September 8, 2014

Tukang Tulis Plus

Oleh Jauhari Zailani


Jauhari Zaelani
(ilustrasi nefosnews.com)
KETIKA remaja, saya tinggal di Yogya. Sebagai anak muda ada dua pekerjaan yang saya kagumi yaitu sastrawan dan wartawan. Banyak teman yang mentertawakan, karena aneh. Teman sebaya amat kagum dan ingin menjadi dokter, insinyur, tentara atau pilot. Untuk apa menjadi wartawan? Jadi tentara, gagah. Jadi insinyur, kaya. Menjadi dokter, kaya dan bersih. Menjadi pilot, bisa melihat dunia dari langit, seperti Gatotkaca.

Tidak. Wartawan juga keren. Ada yang tetap konsisten menjadi wartawan saja hingga mati. Tetapi ada yang menambah profesi lain, misalnya menjadi pedagang. Setelah menjadi wartawan, banyak yang berhasil mendirikan usaha yang berhubungan dengan bisnis Pers. Bahkan banyak pula yang berubah menjadi pedagang saja, atau menjadi politisi kemudian menjadi pejabat. Meski banyak juga yang memanfaatkan kewartawanannya, menjadi penjahat. Memeras pejabat yang jirih, memalak pengusaha yang berkutat rezeki di birokrasi. Bahkan, menjadi wartawan bisa menjadi alat baru “ngemis” kesana-kemari.


Hingga kini, saya tetep bersikukuh, menjadi wartawan itu keren. kekaguman pada dua “profesi” tetap terpelihara. Terlebih lagi kekaguman saya pada yang memilih “gabungan” seni menulis itu wartawan dan sastrawan. Saya sebut mereka sebagai Jurnalis Plus plus.

Wartawan Plus itu sudah saya temukan sejak masih di Yogya. dengan membaca tulisan kolom Umar Kayam di Kedaulatan Rakyat (KR), dalam Mangan Ora Mangan Kumpul dengan tokohnya Mr. Rigen. Kolom-kolom Emha Ainun Nadjib yang tersebar di banyak media, dengan tokohnya Kiyai Sudrun, demikian juga kolom YB Mangun Wijaya dengan “Puntung-Puntung Roro Mendut” di Kompas. Di samping kolom-kolom itu juga mengikuti cerbung (cerita bersambung) Api di Bukit Menoreh, Cintaku di Kampus Biru, atau cerita bersambung yang amat panjang Mushasi.

Kemudian ketika tinggal di Lampung, saya mengenal sejumlah nama penulis dan wartawan. Untuk menyebut nama, pada awal reformasi, saya terkagum-kagum dengan Iswadi Pratama. Suatu ketika saya mengantar “Sjahrir” ke Lampost, dia bertanya tentang hubungan filsafat kritis dan “politik akal sehat” yang diusung PIB. Tak lama kemudian, anak muda itu meninggalkan Lampost sebagai “zona nyaman” nya. Lampost ia tinggalkan untuk mandiri dan menekuni dunia “teater”. Kini, September 2014, diri dan Teater Satu-nya telah mendunia. Bulan yang lalu ia berkeliling Australia, saat tulisan ini dibuat, ia sedang keliling Eropa.

Demikian juga saya kagum dengan Oyos Saroso HN, kepada wartawan, aktivis dan “kritikus sastra” itu saya belajar menulis. Belajar menulis dan percaya diri mempublikasikan di Lampost dan Trans Sumatra. Oyos juga yang memelihara ikatan dunia aktivis dan diri saya. Hingga melalui dunia ini saya mengenal orang-orang hebat seperti Fadilasari yang jurnalis sekaligus penulis buku yang produktif. Ahmad Yulden Erwin, aktivis yang berlatar belakang Ekonomi, menggeluti Ekonomi Makro, minatnya pada berbagai bidang melebihi seorang akademisi. Orang “gondrong” ini piawai menulis jurnal, buku, cerpen, puisi, dan novel. Tampil di Jakarta, Bandung, Yogya, dan terakhir tulisannya dipublikasikan di Belanda. Kini, entah apalagi yang sedang digelutinya.

Demikian juga kekaguman saya pada Isbedy Styawan, lulusan STM, menjadi wartawan Lampost, Trans Sumatra, dan LTV,  kemudian eksis dan berkibar di dunia sastra. Terakhir, minggu lalu ia bercengkerama di kafe-kafe dan lorong-lorong di Singapura. Festival Nusantara menegaskan dirinya bukan saja mewakili Lampung, tetapi Sumatra dan Indonesia.

Di Lampung, tentu saja saya membaca kolom Bambang Ekawijaya dengan “Buras” nya. Nama yang sudah saya kenal tulisan-tulisannya sejak awal tahun 1980 an, ketika BEW masih di Medan, saya masih di Yogya. Tulisannya di Kompas tentang orang-orang transmigran dan buruh di tanah Deli sempat saya kliping. BEW, saya kagumi karena kepiawaiannya mengolah kata, setajam dan sezaman dengan Mahbub Junaidi, Ayib Bakar, Parakitri.

Ketika membaca Lampung Post, Minggu 7 September 2014, Udo Z. Karzi (Zulkarnain Zubairi) memperoleh penghargaan pada Ulang Tahun AJI Bandar Lampung. Langsung saya buka Facebook, dan posting: Ide pikiran, dan gagasan Zulkarnain Zubairi, sosok yang tekun merangkai huruf dan kata, ia sebut dirinya sebagai Tukang Tulis, ia memang wartawan di Lampost. Lebih dari wartawan pada umumnya, ia teguhkan pilihannya pada budaya Lampung. Dia amat peduli dengan hal-ihwal Lampung dan Kelampungan. Dia amat sensitif yang menyangkut manusia dan kemanusiaan di bumi "Majemuk" ini.

Untuk ketekunan dan keteguhannya itu, tadi malam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung memberinya penghargaan "Kamaroeddin Award" kepada Udo Z Karzi. Melengkapi Hadiah Sastra "Rancage" 2008 yang ia terima dari Yayasan Kebudayaan Rancage, Jawa Barat. Selamat kepada Udo. Selamat juga Endri Kalianda, atas penghargaannya. Bagi Endi, tentu saja penghargaan itu sebagai obat dari penat dan kesendirian dalam investigasinya. Selamat ultah kepada AJI Bandar Lampung. Sukses.

***

Kata dan tentu saja bahasa, adalah tingkat tertinggi dari budaya manusia. Seorang penulis bisa menyampaikan tentang apa saja pada orang-orang yang ada di sekitarnya. Diksi “sekitar”, menunjukkan spasial dan ruang. Tempat sekitar pun berubah makna seiring kemajuan peradaban manusia. Ketika manusia masih terkungkung dalam paroki, kabilah-kabilah, suku-suku, ruang lingkup yang disebut “sekitar” dekat. Jarak itu, dalam ukuran desa, kampung, sumpuk sebelah. Masih dalam jarak tempuh perjalanan kaki. Masih dalam hitungan jam atau hari. Orang-orang pun masih saling kenal. Berita, masih menjadi cerita dari mulut ke mulut. Dongeng dan pantun menjadi pelanggeng nasihat. Tulisan dibuat atas nama agama dan kepentingan penguasa di gereja, vihara, atau surau-surau.

Setelah revolusi industri, perjalanan manusia dari satu tempat ke tempat lain, lebih luas jangkauan. Manusia tak lagi berkutat dari desa ke desa. Perjalanan dengan mesin, menghantarkan manusia melintasi gurun, ngarai, gunung, dan samudra. Melintasi negara bertetangga, melintasi lintas samudra dan negara. Bahkan lintas Benua. Dunia tulis menjadi berkembang, bukan saja pembawa ajaran tetapi pembawa berita. Terbitan menjadi pelengkap kemudian menjadi pengganti berita dari mulut ke mulut.

Kini, era digital, era menembus batas. Batas waktu, jarak tempat, perbedaan generasi, tak lagi berarti. Kian murah, mudah, dan cepat. Beberapa tahun lalu, sempat timbul kekuatiran era digital akan menggeser peran media cetak. Surat kabar dan cetak akan terkubur. Kehadiran media digital begitu praktis seolah hendak melibas koran buku. Nyatanya, manusia memang pandai mencari solusi. Budaya tidak saling mematikan, tetapi saling melengkapi. Memang dengan digital, cepat mudah dan murah. Kini, mereka menggabungkan cetak, digital dalam satu genggaman di tangan pengusaha dan pengguna.

Di tengah derasnya informasi, buku tetap menjadi barang langka di negeri ini. Dengan kata lain, pada era digital dan kian cepat ini, kehadiran buku tetap dan malah lebih dibutuhkan. Di Lampung, saya salut pada anak-anak muda giat menulis dan menerbitkan buku. Anak-anak muda yang terus menulis dan terus berkesenian. Udo Karzi dan anak-anak muda yang tak kenal lelah memperjuangkan Lampung dan KeLampungan dengan cara yang lain. Menulis dalam ranah publik, menuliskan menjadi buku, menjadi warisan yang lebih bermakna. Itulah kiprah Tukang Tulis Plus. n

Sumber: TerasLampung.com, Senin, 8 September 2014


No comments:

Post a Comment