February 12, 2012

[Inspirasi] Sutanto, Dorong Pelukis Muda

PASAR Seni Enggal terlihat ramai pekan lalu. Berbagai pondok sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang beramain musik atau hanya sekadar ngobrol. Salah satu pondok yang cukup ramai adalah pondok pelukis Sutanto.



Dalam pondok bertumpuk lukisan karya Sutanto. Ada lukisan impresionis, realis, dan campuran keduanya yang memadukan kesan dan kenyataan.

Meskipun sempit, beberapa pemuda begitu asik menggoreskan kuas di atas kanvas. Sutanto memperhatikan dan kadang memberikan arahan. “Melukis itu mudah, asal tahu caranya,” kata dia memulai pembicaraan.

Pondok lukis Sutanto selalu dipenuhi anak-anak yang mau belajar. Dia selalu berbagi ilmu dan pengalaman melukis. Pemuda-pemuda di Pasar Seni begitu dekat dengan Sutanto. Kesan tidak kaku dan mudah bersahabat membuat Sutanto menjadi sahabat sekaligus bapak bagi pemuda yang biasa nongkrong di Pasar Seni. Mereka memanggil ayah satu anak ini dengan sebutan “pak de”. Sore itu pria kelahiran Salatiga 61 tahun lalu ini ditemani istri tercinta, Rini Rostifa. Rini, kata Sutanto, menjadi manajernya.

Rinilah yang melayani orang yang mau membeli lukisan. Istrinya jugalah yang menjelaskan lukisan-lukisan karya Sutanto kepada calon pembeli dan para kolektor. Rini membekali diri dengan pengetahuan tentang lukisan dengan membaca majalah-majalah seni yang sudah dibeli suami.

Pemuda yang ingin melukis di Pondok Sutanto tidak perlu memikirkan peralatan. Semua alat lukis di pondoknya lengkap. Jenis cat air pun banyak. Dia merelakan alat dan cat airnya dipakai untuk orang yang mau belajar.

Sutanto sangat ringan dalam berbagi ilmu, terutama berbagi ilmu untuk anak-anak muda yang mau belajar. Bila ada teknik melukis dengan alat dan bahan baru, dia langsung tularkan kepada pemuda di Pasar Seni.

Dia ingin agar pelukis muda bisa muncul. Perlu ada regenerasi supaya pelukis-pelukis yang lebih muda hadir dan berani tampil.

Dia pun menemukan ide melukis dengan ampas kopi. Melukis juga tidak melulu dengan kuas. Kini dia menggunakan cara melukis dengan pisau palet untuk menghasilkan lukisan yang hidup. Lukisan impresionis bisa didapat menggunakan pisau palet ini.

“Lukisan impresionis yang dihasilkan berupa harimau. Impresionis menimbulkan kesan yang jelas. Orang tidak perlu melihat dengan teliti dan lama untuk mengetahui isi lukisan. Cukup dengan melihat sekilas, orang akan tahu lukisan apa itu,” ujarnya.

Baru-baru ini ada teknik melukis baru dengan bahan yang murah, tapi harga jualnya bisa sangat mahal. Teknik baru itu menghasilkan lukisan realis yang begitu hidup. Namun, jika dilihat lebih dekat ada retak-retak seperti tanah kering di musim kemarau. “Ide lukisan itu saya buat sendiri, ternyata bahannya sangat murah. Anak-anak pun sudah saya kasih tahu supaya mereka belajar dan bisa membuat lukisan yang mahal,” katanya.

Dalam mencari ide lukisan-lukisan baru, Sutanto kerap membaca dan melihat lukisan karya pelukis luar negeri di majalah-majalah. Dalam majalah tidak disebutkan cara membuat dan bahan yang digunakan. Dia pun mencari cara sendiri untuk menghasilkan lukisan serupa.

Melukis dengan ampas kopi pun sudah mulai marak dikembangkan. Sutanto bisa disebut sebagai pelukis pertama yang mengembangkan metode ini.

Lampung sebagai penghasil kopi terbesar di Indonesia menjadi inspirasi untuk membuat lukisan ampas kopi. “Melukis tidak harus menggunakan bahan mahal. Pakai ampas kopi yang murah juga bisa diolah menjadi lukisan mahal,” katanya.

Bahkan, lukisan ampas kopi karya Sutanto ada yang dibeli orang dekat Ibu Any Yudhoyono. Saat ini beberapa kolektor menunggu dan meminta dia untuk membuat lukisan ampas kopi lagi.

Bagi kalangan kolektor dan penikmat lukisan, karya Sutanto sudah banyak dikenal dan ditunggu. Tidak hanya kolektor dalam negeri, beberapa kolektor luar negeri seperti Singapura dan Australia juga mengoleksi karya Sutanto. Malahan, ada seorang kolektor yang hanya mengoleksi karya-karya Sutanto, bukan pelukis lain. “Saya beri tahu ke kolektor supaya mengoleksi juga karya pelukis yang lain agar koleksi lukisan beragam,” ujar dia.

Pria yang pernah menempuh pendidikan tinggi di Universitas Satyawacana ini juga membuka kelas lukis di rumahnya, di Kelurahan Sumurbatu. Kebanyakan yang belajar melukis adalah anak SMP dan SMA. Jumlah peserta dibatasi hanya beberapa karena kondisi rumah yang sempit.

Kelas melukis dibuat dengan kurikulum yang dirancang sendiri oleh Sutanto. Kelas ini tidak gratis, siswa dikenakan biaya yang digunakan untuk membali peralatan melukis. Siswa tidak hanya dari Lampung, ada yang dari Jakarta dan Aceh.

Kemampuan melukis Sutanto bukan didapat dari pendidikan formal. Dia murni belajar sendiri dengan mengamati lukisan para maestro, seperti Basuki Abdullah. Dia mengamai bagaimana para pelukis hebat membuat karya dan Sutanto pun mencobanya. “Ilmu melukis saya dapat dari mencuri dan mengamati.”

Dia pun mempersilakan pelukis-pelukis muda untuk mencuri ilmunya. Saat awal belajar melukis, tidak langsung dengan kuas dan cat. Keterbatasan dana membuatnya harus melukis dengan areng dan aspal.

Saat itu, komik-komik luar juga menjadi referensi dalam melukis. Setelah merasa mampu, dia pun memutuskan untuk menjalani hidup sebagai pelukis.

Namun, menjadi pelukis memang tidak mudah. Saat pembelian lukisan sepi, dia pun sempat beralih menjadi pelukis dengan menggunakan air brush atau cat semprot untuk keperluan pemasangan iklan. Pembuatan reklame out door sempat menjadi palariannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Selama tujuh tahun, Sutanto meninggalkan dunianya sebagai pelukis, dan lebih menekuni pembuatan reklame. Menurutnya, saat itu billboard masih dibuar secara manual dengan tangan. Beberapa perusahaan besar, seperti Coca-Cola dan Djarum sempat mengontraknya untuk membuat iklan di beberapa daerah. “Saya menjadi orang pertama yang memopulerkan melukis billboard. Saat menukuni dunia iklan, tujuh tahun saya tidak pernah melukis, bahkan istri pun sempat ragu bahwa saya bisa melukis,” katanya.

Profesi sebagai pembuat reklame luar ruanganlah yang membawanya hingga ke Lampung. Tahun 1990, Sutanto pindah ke Lampung karena ada tugas membuat reklame.

Dunia rekalame air brush pun digeser dengan reklame digital. Pemasang iklan pun memilih billboard digital yang lebih praktis. Dari perjalanan hidup yang sudah dilalui, Sutanto menegaskan kemampuan melukis tidak akan membuat orang kesulitan mencari uang. Banyak hal yang bisa dikerjakan. Dengan melukis jugalah ia bisa menyekolahkan anaknya dan adik iparnya hingga sarjana.

Di usia yang sudah tua, Sutanto masih menyimpan kegusaran tentang regenerasi pelukis di Lampung. Belum banyak pelukis muda yang muncul. Menurutnya, jumlah pelukis di Lampung lebih banyak dibandingkan pelukis di daerah lain di Sumatera. Namun, dari sisi produktivitas
karya, Lampung masih ketinggalan. Jarang sekali pameran lukisan di Lampung.

Pendidikan seni lukis harus mulai digiatkan. Dewan Kesenian Lampung (DKL) harus lebih banyak menggelar workshop. “Harus workshop,
workshop , dan workshop,” kata dia.

Sutanto mengatakan pendidikan seni di sekolah masih terlalu umum dan itu pun hanya satu kali dalam seminggu. Guru seni rupa tidak ada di sekolah. Pelajaran seni kurang mendapatkan tempat di sekolah.

Anak-anak didik hanya mengasah kecerdasaan otak untuk hal yang bersifat eksak, sementara kecerdasan rasa tidak pernah diasah. Hal inilah yang membuat orang suka korupsi karena kecerdasan rasa tidak pernah diajarkan. Pendidikan hanya mengajarkan kecerdasaan pada satu bagian otak, sehingga kecerdasan anak didik menjadi tidak seimbang. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Februari 2012

No comments:

Post a Comment