February 21, 2012

Bahasa (dan Sastra) Lampung, Siapa Peduli

Oleh Kiky Rizkhi Aprillia


ANTARA tahun 1947-1971 Bangladesh masih menjadi bagian dari wilayah negara Pakistan. Pakistan sendiri adalah pecahan negara India. Pada awal pendiriannya, wilayah Pakistan terdiri atas dua wilayah besar yang tersekat wilayah negara India yang luas.

Sebelah barat dikenal dengan Pakistan Barat yang sekarang dikenal dengan Pakistan dan Pakistan Timur yang sekarang dikenal dengan nama Bangladesh. Pemerintah pusat berkedudukan di wilayah Pakistan Barat.

Pada tahun 1947, Pemerintah Pusat Pakistan menetapkan bahasa Urdu, yaitu bahasa yang digunakan masyarakat Pakistan Barat sebagai satu-satunya bahasa resmi. Kebijakan politik bahasa ini dianggap meminggirkan bahasa Bengali, sehingga menimbulkan aksi protes di wilayah Bangladesh (Pakistan Timur) yang mayoritas penduduknya berbahasa Bengali.

Masyarakat Bangladesh menuntut agar bahasa Bengali disejajarkan dengan bahasa Urdu sebagai bahasa resmi. Namun, keinginan masyarakat Bangladesh ini selalu diganjal oleh politisi Pakistan Barat karena dianggap sebagai penentangan nasionalisme Pakistan.

Penolakan Pemerintah Pusat Pakistan untuk mengakomodasi keinginan masyarakat Bangladesh menimbulkan berbagai aksi demonstrasi. Pada tanggal 21 Februari 1952, dalam sebuah demonstrasi besar di Kota Dhaka, beberapa mahasiswa Universitas Dhaka tewas ditembak aparat pemerintah.

Peristiwa ini membuat masyarakat Bangladesh semakin marah, sehingga menimbulkan ketegangan politik. Akhirnya, Pemerintah Pakistan mengakomodasi tuntutan masyarakat Bangladesh dengan menetapkan bahasa Bengali sebagai bahasa resmi sejajar dengan bahasa Urdu.

Setelah tahun 1952, pergerakan bahasa di Bangladesh di kemudian hari menjadi benih perpecahan negara Pakistan, walaupun keinginan masyarakat Bangladesh untuk menjadikan bahasa Bengali sebagai bahasa nasional sudah dipenuhi. Masyarakat Bangladesh bertekad memerderkakan diri dari negara Pakistan.

Oleh sebab itu, pada tahun 1971 rakyat Bangladesh mendirikan negara sendiri terpisah dari negara Pakistan dan mengukuhkan bahasa Bengali sebagai bahasa resmi Bangladesh. Sekarang, jika kita berada di Kota Dhaka, Bangladesh, kita dapat mengunjungi sebuah monumen yang disebut Monumen Hari Bahasa. Monumen ini dibangun untuk mengenang perjuangan masyarakat Bangladesh ketika berjuang memartabatkan bahasanya dan mengenang jasa beberapa mahasiswa yang menjadi "martir" dalam demonstrasi besar pada tanggal 21 Februari 1952.

Kegigihan rakyat Bangladesh untuk mempertahankan bahasanya adalah sumber inspirasi masyarakat dunia untuk lebih peduli terhadap bahasa ibu yang disimbolkan dengan peringatan Hari Bahasa Ibu.

Di Indonesia, gema Hari Bahasa Ibu kurang begitu terdengar karena tertungkup gema gonjang-ganjing politik. Selain itu, pemertahanan bahasa ibu baru sebatas wacana di kalangan akademik. Boleh dibilang, belum berwujud kesadaran kita semua. Padahal, untuk mempertahankan bahasa Ibu di negeri dengan beratus-ratus bahasa ini, kita tidak perlu menjadi "martir". Cukup mengajarkannya kepada anak cucu kita.

***

Senin, 20 Februari 2012, di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Semarang (Unnes), diselenggarakan apel pagi dengan menggunakan bahasa Jawa. Petugas apel mulai dari protokol, komandan, pembina, hingga pendoa, menggunakan bahasa Jawa. Terasa asing, beberapa peserta apel yang terdiri dari karyawan, dosen, dan pejabat fakultas pun menahan senyum.

"Dinten basa ibu dipunpengeti amargi kita sampun kuwatos, basa asli sampun boten dipunginakaken malih kaliyan generasi sangandhap kita. (Hari bahasa ibu diperingati karena kami khawatir, bahasa asli sudah tidak lagi digunakan oleh generasi di bawah kami)," ujar pembina apel yang Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Yusro Edy Nugroho (lihat laman Unnes, Senin, 20/2/12).

Ternyata, kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk peringatan Hari Bahasa Ibu yang jatuh pada 21 Februari. Oleh sebab itu, tidak lain semua petugas apal pagi ini merupakan para dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa.

Lalu, di Bandung, Jawa Barat, sebanyak 250 mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, melakukan kampanye bahasa Sunda, Kamis, 16 Februari 2012.

Kegiatan ini dilakukan untuk sosialisasi peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional pada 21 Februari 2012. "Bahasa Sunda semakin jarang digunakan, penggunaannya makin berkurang di masyarakat. Padahal, di Indonesia menjadi bahasa terbanyak kedua setelah bahasa Jawa," ujar Pupuhu Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah, Diky Arliana, di sela-sela kampanye bahasa Sunda di kampus UPI, Jalan Setiabudi, Kota Bandung.

Dalam konteks ini, Jawa Barat memang luar biasa. Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat pun mengadakan seminar bahasa memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional tahun ini. Lalu, Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda menyelenggarakan lomba mengarang carpon, sajak, dan penulisan naskah drama Sunda. PPSS juga mengadakan “Saba Sastra" ke berbagai daerah dalam mendekatkan kembali sastra dan bahasa Sunda di kabupaten/kota di Jawa Barat.

***

Sekarang, kita kembali ke Bumi Ruwa Jurai. Adakah ulun Lampung tahu bahwa hari ini adalah Hari Bahasa Ibu Internasional? Eh ya, catatan FB Udo Z. Karzi tertanggal 14 Februari 2012 yang berjudul Hujan Sastra (Sastrawan) Lampung Memang Tidak Merata mengingatkan tentang adanya Hari Bahasa Ibu Internasional. Tapi, pertanyaan Udo dalam komentarnya — "Kira-kira apa yang bisa kita lakukan untuk menandai Hari Bahasa Ibu Internasional (21 Februari) sebagai upaya untuk tetap menyalakan semangat mengembangkan bahasa dan sastra Lampung?" — hanya berputar-putar di dunia maya. Tidak ada yang menyahut, tidak ada yang merespons, dan... jangan-jangan tidak ada yang peduli.

Yang baru saja terjadi... sebagaimana diberitakan, Lampung kembali gagal meraih hadiah Sastra Rancage 2012, adakah yang peduli? Bukankah pemberian hadiah Rancage untuk Lampung ini terkait erat dengan pembinaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa dan sastra Lampung?

Saya hanya ingin bertanya-tanya ke mana ya para stakeholder bahasa Lampung seperti Universitas Lampung (Unila)—yang sekarang punya Pusat Pendidikan, Pelestarian, dan Pengembangan Bahasa Lampung (P3BL)—dan perguruan tinggi lainnya, pemerintah daerah, orang kaya dan berkuasa, dan ulun Lampung pada umumnya, yang katanya khawatir dengan nasib bahasa Lampung?

Tahun 1999 ketika pakar sosiolingustik Asim Gunarwan (alm.) mengatakan bahasa Lampung bisa punah dalam 3—4 generasi (75-100 tahun) jika tidak dipelihara. Tiga belas tahun berlalu, kegelisahan akan punahnya bahasa Lampung tetap menghantui ulun Lampung hingga kini. Tapi, kecemasan itu agaknya dipelihara karena—sesungguhnya—banyak pihak hanya berkeluh kesah tanpa berbuat apa-apa, tanpa melakukan apa-apa.

Bahasa dengan jumlah penutur sangat kecil cenderung punah layaknya kepunahan satu spesies binatang akibat kecilnya jumlah populasi dan kegagalan regenerasi. Syukurlah bahasa Lampung bukan tergolong dalam bahasa yang seperti itu. Berapa jumlah pasti penutur bahasa Lampung? Entahlah, ada yang bilang 1 juta ada yang bilang 2 juta. Kalau dengan jumlah penutur yang tergolong besar juga dibanding penutur bahasa daerah lain seperti itu, bahasa (dan sastra) Lampung masih juga memprihatinkan, pinjam istilah (alm.) Irfan Anshory: meliom ram (malu kita)! n

Kiky Rizkhi Aprillia
, guru, alumnus STKIP Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Selasa, 21 Februari 2012

No comments:

Post a Comment