October 27, 2013

Dan, Festival Krakatau pun Usai

Oleh Isbedy Stiawan Z.S.


Festival Krakatau (FK) XXIII baru saja usai. Bagaimana kegiatannya?apatah gaungnya?nyaris tak terdengar. Terlihat event ini hanya jadi kegiatan tahunan yang penuh seremoni belaka.

FESTIVAL KRAKATAU: Sejumlah peserta mengikuti karnaval budaya pada
pembukaan Festival Krakatau Ke-23 di Kalianda, Lampung Selatan, Sabtu
(19/10). Festival Krakatau bertema The 3rd Of Lampung & Tuping Carnival
dibuka dengan parade budaya Lampung dan acara puncak mengunjungi Gunung
Anak Krakatau pada Minggu, (20/10) yang diikuti 24 dubes dan investor
dari luar negeri. ANTARA FOTO/Kristian Ali
FESTIVAL Krakatau, hajat tahunan Pemerintah Provinsi Lampung untuk mempromosikan pariwisata dan budaya daerah ini, terus dipersoalkan. Dari masalah kegiatan yang tak pernah berubah tetapi jadwal kegiatan selalu berubah, hingga keterasingan Festival Krakatau (FK) di masyarakat Lampung sendiri.


Sejak digelar pertama kali hingga ke-23 pada 2013 ini, gelar FK seolah masih terus mencari bentuk. Tidak jelas ?bentuk? (format?) apa yang dicari kemudian dijadikan pegangan pada tahun-tahun berikutnya.

Persoalan FK terus dipertanyakan. Terbukti, setelah diskusi Lampung Bangkit yang ditaja Lampung Post, 17 September, dua hari kemudian terbit sehalaman membincangkan FK ditambah opini saya (baca Lampung Post, 19 September 2013), berturut-turut tulisan Karina Lin dan Syaiful Irba Tanpaka di harian yang sama.

Tidaklah sayang pada FK jika para pelaku seni demikian meradang. Pasalnya, dari tahun ke tahun gelar FK ini tidak ada peningkatan. FK seperti hanya untuk ?memanjakan? para elite dan para duta asing, sedangkan pelaku seni serta masyarakat Lampung dibiarkan untuk menonton pun tidak. Meminjam kata Chairil Anwar: ?yang bukan penyair tak ambil bagian!?

Sejatinya FK memang milik pejabat dan para elite. Mereka boleh ambil bagian, misalnya jalan-jalan ke Gunung Anak Krakatau pada puncak FK. Terutama para duta besar itu, konon difasilitasi seluruh kebutuhannya?dan boleh jadi VVIP. Wow!

Sesuai jadwal yang dirilis pemerintah, FK XXIII dipusatkan di Kalianda pada 12?20 Oktober 2013. Sembilan hari itu hanya rangkaian untuk ?menggembirakan? Festival Krakatau. Sesungguhnya pelaksanaannya, happening art-nya, pada 19 Oktober, lalu 20 Oktober 2013 pelesir ke Gunung Anak Krakatau. Jadi, FK itu sesungguhnya hanya dua hari.

Sebuah festival lazimnya sepekan. Di dalamnya berbagai kegiatan disertakan, seperti karnaval, pentas, dan seminar. Sebuah festival juga harus melibatkan masyarakat banyak atau masyarakat dilibatkan.

Sayangnya, FK yang usianya sudah lebih 23 tahun ini, masyarakat seperti tak dilibatkan. Indikasinya, hanya berapa persen masyarakat Lampung yang tahu kapan dan di mana FK digelar. Berapa banyak pelaku seni dan budaya (seniman dan budayawan) yang terlibat atau dilibatkan dalam helat promosi wisata dan seni budaya Lampung ini.

Sebagai event promosi pariwisata dan seni budaya, jadwal FK harus ajeg dan dipertimbangkan secara matang. Misalnya, apakah sasaran FK adalah wisatawan asing (mancanegara) atau wisatawan lokal, ataukah kedua-keduanya?

Apabila sasarannya adalah wisatawan mancanegara, mereka butuh jadwal yang tidak mencla-mencle alias galau seperti selama ini terjadi dalam FK. Pada FK XXIII ini saja, pertama yang saya dapat informasi akan digelar pertengahan atau akhir September. Kenyataannya digelar 19?20 Oktober 2013, dan tempat pelaksanaannya di Kalianda, Lampung Selatan.

Padahal selama ini, kecuali pernah sekali di Kalianda Resort, FK dipusatkan di Bandar Lampung. Di Bandar Lampung juga terjadi pemindahan tempat, dari halaman parkir GOR Saburai ke PKOR Way Halim.

Merapikan Infrastruktur

Sudah berulang saya nyatakan, objek wisata di Lampung?khusus pantai dan keindahan alamnya?sebenarnya tidak kalah dibanding daerah-daerah lain. Sayangnya infrastruktur menuju objek wisata, bisa dipastikan lebih dari 90% buruk atau tak terurus. Objek wisata PLG Way Kambas di Lampung Timur, misalnya, jalan yang berlubang sebelum masuk Lampung Timur lalu bebatuan di sepanjang PLG yang memang milik Kementerian Kehutanan itu.

Belum lagi objek wisata pantai. Lampung memiliki pantai yang elok: Kiluan, Pahawang, Tanjung Setia, Marina, dan lain sebagainya. Selain Tanjung Setia, yang lain masih sulit dijajakan kepada wisatawan.

Tanjung Setia tak perlu lagi dipromosikan. Pantai ini sudah lama dijadikan tempat berselancar para bule. Pantai dan ombaknya memang pas untuk kegiatan seperti ini. Untungnya pula, jalan menuju Tanjung Setia melalui Taman Nasional Bukit Barisan Bagian Selatan sudah banyak yang mulus.

Ke depannya, selain menggelar FK sebagai puncak event promosi wisata dan kesenian (kebudayaan) di Lampung, pemerintah mesti memikirkan untuk merapikan infrastruktur yang ada.

Desa Budaya

Mantan Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Masri Yahya, pada diskusi di aula Lampung Post menginformasi, pemerintah akan ?menghidupkan lagi? desa budaya. Ia mencontoh Desa Wana, Olokgading, dan yang ada di Lampung Barat.

Desa budaya sebagai penyanggah bagi keberhidupan kebudayaan sangat penting dijaga dan dilestarikan. Saya kadang miris setiap melihat desa (kampung) budaya, yang secara usia juga sudah tua, seperti tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah.

Pemerintah hanya bisa menggembor-gemborkan agar masyarakat dapat menjaga keaslian tradisi, seperti menjaga rumah tradisional agar tidak rubuh, menghidupkan adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pelakunya, dan lain-lain.

Tetapi, sesekali berkunjunglah ke kampung tua Pagardewa, Tulangbawang Barat. Sudah tidak sedikit, rumah-rumah panggung yang usianya sangat tua itu sudah doyong dan nyaris rubuh. Padahal Pagardewa?terlepas benar?tidaknya pernah hidup Kerajaan Tulangbawang?sebagai kampung tua memiliki sejarah dan cerita rakyat cukup banyak dan menarik.

Kemudian kampung tua Gedung Batin di Kabupaten Way Kanan, nasibnya serupa dengan keberadaan rumah tradisional di masyarakat Pagardewa.

Adalah Desa Wana yang telah ditetapkan sebagai desa budaya oleh pemerintah, lambat-laun nasibnya akan sama dengan Desa Gedungbatin dan Pagardewa. Tokoh muda Desa Wana, Iskandar, saat saya temui mengeluhkan sikap pemerintah yang hanya meminta masyarakat agar menjaga, tetapi tidak pernah memberi biaya dari akibat ?penjagaan? kelestarian itu.

Ini berbeda sangat ketika saya dapat informasi dari teman, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sangat peduli menjaga keberadaan rumah gonjong?rumah tradisional?masyarakat Minang. Rumah-rumah gonjong yang sudah tua segera diremajakan, dan yang akan roboh secepatnya ditegakkan oleh pemerintah.

Kadis Baru

Tapi hanya tiga bulan Masri Yahya menjabat Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung, ia ditarik dan duduk di staf ahli. Gatot Hadi Utomo menjabat kursi kepala dinas. Justru menjelang FK digelar.

Helat provinsi ini tidak lepas dari peran Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. Boleh jadi, pemindahan FK XXIII ke Kalianda, Lampung Selatan, atas masukan dan saran Gubernur yang notabene ayah Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza S.Z.P.

Alasan lain, seperti dikatakan Rycko Menoza, untuk mendekatkan kepada objek sesungguhnya. Festival Krakatau yang diadakan di Lampung Selatan, tegas Rycko kepada pers, membuktikan bahwa Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda itu memang berada di Lampung Selatan.

Lalu dekat mana jika dari Lampung Selatan ke Gunung Anak Krakatau, dibanding dari Banten? Wisatawan asing setelah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta tak akan mungkin berlayar ke Bakauheni atau terbang ke Bandara Radin Inten II, hanya untuk menikmati Gunung Anak Krakatau.

Bukan begitu, Bro?

Isbedy Stiawan Z.S., Sastrawan

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment