April 6, 2014

[Lampung Tumbai] Emas di Belantara Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


ORANG Lampung menanam padi, lada, dan kapas. Para petani di daerah pantai menanam padi di sawah. Memang sawah hanya ada di daerah pantai. Sungai-sungai yang dalam dengan tebing-tebing terjal di kiri-kanan alirannya di daerah perdalaman Lampung sulit diandalkan untuk pengairan sawah. Orang Lampung menanam padi di ladang-ladang yang kering.

Sebelum dapat berladang, petani Lampung harus membuka lahan lebih dahulu. Kayu-kayu dari semak dan perdu dipotong; pohon-pohon besar ditebang. Lalu, semuanya dibiarkan mengering, kemudian dibakar.


Biasanya, pada tahun pertama, para petani menanam jagung, kacang-kacangan, dan palawija lainnya. Padi baru ditanam pada tahun kedua, diselingi dengan jagung dan kacang-kacangan. Di daerah yang lebih tinggi, kapas menjadi tanaman selingan. Bila tanah di lahan itu subur, pada tahun ketiga padi ditanam lagi dan pada tahun keempat baru kapas.

Setelah kesuburan lahan itu berkurang, sang petani akan pindah ke lahan baru. Inilah yang membuat orang Lampung hidup berpindah-pindah. Terkadang, ladang di daerah yang tidak subur—seperti di tengah-tengah daerah Sapoedi—harus dibiarkan menjadi hutan kembali sebelum dapat digarap lagi. Hal itu memerlukan waktu sampai 30 atau 40 tahun. Itu menurut F.G. Steck.

Sistem pertanian dengan ladang berpindah ini barangkali aneh sekali di mata orang Belanda yang hidup di negeri kecil. Di Belanda, para petani mengolah lahan pertaniannya dengan intensif. Mereka terpaksa mengembangkan teknik dan strategi pengolahan tanah agar lahannya selalu panen baik. Kalaupun mau, bagi petani Belanda, tidak terbuka kemungkinan untuk menerapkan sistem peladangan berpindah.

Padi yang ditanam di ladang-ladang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lada, yang dulu merupakan sumber kekayaan ketika Kesultanan Banten berkuasa di daerah ini, sudah tidak banyak lagi. Beberapa tahun sebelum Steck membuat tulisannya, banyak orang mulai kembali menanam lada.

Makin banyak pula orang menanam kopi. Hal itu bahkan dilakukan spontan oleh penduduk Lampung, tanpa dorongan dari Pemerintah Hindia Belanda. Pohon-pohon kopi itu ditanam sebagai pagar yang membatasi kebun-kebun lada.

Di berbagai tempat, banyak orang memelihara ulat sutra. Akan tetapi, ulat-ulat itu rupanya hanya mampu menghasilkan kepompong yang kecil. Serat sutra dari kepompong-kepompong itu bukanlah dari kualitas yang terbaik. Namun, walaupun tidak menjadi komoditas ekspor, sutra dari Lampung diolah, dicat, dan ditenun menjadi sarung dan selendang.

Selain kerbau (yang memang banyak jumlahnya di Lampung), tidak banyak ternak yang dipelihara. Ternak lainnya, seperti kambing dan domba, didatangkan dari Pulau Jawa.

Tidak ada sapi di Lampung. Konon, sapi di Lampung tidak mau berkembang biak. Kuda pun tidak banyak. Kuda yang ada dimiliki oleh para pegawai Pemerintah Hindia Belanda dan perwira-perwira militernya. Kuda-kuda itu didatangkan dari luar Lampung dan setelah tuannya pulang ke negeri Belanda atau pindah kembali ke Pulau Jawa, binatang-binatang itu ditinggalkan di Lampung.

Perdagangan dan pelayaran makin meningkat. Komoditas yang banyak diperdagangkan keluar Lampung adalah lada dan hasil hutan, terutama karet, damar, rotan, lilin lebah, gading, kapas, dan kopi. Komoditas yang didatangkan ke Lampung adalah beras, garam, barang dan peralatan dari besi, gerabah dan porselen, serta tekstil.

Menurut F.G. Steck, satu-satunya kendala bagi perkembangan perdagangan adalah kecenderungan orang Lampung untuk menganggap tipu daya sebagai kelihaian strategi berdagang. Tipu daya itu bukannya dianggap sebagai hal yang memalukan, melainkan sebagai suatu kebanggaan. Bahkan, pedagang Lampung dikenal karena kelihaian dan kelicikannya itu!

Walaupun ada kemajuan dalam bidang pelayaran, bagi orang Lampung sendiri hal itu tidak berarti banyak karena kegiatan itu hampir sepenuhnya dilakukan oleh orang-orang dari luar Lampung. Tidak mengherankan karena orang Lampung bukanlah bangsa pelaut.

Pasar dan pusat-pusat perdagangan yang utama terdapat di Telok Betong dan Paloeboe, yang lebih dikenal dengan nama Sekeppel di Teluk Lampung; Bornei, Napal, dan Sepoeti di Teluk Samaka; Assahan di Sekampong; Eanto Djaija di Pagadoengan; Seringkebow di Sepoetie; dan Mengala di Toelang Bawang.

Di Seringkebow seorang demang diangkat, khusus untuk memperhatikan kepentingan Pemerintah Hindia Belanda dan pedagang-pedagang asing. Di Asahan, yang dulunya merupakan pusat perdagangan penting, terdapat seorang syahbandar yang bertugas mengawasi perdagangan (dan pelayaran) di daerah itu.

Dahulu kala, syahbandar itu diangkat oleh sultan Banten. Pada waktu itu, seorang syahbandar sangat berkuasa dan berpengaruh di daerahnya. Kini gelar dan jabatan itu tidak lagi bermakna banyak.

Di Sungai Oempoe di dekat Boemi Ratoe ada emas. Logam mulia itu ditambang oleh penduduk setempat. Tidak banyak jumlahnya dan kualitasnya pun tidak istimewa. Emas itu adalah emas muda.

Kekayaan Lampung bukan berupa emas dan berlian yang terkubur di relung bumi. Kekayaan itu adalah belantara yang menghijau di permukaan buminya. Lampung memiliki banyak kayu yang bagus dan bermutu tinggi. Yang terkenal adalah kayu dari daerah Toelang Bawang dan Sepoetie.

Sungai-sungai besar yang mengalir di kedua daerah itu memudahkan pengangkutan kayu-kayu itu. Di daerah Asahan di sekitar Sekampong, banyak tumbuh pohon jati. Sayangnya, pohon-pohon berkayu mahal itu agak terlantar. n

Acuan Pustaka
F.G. Steck (Kapten Infanteri). Topographische en Geographische Beschrijving des Lampongsche Distrikten dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indiƫ deel 4. Amsterdam, Batavia: Frederik Muller, G. Kolff. 1862.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 April 2014


No comments:

Post a Comment