September 27, 2014

[Buku] Sastra Lisan Lampung sebagai Kearifan Lokal

Oleh Udo Z. Karzi**



Buku
Iwan Nurdaya-Djafar. 2013. Pepatah-Petitih Lampung. Sukadana: Dewan Kesenian Lampung Timur. xiii + 105 hlm.

SASTRA juga disebut  seni berbahasa dengan posisi yang sama dengan bentuk kesenian lainnya. Sastra tidak hanya dianggap sebagai alat penghibur, tetapi juga sebagai bentuk pengekpresian perasaan pengarangnya dengan menggunakan seni kebahasaan yang indah. Sastra dipertimbangkan sebagai karya seni karena pada pembangunan karya sastra para pengarangnya tidak memilih kata-kata secara acak tanpa memperhatikan nilai-nilai keindahan yang menjadi bagian wajib pada karya sastra. Seperti puisi, seorang penyair harus memperhatikan rima dan nada dari puisi yang dibangunnya dengan memilih kosakata yang tepat, sehingga karya sastra tersebut dapat menyampaikan apa yang menjadi tujuan pengarang tanpa harus mengurangi nilai bahasa.

Dalam khazanah sastra lama, berkembang sastra lisan yang karena kelisanannya jarang diketahui siapa pengarangnya atau pengarangnya yang tidak mau mengaku telah menciptakan karya sastra (?)


***

Meskipun tulisan ini jauh dari ilmiah, tetapi saya perlu menyampaikan beberapa istilah yang saya pakai dalam tulisan ini.

Sastra Lampung merujuk pada sastra yang ditulis dengan menggunakan bahasa Lampung. Sebab, sastra adalah seni berbahasa. Sastra Lampung berbahan baku bahasa Lampung. Karena itu tidak saya tulis dengan "sastra berbahasa Lampung". Dengan begitu, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung dalam kerja kesesusastraan (proses kreatif)-nya.

Turunan dari (sebagai bagian dari/salah satu jenis) sastra Lampung adalah puisi/sajak Lampung. Puisi Lampung jelas ditulis dengan bahasa Lampung, sehingga tidak harus dipanjangkan "puisi berbahasa Lampung" atau "sajak berbahasa Lampung". Dan karena itu, penyair Lampung adalah penulis puisi yang menuliskan syair (sajak/puisi) dalam bahasa Lampung.

Batasan ini saya pakai hanya dalam tulisan ini.

***


Sekarang saya hanya mau bercerita bagaimana saya bersentuhan dengan sastra Lampung atau lebih spesifiknya puisi Lampung sejak lahir. Orang Lampung harusnya bisa bersyukur karena mempunyai nenek moyang yang sangat kreatif. Mereka mewariskan suku Lampung dengan sistem budaya, bahasa, sastra, dan aksara.

Sebuah warisan yang tidak ternilai harganya sebenarnya. Tapi, kebanyakan kita orang Lampung atau setidaknya yang mengaku Lampung (soalnya banyak juga yang malu menyatakan diri Lampung) tidak menyadari ini.

Tapi, saya beruntung (atau malah sebuah 'kesialan') lahir di Liwa, sebuah tempat yang -- kata istri saya sendiri -- terlalu jauh dari Bandar Lampung. Dulu, seingat saya, saya hampir tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lain dalam kehidupan sehari-hari, kecuali di ruang kelas sekolah.

Saya mendengar semua orang berbicara dalam bahasa Lampung, meski ada sedikit saja yang menggunakan bahasa Indonesia. Petani, pedagang, pegawai negeri, polisi, tentara, apa pun profesi mereka, tetap berbahasa Lampung. Di pasar, di kantor, di sekolah, di ladang, di terminal, di mana saja yang terdengar bahasa Lampung.

Dalam setiap ucapan orang-orang itu -- sungguh baru saya sadari sekian tahun kemudian -- saya menemukan puisi. Puisi Lampung!

Jangankan di upacara-upacara adat yang menuntut kemampuan berbahasa Lampung yang mumpuni; dalam percakapan sehari-hari pun sesungguhnya orang Lampung seperti tengah berpuisi (baca: bersastra).

***

Dalam posisilah inilah buku Pepatah Petitih Lampung yang disusun Iwan Nurdaya-Djafar (diterbitkan Dewan Kesenian Lampung, November 2013) memiliki makna bagi perkembangan dan pengembangan sastra Lampung ke depan. Buku setebal 105 halaman ini memuat pepatah (sesikun), kata kiasan, kata majemuk (ungkapan), dan teka-teki (seganing).

Dengan kata lain, buku ini mendokumentasikan sebagian dari jenis-jenis sastra lisan Lampung yang berkembang di tengah masyarakat Lampung. Inilah kekayaan bahasa dan sastra Lampung yang tidak akan habis digali.  A. Effendi Sanusi mengatakan, sastra lisan Lampung adalah sastra berbahasa Lampung yang hidup secara lisan, yang tersebar dalam bentuk tidak tertulis (kini sudah diinventarisasi dan sudah banyak yang ditulis). Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung dan bersifat anonim. Sastra itu banyak tersebar di masyarakat, merupakan bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung dan juga merupakan bagian dari kebudayaan nasional.

Effendi membedakan sastra lisan Lampung dalam  lima jenis: (1) peribahasa, (2) teka-teki, (3) mantra, (4)  puisi (5) cerita rakyat.

Masih menurut Effendi, secara umum, sastra lisan dalam kehidupan etnik Lampung memiliki beberapa fungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung; penyampai gagasan-gagasan yang mendukung pembangunan manusia seutuhnya; pendorong untuk memahami, mencintai, dan membina kehidupan dengan baik; pemupuk persatuan dan saling pengertian antarsesama; penunjang pengembangan bahasa dan kebudayaan Lampung; dan penunjang perkembangan bahasa dan sastra Indonesia

Sejak dahulu, sastra lisan Lampung berkembang secara oral dalam berbagai situasi dan kegiatan, mulai dari saat bersantai dan mengobrol ringan; saat mengerjakan kerajinan tangan, seperti menenun tapis, menyulam, atau membuat anyam-anyaman; saat beramai-ramai bekerja di kebun atau di sawah, seperti ketika membuka ladang atau menanam/menuai padi; saat upacara penyambutan tamu secara adat; saat upacara pemberian jejuluk (jejuluk adalah gelar sebelum menikah, diberikan bersamaan dengan pemberian nama) atau pemberian adek/adok (gelar adat); saat berlangsungnya acara muda-mudi; saat berlangsungnya acara cangget atau nyambai hingga saat berlangsungnya acara bebekas ’penglepasan mempelai’.

***

Mengutip prawacana dalam buku ini, ulun Lampung suka menggunakan kata sindiran, ungkapan, kata-kata bersayap, pepatah atau peribahasa dengan ungkapan kata-kata nan indah lagi bernas serta mengandung arti yang mendalam (hlm. vii).  Kalau melihat itu, sesungguhnya kata-kata indah (sastra lisan) itu menyimpan apa yang disebut dengan pengetahuan lokal atau kearifan lokal.

Pengetahuan lokal (kearifan lokal) merupakan hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Sehingga kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan system kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Proses  regenerasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi lisan dan karya-karya sastra.

Sastra lisan merupakan fakta mental yang menggambarkan mimpi-mimpi, cita-cita, aspirasi, keinginan, harapan, keluh-kesah, dan sebagainya yang kesemuanya merupakan sistem pengetahuan masyarakat. Masyarakat pemiliknya mentransmisikan sastra lis an dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, agar kandungan sastra lisan itu terinternalisasikan sebagai pedoman bagi hidup mereka dalam menyikapi tantangan kehidupan.

Namun, praktik pembangunan tidak berkelanjutan dan tidak berwawasan budaya yang selama ini banyak diterapkan, menjadi ancaman serius bagi kelangsungan sastra lisan dan kearifan lokal di Indonesia, tak terkecuali Lampung. Akibat paling parah yang bisa terjadi, bangsa Indonesia bisa kehilangan identitas budayanya. n

--------------------
* Catatan untuk Diskusi dan Peluncuran Buku Petatah-Petitih Lampung karya Iwan Nurdaya-Djafar dan Lelaki Dari Timur, Man from the East karya Mohsen Al-Guindy yang diterjemahkan Iwan Nurdaya-Djafar yang diselengggarakan Dewan Kesenian Lampung Timur di STKIP PGRI Tanjungkarang, Sabtu, 27 September 2014.

** Udo Z. Karzi, tukang tulis

No comments:

Post a Comment