February 22, 2012

Belajar dari Bahasa Ibu

Oleh Imelda


BAHASA ibu merupakan salah satu bahasa yang dituturkan di Tengah Pulau Halmahera, Kabupaten Halmahera Barat. Saat ini boleh dikatakan bahasa ini punah karena hanya tinggal tiga orang sepuh lagi yang menuturkannya. Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah, mengapa bahasa ibu bisa punah dan apa kontribusinya bagi masyarakat Lampung yang sejak beberapa tahun terakhir sibuk mengangkat tema Kepunahan Bahasa Lampung.

Bahasa ibu, di antara Bahasa Ternate, Melayu, dan Indonesia

Saat ini generasi muda orang ibu berbahasa Ternate dan Melayu Ternate. Beberapa di antara mereka yang mengalami masa pendidikan formal juga berbahasa Indonesia. Tampaknya, pergeseran bahasa masih akan terus berlangsung selama masyarakat itu masih ada dan berdinamika dengan lingkungannya.

Bahasa Ternate, Bahasa ‘Kolano’

Bahasa Ternate disebut juga bahasa kolano yang berarti raja. Ini merupakan bahasa resmi Kerajaan Ternate (Ibrahim, 2009). Penggunaan bahasa tersebut terjadi pada awal abad ke-13 ketika resmi menjadi kerajaan hal ini dilanjutkan ketika Ternate menjadi kesultanan di abad ke-16. Sejak saat itu islamisasi gencar dilakukan, dan orang ibu merupakan salah satu kelompok etnik beragama Islam yang mendapatkan pengaruhnya. Pengaruh keislaman sekaligus bahasa juga sampai karena di duga saat itu daerah ibu menjadi pusat perdagangan di Pulau Halmahera. Terbukti hingga kini sungai ibu menjadi jalur transporasi untuk keluar masuk pulau.

Bahasa Melayu: Dari Perdagangan hingga Kemerdekaan

Bahasa Melayu disebut juga bahasa perdagangan. Melalui bahasa ini para pedagang dari berbagai penjuru dunia saling berkomunikasi dan bertukar barang-barang dagangan. Ternate sebagai salah satu pusat perdagangan tidak lepas hubungannya dengan kehadiran bahasa Melayu ini. Ibu sebagai salah satu wilayah perdagangan di Ternate, tentu saja mendapakan pengaruhnya.

Penggunaan bahasa Melayu ini semakin marak digunakan, khususnya di wilayah Kesultanan Ternate sehingga melebur dengan bahasa Ternate dan akhirnya menjadi bahasa kreol Melayu baru yang disebut dengan Melayu-Ternate.

Pada masa kolonial, penggunaan bahasa ini dilanjutkan dan diperkuat dengan kebijakan bahasa. Belanda yang menguasai Ternate menulis catatan dan berkomunikasi dengan bahasa Melayu Tinggi. Konon kamus tertua bahasa Melayu berasal dari Tidore yang jaraknya beberapa km saja dari Pulau Ternate. Pengunaan bahasa Melayu ini juga dipakai untuk menyebarkan agama Kristen dan Islam. Bedanya pada pengajaran agama Islam digunakan huruf Jawi (Arab Melayu) dan agama Kristen menggunakan aksara latin.

Beranjak pada masa kini, bahasa Melayu diteruskan menjadi bahasa Indonesia. Kepulauan Maluku yang merupakan salah satu provinsi dan daerah ibu yang juga menjadi salah satu wilayahnya, mau tidak mau mendapatkan pengaruhnya. Pemerintah Indonesia memperkenalkan bahasa nasional ini dengan kebijakan mengajarkanya di sekolah dan dalam pemerintahan. Hal ini juga didukung media televisi dan koran yang menggunakan bahasa baku. Dengan demikian, secara otomatis anak-anak dan generasi muda Ibu dipaksa berbahasa Indonesia yang pada kenyataannya dalam proses merangsek ke dalam ranah-ranah bahasa lokal.

Masihkan Malu Berbahasa Lampung?

Paparan mengenai berbagai aspek sejarah yang mempengaruhi perilaku berbahasa orang ibu memberikan gambaran bagaimana bahasa ini berproses menjadi punah, yaitu karena persaingan politik dan ekonomi di dukung kebijakan bahasa zaman Kolonial dan NKRI. Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah apa yang terjadi dengan bahasa Lampung?

Saat ini perasaan malu sudah menjadi isu yang luas di kalangan generasi dewasa dan muda. Sehingga tidak mengherankan penelitian sikap berbahasa dari Asim Gunarwan, pada 90-an, menyimpulkan bahasa Lampung akan segera punah, tepatnya 75 tahun.

Perasaan malu ini, menurut peneliti, menjadi aspek psikologis yang cukup kuat yang menghalangi masyarakat sekaligus pemerintah dalam “menyehatkan” kembali bahasa Lampung. Tidak jarang kita dengar ada anak muda yang sehari-hari berbahasa Lampung di rumahnya dan ketika berjalan-jalan ke Kota Bandar Lampung mendadak amnesia dengan bahasanya. Padahal jelas-jelas logat berbahasa Melayu atau Indonesianya menyiratkan bahwa ia fasih berbahasa Lampung.

Di sisi lain, pemerintah daerah yang sibuk sekali membahas kebijakan bahasa Lampung ini lupa berkegiatan untuk mewujudkan cita-citanya. Padahal cita-cita yang dituliskan dalam berbagai kertas kerja itu perlu tindakan. Bagaimana bahasa Lampung mau eksis bila terhenti dalam kertas kerja. Di tambah lagi angan-angan Universitas Lampung cuma sampai mencetak guru bahasa Lampung. Alangkah pendeknya!

Coba jawab pertanyaan saya ini. Di mana lagi orang bisa belajar bahasa, sastra, dan kebudayaan Lampung selain di Provinsi Lampung? Seharusnya pengembangan bahasa dan kebudayaan ini yang menjadi sasaran, bukan urusan sebatas kerjaan yang ujung-ujungnya isi perut.

Barangkali saya apatis dengan Pemda Lampung, tetapi dengan sedikit harapan yang tersisa, di Hari Bahasa Ibu ini, saya ingin mengajak segenap masyarakat Lampung yang merasa dirinya bisa berbahasa Lampung untuk membuang jauh-jauh perasaan malu itu dan mulailah meluaskan penggunaan bahasa ini. Kik lain ram, sapa lagi sai aga nyelamatko?

Imelda, Peneliti etnolinguistik (PMB-LIPI) yang bekerja untuk bahasa terancam punah di Gamkonora, Halmahera Barat.

Sumber: Lampung Post, Rabu, 22 Februari 2012

1 comment:

  1. Tidak banyak di dunia ini yang bahasanya memiliki aksara.

    Bahasa Lampung adalah salah satu di antaranya yang memiliki aksaranya sendiri.

    Tetap semangat! d^_^b

    ReplyDelete