telah terjadi kesejarahan baru yang visioner untuk memahami Lampung secara baik. Kemudian, benturan nilai-nilai, baik etnis perkotaan dengan penduduk asli maupun benturan nilai-nilai dengan westernisasi, FIB sebagai filter dan media besar bagi pengembangan masyarakat Provinsi Lampung ke depan. n

Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation

Sumber: Lampung Post, Kamis, 13 Maret 2014

2 comments:

  1. mantap gan, main kesini gan "raih mimpimu bersama komunitas blogger lampung"
    http://bloggerkotabumi.blogspot.com/2014/03/raih-mimpimu-bersama-komunitas-blogger-lampung.html

    ReplyDelete
  2. mantap,,, raih mimpimu bersama komunitas blogger lampung
    http://bloggerkotabumi.blogspot.com/2014/03/ayo-raih-mimpimu-bersama-komunitas.html

    ReplyDelete