February 9, 2016

Soal Tetasan Telur MDMD

Oleh Endri  Y


BUKU sajak berbahasa Lampung, Mak Dawah Mak Dibingi  (MDMD) yang diterbitkan BE Press pada 2007 lalu, dianggap sebagai upaya mengerami telur kebudayaan. Menetaskan anak pinak kekayaan seni budaya Lampung.

Tidak ada yang meragukan kemampuan dan konsentrasi Udo Z Karzi. Bisa disebut, satu-satunya pemikir kebudayaan Lampung yang langsung menggelutinya dengan karya-karya. Penuh literasi dan mengungkap sederet fakta kontekstual lewat kontemplasi. Baik itu pada sejumlah esai, tulisan pop, artikel maupun puisi. Satu-satunya penulis yang memelopori lahirnya sajak-sajak berbahasa Lampung. Lewat buku Momentum, 2002 dan MDMD.


Udo Z Karzi, pernah ditulis Hardi Hamzah sebagai orang yang berusaha menetaskan telur agar beranak-pinak dan besar, serta memberikan benefit tersendiri. “Telur yang telah di ujung tanduk itu benar-benar bisa menetas dan menjadi "anak ayam" kebudayaan Lampung yang makin mahal harganya.”  Semua itu karena dianggap seni budaya kita telah berada di ujung tanduk.

Di sinilah letak sederet pertanyaan tentang semacam protap atau setting sosial kesusastraan Lampung. Jika MDMD adalah karya pecah telur, sebagai pemula lahirnya sajak-sajak berbahasa Lampung. Kemudian diikuti beberapa buku seperti Suluh oleh Fitriyani, Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oki Sanjaya. Kemudian yang berupa cerita, Tumi Mit Kota, Cerita-Cerita Jak Bandar Negeri Semuong, serta Radin Inten II.  

Namun demikian, seberapa berdampak penerbitan buku berbahasa Lampung itu pada upaya pelestarian, membangun kecintaan dan membuat setting budaya?

Sebuah Pesona Cutik Sungsai

Menjawab pertanyaan tersebut, perlu pemetaan sastra khususnya puisi.  Puisi itu menurut  Ignas Kleden (2004) bisa berfungsi sebagai kritik sosial, kita memang menemukan relevansinya dalam MDMD. Bagaimanapun, sebuah puisi tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan dan tempat dimana karya itu dihasilkan.

MDMD secara puitis bisa disebut sukses membangun kredo itu. Kritik sosial digambarkan Udo Z Karji misalnya dengan sajak Parlemen (halaman 40). Setangkar mak ngedok akhir/ konflik sememanjangan/ adu pelitik mak radu/rusuh/stabilitas terganggu/ reformasi taru/ ekonomi negeri tambah kelop/ ulun tambah sengsara/ yaddo do///

Maknanya, bertengkar tiada akhir, terus berkonflik, perbedaan politik bertanding tak berkesudahan, rusuh. Buku yang lahir dari gua garba reformasi ini, merekam peristiwa-peristiwa aktual yang sublim dan dikontemplasikan Udo Z Karzi.  Puisi yang ditulis pada Agustus, 2000 itu cukup menjelaskan berbagai pertentangan politik yang dilakukan para wakil rakyat. Yang berdampak pada terganggunya ketenangan masyarakat dan kegagalan reformasi. Akibat lain, ekonomi semakin terpuruk pada titik yang paling ekstrem, menyengsarakan semua orang.

Kita ketahui, pada 2000, peristiwa-peristiwa mencekam melanda negeri ini. Sebab, di sana ada perseturuan elite politik yang ditonton semua rakyat. Media tumbuh subur bak jamur di musim hujan, internet mulai merambah meski tak seluas sekarang, warga di pusat-pusat kota sudah mulai bisa mengakses. Televisi berlomba menjadikan segmen berita sebagai acara prime time. Warga juga mulai sadar dan melek informasi, sehingga di gardu, di beranda masjid, di pasar, di warung kopi, semua topik obrolan adalah persoalan politik. Dicatat oleh Udo Z Karzi pada puisi di sebelahnya yang juga di bulan dan tahun yang sama. Catatan Sidang; …tian radu lupa janji-janji kampanye/tian ngehianati reformasi 

Kritik sosial pada laku politisi secara gamblang disuarakan Udo Z Karzi. Termasuk pada militer. Dan bahkan pada sikap serbapolitik itu sendiri, diungkap pada halaman 54 berjudul Pelitik. Artinya secara bebas, berbasis bacaan penulis kira-kira begini;

Orang semua sibuk berceloteh, menceracau. Seharusnya, seniman ya seniman. Jangan lagi ada seniman politik. Penyanyi ya penyanyi, jangan lagi menjadi vokalis politik.  Ahli hukum juga, jangan sibuk mengurusi politik. Dan lagi, semua persoalan selalu dikait-kaitkan dengan politik. Obat kekacauan itu, ketika suhu politik sedang panas. Kita butuh negarawan yang bijak dan tidak terbujuk rayuan politik.

Menariknya dari buku MDMD, meski sudah lama diterbitkan dan sempat jadi perbincangan luas di tengah masyarakat. Berhasil meraih penghargaan Sastra Rancage 2008. Namun masih kontekstual ketika dibaca saat ini. Meski beberapa peristiwa, seperti meninggalnya Saidatul Fitria dan Rizal terekam dalam Negeri Ini Teater Tentera, Zal dan Api Lagi Sai Aga Kuucakkon Jama Niku menjadi semacam kesedihan lain dari peneguhan diri sastrawan yang terpukul atas dua peristiwa berdarah itu. Sampai kemudian tertanam semacam makian; “:militer udi mak pernah berubah/ tian mak tenong/ kik mak nimbak, nyiksa, nyulik, rik ngebunuh//

Membaca lebih dalam buku MDMD, kritiknya ternyata bukan soal politik dan militer an sich. Melainkan pada semua laku cadang atau merusak. Misalnya pada sajak berjudul  Liwa; …sakik mataku ngeliak kecadangan sekejung bilukan renglaya/…sakik hatiku ngedengi tamakni penguasa rik rakusni pengusaha.

Mencerecap sajak Liwa itu, kita disodori kekecewaan anak kampung yang melihat daerahnya rusak. Dibuka dengan kalimat menyentak. “api lagi sai dapok kubanggakon jak niku” (halaman 46).

Secara halus, lewat 50 sajak berbahasa Lampung, Udo Z Karzi menguak tentang kegelisahan atau sungsai yang kemungkinan salah eja sebab yang popular digunakan adalah kata sangsai.  Artinya gelisah.  Ketika sampai di halaman 70 dari  sajak terakhir yang dijadikan judul buku itu, didefenisikan kegelisahan menyembul dari sisi kegelapan malam. Ketika menyusuri Negara Batin.

Kutipannya kiranya perlu disertakan:  nyusuri negara batin sai bingi/ bingi mak seangi sai tipikerkon/ bingi nyegokkon resiani tenggalan/ kidang bingi jujor ngakui risok sareh/ cutik sungsai nyembul jak kebelah bingi/ lampu keliwat ridap nyusori kelomni//mak dawah mak debingi/ nyak resah

Dua kata kunci yang ketika membacanya, membuat daya kejut yakni Negara Batin dan Nyak Resah.
Negara Batin sebagai tempat, bisa dikaji secara fenomenolog yang menjadikan, misteri, menyebarkan rasa gentar dan memancarkan daya pukau. Menurut Ignas Kleden, bertukar tangkap dengan lepas antara misteri, gentar dan daya pukau itu sering menonjol dan menjadikan penyair Indonesia melantunkan pengalaman, kepenuhan suka cita dan berbagai pengalaman hidup sebagai basis utama karya.

Nyusuri Negara Batin, itu berbasis di daerah mana? Karena memendam kebingungan atas banyaknya nama daerah itu, saya akhirnya mengajukan pertanyaan pada Udo Z Karzi. Namun dia tak menjawab. Justru menautkan catatan Mamak Kenut: Negar Batin, Kampung Begal? Membaca isi nuansa itu, tentu pembelaan bahwa kita tak punya daerah yang disebut Kampung Begal meski yang mengucapkan ada dan tidak adanya juga dari kepolisian.

Di seluruh wilayah Lampung sendiri, beberapa daerah memakai nama Negara Batin. Misalnya, Desa Negara Batin, Lampung Timur. Kecamatan Negara Batin (Waykanan), Pekon Negara Batin (Tanggamus) ada juga Pekon Negara Batin di Lampung Barat.

“Tidak siang tidak malam, saya gelisah.” Diungkap Udo Z Karzi sebagai basis kecenderungan tematik yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial politik, peristiwa yang mengandung tragedi, ironi dan kegelisahan eksistensial.

Sajak itu, layak dibaca hingga saat ini. Selain memberi semacam kejutan dan pengakuan untuk membuat tekad pada pembebasan belenggu moral kata.  Hal itu terdapat pada sajak Lawokku Tanno Nyegok Kesumat dimana pada larik ke-13 berbunyi: ”di pesisir barat jukung-jukung mak berlayar/ mani, pelawok-pelawok jak gering segaga kuasa di darat/ atawa, medomi lonte delom ngisonni bingi//

Kita benar-benar disuguhi teks yang bisa berdialog, tanpa belenggu moral, pembaca bisa menjadi, terlibat bahkan ikut memaki dari berbagai tematik di buku MDMD.  Basisnya, bukan hanya satu daerah melainkan Provinsi Lampung secara utuh. Sayangnya, buku itu masih menggunakan dialog api. Berikut buku puisi berbahasa Lampung setelahnya, lantas, apakah dialeg nyow tidak punya penyair? Tak punya sastrawan dan bukankah sudah ada Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL)?  Kemana mereka di tengah krisis bacaan dan generasi yang rabun membaca.

Artinya, kita belum melihat dampak adanya setting budaya dari buku sastra berbahasa Lampung sebab pada sajak Ajar Sekam Bahasa Cinta, Udo Z Karzi masih melihat; kupagas niku kanah (halaman 47). Seiring upaya Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah yang mulai konsen mengkonsolidasikan penerbit, seharusnya hanya karya berbahasa Lampung saja yang dibantu pembiayaannya. Dibeli bukunya dan perlu juga digagas, sekolah wajib memilikinya. n

Endri  Y, Peminat kajian sosial budaya, tinggal di Bandarlampung

Fajar Sumatera, Selasa, 9 Februari 2016

No comments:

Post a Comment