BUKU sajak
berbahasa Lampung, Mak Dawah Mak Dibingi (MDMD) yang diterbitkan BE Press pada 2007
lalu, dianggap sebagai upaya mengerami telur kebudayaan. Menetaskan anak pinak
kekayaan seni budaya Lampung.
Tidak ada yang meragukan kemampuan dan konsentrasi Udo Z
Karzi. Bisa disebut, satu-satunya pemikir kebudayaan Lampung yang langsung
menggelutinya dengan karya-karya. Penuh literasi dan mengungkap sederet fakta
kontekstual lewat kontemplasi. Baik itu pada sejumlah esai, tulisan pop,
artikel maupun puisi. Satu-satunya penulis yang memelopori lahirnya sajak-sajak
berbahasa Lampung. Lewat buku Momentum,
2002 dan MDMD.
Udo Z Karzi, pernah ditulis Hardi Hamzah sebagai orang yang berusaha menetaskan telur agar beranak-pinak dan besar, serta memberikan benefit tersendiri. “Telur yang telah di ujung tanduk itu benar-benar bisa menetas dan menjadi "anak ayam" kebudayaan Lampung yang makin mahal harganya.” Semua itu karena dianggap seni budaya kita telah berada di ujung tanduk.
Di sinilah letak sederet pertanyaan tentang semacam protap
atau setting sosial kesusastraan
Lampung. Jika MDMD adalah karya pecah
telur, sebagai pemula lahirnya sajak-sajak berbahasa Lampung. Kemudian diikuti beberapa
buku seperti Suluh oleh Fitriyani, Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan karya
Oki Sanjaya. Kemudian yang berupa cerita, Tumi
Mit Kota, Cerita-Cerita Jak Bandar
Negeri Semuong, serta Radin Inten II.
Namun demikian, seberapa berdampak penerbitan buku berbahasa
Lampung itu pada upaya pelestarian, membangun kecintaan dan membuat setting
budaya?
Sebuah Pesona Cutik
Sungsai
Menjawab pertanyaan tersebut, perlu pemetaan sastra
khususnya puisi. Puisi itu menurut Ignas Kleden (2004) bisa berfungsi sebagai
kritik sosial, kita memang menemukan relevansinya dalam MDMD. Bagaimanapun,
sebuah puisi tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi
kebudayaan dan tempat dimana karya itu dihasilkan.
MDMD secara puitis bisa disebut sukses membangun kredo itu.
Kritik sosial digambarkan Udo Z Karji misalnya dengan sajak Parlemen (halaman 40). Setangkar mak ngedok akhir/ konflik
sememanjangan/ adu pelitik mak radu/rusuh/stabilitas terganggu/ reformasi taru/
ekonomi negeri tambah kelop/ ulun tambah sengsara/ yaddo do///
Maknanya, bertengkar tiada akhir, terus berkonflik,
perbedaan politik bertanding tak berkesudahan, rusuh. Buku yang lahir dari gua
garba reformasi ini, merekam peristiwa-peristiwa aktual yang sublim dan dikontemplasikan
Udo Z Karzi. Puisi yang ditulis pada
Agustus, 2000 itu cukup menjelaskan berbagai pertentangan politik yang
dilakukan para wakil rakyat. Yang berdampak pada terganggunya ketenangan
masyarakat dan kegagalan reformasi. Akibat lain, ekonomi semakin terpuruk pada
titik yang paling ekstrem, menyengsarakan semua orang.
Kita ketahui, pada 2000, peristiwa-peristiwa mencekam
melanda negeri ini. Sebab, di sana ada perseturuan elite politik yang ditonton
semua rakyat. Media tumbuh subur bak jamur di musim hujan, internet mulai
merambah meski tak seluas sekarang, warga di pusat-pusat kota sudah mulai bisa mengakses.
Televisi berlomba menjadikan segmen berita sebagai acara prime time. Warga juga mulai sadar dan melek informasi, sehingga di
gardu, di beranda masjid, di pasar, di warung kopi, semua topik obrolan adalah
persoalan politik. Dicatat oleh Udo Z Karzi pada puisi di sebelahnya yang juga
di bulan dan tahun yang sama. Catatan
Sidang; …tian radu lupa janji-janji
kampanye/tian ngehianati reformasi…
Kritik sosial pada laku politisi secara gamblang disuarakan
Udo Z Karzi. Termasuk pada militer. Dan bahkan pada sikap serbapolitik itu
sendiri, diungkap pada halaman 54 berjudul Pelitik.
Artinya secara bebas, berbasis bacaan penulis kira-kira begini;
Orang semua sibuk berceloteh, menceracau. Seharusnya,
seniman ya seniman. Jangan lagi ada seniman politik. Penyanyi ya penyanyi,
jangan lagi menjadi vokalis politik.
Ahli hukum juga, jangan sibuk mengurusi politik. Dan lagi, semua
persoalan selalu dikait-kaitkan dengan politik. Obat kekacauan itu, ketika suhu
politik sedang panas. Kita butuh negarawan yang bijak dan tidak terbujuk rayuan
politik.
Menariknya dari buku MDMD, meski sudah lama diterbitkan dan
sempat jadi perbincangan luas di tengah masyarakat. Berhasil meraih penghargaan
Sastra Rancage 2008. Namun masih kontekstual ketika dibaca saat ini. Meski
beberapa peristiwa, seperti meninggalnya Saidatul Fitria dan Rizal terekam
dalam Negeri Ini Teater Tentera, Zal
dan Api Lagi Sai Aga Kuucakkon Jama Niku
menjadi semacam kesedihan lain dari peneguhan diri sastrawan yang terpukul atas
dua peristiwa berdarah itu. Sampai kemudian tertanam semacam makian; “:militer udi mak pernah berubah/ tian mak
tenong/ kik mak nimbak, nyiksa, nyulik, rik ngebunuh//
Membaca lebih dalam buku MDMD, kritiknya ternyata bukan soal
politik dan militer an sich.
Melainkan pada semua laku cadang atau merusak. Misalnya pada sajak berjudul Liwa;
…sakik mataku ngeliak kecadangan sekejung
bilukan renglaya/…sakik hatiku ngedengi tamakni penguasa rik rakusni pengusaha.
Mencerecap sajak Liwa itu, kita disodori kekecewaan anak
kampung yang melihat daerahnya rusak. Dibuka dengan kalimat menyentak. “api lagi sai dapok kubanggakon jak niku” (halaman
46).
Secara halus, lewat 50 sajak berbahasa Lampung, Udo Z Karzi
menguak tentang kegelisahan atau sungsai
yang kemungkinan salah eja sebab yang popular digunakan adalah kata sangsai.
Artinya gelisah. Ketika sampai di
halaman 70 dari sajak terakhir yang
dijadikan judul buku itu, didefenisikan kegelisahan menyembul dari sisi
kegelapan malam. Ketika menyusuri Negara Batin.
Kutipannya kiranya perlu disertakan: nyusuri
negara batin sai bingi/ bingi mak seangi sai tipikerkon/ bingi nyegokkon
resiani tenggalan/ kidang bingi jujor ngakui risok sareh/ cutik sungsai nyembul
jak kebelah bingi/ lampu keliwat ridap nyusori kelomni//mak dawah mak debingi/
nyak resah
Dua kata kunci yang ketika membacanya, membuat daya kejut
yakni Negara Batin dan Nyak Resah.
Negara Batin sebagai tempat, bisa dikaji secara fenomenolog
yang menjadikan, misteri, menyebarkan rasa gentar dan memancarkan daya pukau.
Menurut Ignas Kleden, bertukar tangkap dengan lepas antara misteri, gentar dan
daya pukau itu sering menonjol dan menjadikan penyair Indonesia melantunkan
pengalaman, kepenuhan suka cita dan berbagai pengalaman hidup sebagai basis
utama karya.
Nyusuri Negara Batin, itu berbasis di daerah mana? Karena
memendam kebingungan atas banyaknya nama daerah itu, saya akhirnya mengajukan
pertanyaan pada Udo Z Karzi. Namun dia tak menjawab. Justru menautkan catatan Mamak Kenut: Negar Batin, Kampung Begal? Membaca
isi nuansa itu, tentu pembelaan bahwa kita tak punya daerah yang disebut
Kampung Begal meski yang mengucapkan ada dan tidak adanya juga dari kepolisian.
Di seluruh wilayah Lampung sendiri, beberapa daerah memakai
nama Negara Batin. Misalnya, Desa Negara Batin, Lampung Timur. Kecamatan Negara
Batin (Waykanan), Pekon Negara Batin (Tanggamus) ada juga Pekon Negara Batin di
Lampung Barat.
“Tidak siang tidak malam, saya gelisah.” Diungkap Udo Z
Karzi sebagai basis kecenderungan tematik yang berkaitan dengan masalah-masalah
sosial politik, peristiwa yang mengandung tragedi, ironi dan kegelisahan
eksistensial.
Sajak itu, layak dibaca hingga saat ini. Selain memberi
semacam kejutan dan pengakuan untuk membuat tekad pada pembebasan belenggu
moral kata. Hal itu terdapat pada sajak Lawokku Tanno Nyegok Kesumat dimana pada
larik ke-13 berbunyi: ”di pesisir barat
jukung-jukung mak berlayar/ mani, pelawok-pelawok jak gering segaga kuasa di
darat/ atawa, medomi lonte delom ngisonni bingi//
Kita benar-benar disuguhi teks yang bisa berdialog, tanpa
belenggu moral, pembaca bisa menjadi, terlibat bahkan ikut memaki dari berbagai
tematik di buku MDMD. Basisnya, bukan hanya
satu daerah melainkan Provinsi Lampung secara utuh. Sayangnya, buku itu masih
menggunakan dialog api. Berikut buku puisi berbahasa Lampung setelahnya,
lantas, apakah dialeg nyow tidak punya penyair? Tak punya sastrawan dan
bukankah sudah ada Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL)? Kemana mereka di tengah krisis bacaan dan
generasi yang rabun membaca.
Endri Y, Peminat kajian sosial budaya, tinggal di Bandarlampung
No comments:
Post a Comment