Oleh Asarpin
PARA pendiri Republik ini dapat dijadikan cermin mencerahkan dalam konteks multikulturalisme. Dewasa ini isu multikulturalisme cukup hangat dibicarakan, baik di level internasional, nasional, atau lokal (provinsi).
Di Lampung ada beberapa kali pertemuan dan seminar membahas multikulturalisme dalam hubungannya dengan kebudayaan. Beberapa perguruan tinggi, terutama Unila dan IAIN, pernah mengadakan diskusi dengan tema serupa. Harian lokal juga beberapa kali menurunkan opini soal ini.
Dengan bukti semacam itu, mungkinkah kita pantas berbicara tentang Lampung sebagai cermin multikulturalisme? Tak mudah menjawab pertanyaan itu. Sebagai provinsi plural dari segi etnik, agama, bahasa, budaya, dan sebagainya, sepintas Lampung dapat dijadikan model multikulturalisme yang penuh simpatik. Tak ada konflik besar akibat perbedaan di Lampung.
Kalaupun ada konflik, skalanya amat kecil dan penyebab utamanya bukan karena ketidaksiapan mengelola perbedaan. Konflik lebih sering dipicu soal ekonomi (walaupun kita tak sepenuhnya mengambinghitamkan faktor ekonomi terus-menerus).
Lampung ibarat Indonesia kecil. Ia dapat menjadi ikon bagi relasi antaragama, antaretnik, antarbudaya, dan relasi lainnya. Tapi, kalau menyebut Lampung sebagai cermin multikulturalisme, mungkin amat berat atau hanya akan jadi beban pemikiran saja.
Kalau memang mau bercermin, saya mengusulkan kita bercermin kepada para pendiri Republik ini yang telah menanamkan tonggak penting multikulturalisme. Hasilnya, kita memiliki falsafah negara yang amat mulia, semboyan, dan ideologi yang tangguh.
Dengan bercermin ke latar sejarah berdirinya republik ini, kita memang menyadari betul realitas kemajemukan Indonesia sebagai cermin pendidikan dan kebudayaan. Sudah saatnya membumikan pendidikan multikultur. Bukan sekadar multikultur, melainkan multikultur dalam konteks pembebasan.
Begitu juga soal kebudayaan. Tak mudah membumikan kebudayaan multikultur sekalipun dasar-dasar bernegara sudah menunjukkan semangat merangkul keragaman tanpa meleburnya menjadi keseragaman.
Proses Penyeragaman
Semboyan Republik kita memang cukup tegas, tapi apalah artinya jika tidak dihayati dan diamalkan. Bhinneka Tunggal Ika memang semboyan yang siap menyongsong keharmonisan hidup berdampingan dalam bingkai perbedaan. Namun, untuk apa punya semboyan indah kalau keseragaman dan proses penyeragaman terus kita paksakan lewat lembaga pendidikan dan kebudayaan?
Dalam keseharian sering terjadi kesenjangan antara semboyan dan falsafah negara dengan laku hidup kita sebagai bangsa multikultur. Di hari-hari ini begitu mudah bangsa ini kita marah. Begitu mudah kita terpancing untuk berkelahi hanya karena perbedaan. Begitu cepat emosi kita membara hanya karena tersinggung.
Sekalipun demikian, kalau ada yang bertanya apakah pendidikan multikultural mampu menjawab problem kita sebagai bangsa ke depan? Saya akan menjawab “ya”. Sebab, terlepas dari masih rapuhnya wacana pendidikan multikultural itu sendiri, saya kira sudah saatnya kita untuk terus berusaha mewujudkannya dalam kehidupan nyata, mulai dari rumah tangga hingga sekolah dan perguruan tinggi.
Memang, dengan pendidikan dan kebudayaan multikultur tidak serta-merta konflik akibat perbedaan agama, suku, aliran dan keyakinan, dapat kita sumbat sepenuhnya, namun minimal dapat kita tekan sekecil mungkin. Kita mesti menemukan jawaban bersama tentang pendidikan multikultural yang dapat menjawab kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Selanjutnya, sebagai pendidik mampukah kita menerapkan gagasan multikulturalisme kepada peserta didik? Tujuannya tak hanya meyakinkan mereka untuk mengakui perbedaan, tapi menjadikan perbedaan sebagai rahmat bagi semesta alam?
Artikel ini mencoba mengolaborasi lebih jauh tentang pendidikan multikultural dan bagaimana penerapannya dalam lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan yang berbasis keislaman.
Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman kultural, etnik, dan bahasa suatu bangsa. Di Indonesia, sebagai contoh, muncul serangkaian konsep tentang pendidikan Islam yang toleran dan pluralis, mulai dari gagasan Islam inklusif sampai dengan gagasan Islam pluralis yang merupakan cikal-bakal lahirnya konsep pendidikan Islam multikultural.
Paham multikulturalisme, secara etimologis, digunakan secara semarak pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural". Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times, yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan multilingual".
Tanpa Perbedaan
Pendidikan multikultural lahir sebagai tanggapan terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah. Secara luas pendidikan multikultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial, dan agama.
Namun, menurut saya, kalau kita bicara soal pendidikan multikultural, kita mesti mengambil satu fokus yang disiapkan secara sungguh-sungguh. Mengenai fokus pendidikan multikultural, fokusnya tidak lagi mesti selalu diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama, dan kultural domain atau yang dominan.
Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream.
Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap yang bukan cuma peduli dan mau mengerti perbedaan budaya serta pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Tetapi, lebih jauh dari itu, kita mesti siap untuk terus-menerus memperjuangkannya dari berbagai tantangan dan upaya penyempitan terhadap makna dan aplikasi dari pendidikan multikultural itu sendiri. Baik yang sengaja dilakukan oleh negara lewat dinas-dinas tertentu, atau oleh lembaga tertentu, maupun oleh kelengahan kita semua.
Asarpin, Esais dan pembaca sastra
Sumber: Lampung Post, Selasa, 17 Januari 2012
No comments:
Post a Comment