Oleh Aripsah
Sebagai generasi literer, siswa di Lampung Barat diharapkan bisa terus mengembangkan tradisi intelektual dan literer yang sejak lama ada di daerah itu.
Sastrawan Udo Z. Karzi mengemukakan hal tersebut pada apresiasi sastra dalam rangkaian Festival Bahasa dan Sastra, yang diselenggarakan SMAN 1 Liwa, di aula sekolah tersebut, Jumat (22/11). Dalam acara yang dibuka Kepala Dinas Pendidikan Lambar ini, Udo membawakan materi bertema Jejak literasi Liwa.
Kepala Dinas Pendidikan Lampung Barat Nirlan, dalam sambutannya, menyambut baik diadakannya apresiasi sastra ini. "Saya berharap acara ini bisa memacu kreativitas siswa di Lambar dalam bidang sastra. Semoga sekolah bisa menjadi benteng bagi pengembangan sastra di daerah ini," ujar dia, seperti dibacakan Kasi Teknis SMA/SMK Rusman.
Udo mengatakan alam dan budaya Lampung Barat yang penuh pesona dapat menjadi inspirasi bagi warga Lambar dalam berkarya. "St. Takdir Alisyahbana, misalnya, menggambarkan dengan sangat menarik Liwa dan sekitarnya dalam romannya yang sangat terkenal, Layar Terkembang, terbit pertama kali 1936," ujar Udo, yang juga wartawan Lampung Post ini.
Ia juga menyebutkan catatan perjalanan J. Pattulo, tahun 1820, yang dimuat di buku Malayan Miscellanies Vol. II, terbitan Sumatran Mission Press, Bengkulu, 1822, menceritakan keadaan Liwa waktu itu.
Kalau dibanding dengan daerah lain, seperti Jawa dan Sumatera Barat, tradisi literer di Liwa kurang terlalu marak. Namun, kalau keberadaan Kerajaan Sekala Brak di kaki Gunung Pesagi, Liwa, dipercaya sebagai pewaris aksara (had) Lampung, bisa dikatakan tradisi literer di Lampung Barat sudah ada sejak abad ke-8.
"Adalah Haji Sulaiman Rasyid bin Lasa (1898?1976) kelahiran Pekon Tengah, Liwa, yang menyusun buku fikih Islam pertama di negeri ini. Buku fikih Islam ini terbit 1951 dan kini menjadi buku wajib di perguruan tinggi," kata Udo dalam acara yang diikuti siswa SMA se-Lambar ini.
Sejawat Sulaiman, Rais Latief, juga menyusun terjemahan bahasa Indonesia hadis sahih muslim. Buku-buku inilah yang menjadi cikal bakal buku-buku agama berbahasa Indonesia karya anak bangsa di kemudian hari.
Generasi Literer
Lalu, M. Harya Ramdhoni (kelahiran 1981) menelurkan novel sejarah Lampung pertama berjudul Perempuan Penunggang Harimau tahun 2011. Tokoh-tokoh asal Liwa lain yang menggeluti dunia intelektual, kewartawanan, dan sastra antara lain K.H. M. Arief Mahya (kelahiran 1926), Sazli Rais (kelahiran 1944), Lincolin Arsyad (1958), Imron Nasri (1965), Z.A. Mathika Dewa (1970-1998), Udo Z. Karzi (1970), dan yang terkini Fitri Yani (1986) yang menelurkan buku puisi Dermaga Tak Bernama (2010).
"Tokoh-tokoh asal Lampung yang menggeluti literer serta alam dan kebudayaan di Lambar yang indah, yang penuh pesona, yang eksotik, seharusnya bisa memberikan inspirasi kepada siswa-siswi di kabupaten ini untuk menulis," kata Udo.
Menurut dia, generasi literer adalah generasi yang memiliki kemampuan membaca dan menulis atau melek huruf; sangat dibutuhkan agar bangsa Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan, bersaing, dan hidup sejajar dengan bangsa lain.
"Sejarah membuktikan peradaban suatu bangsa dikatakan tinggi jika bangsa tersebut memiliki tradisi literer. Kemampuan membaca dan menulis atau melek huruf sangat penting dalam memacu kemajuan setiap bangsa," ujar dia. (D3)
aripsah@lampungpost.co.id
Sumber: Lampung Post, Senin, 25 November 2013
Sebagai generasi literer, siswa di Lampung Barat diharapkan bisa terus mengembangkan tradisi intelektual dan literer yang sejak lama ada di daerah itu.
Sastrawan Udo Z. Karzi mengemukakan hal tersebut pada apresiasi sastra dalam rangkaian Festival Bahasa dan Sastra, yang diselenggarakan SMAN 1 Liwa, di aula sekolah tersebut, Jumat (22/11). Dalam acara yang dibuka Kepala Dinas Pendidikan Lambar ini, Udo membawakan materi bertema Jejak literasi Liwa.
Kepala Dinas Pendidikan Lampung Barat Nirlan, dalam sambutannya, menyambut baik diadakannya apresiasi sastra ini. "Saya berharap acara ini bisa memacu kreativitas siswa di Lambar dalam bidang sastra. Semoga sekolah bisa menjadi benteng bagi pengembangan sastra di daerah ini," ujar dia, seperti dibacakan Kasi Teknis SMA/SMK Rusman.
Udo mengatakan alam dan budaya Lampung Barat yang penuh pesona dapat menjadi inspirasi bagi warga Lambar dalam berkarya. "St. Takdir Alisyahbana, misalnya, menggambarkan dengan sangat menarik Liwa dan sekitarnya dalam romannya yang sangat terkenal, Layar Terkembang, terbit pertama kali 1936," ujar Udo, yang juga wartawan Lampung Post ini.
Ia juga menyebutkan catatan perjalanan J. Pattulo, tahun 1820, yang dimuat di buku Malayan Miscellanies Vol. II, terbitan Sumatran Mission Press, Bengkulu, 1822, menceritakan keadaan Liwa waktu itu.
Kalau dibanding dengan daerah lain, seperti Jawa dan Sumatera Barat, tradisi literer di Liwa kurang terlalu marak. Namun, kalau keberadaan Kerajaan Sekala Brak di kaki Gunung Pesagi, Liwa, dipercaya sebagai pewaris aksara (had) Lampung, bisa dikatakan tradisi literer di Lampung Barat sudah ada sejak abad ke-8.
"Adalah Haji Sulaiman Rasyid bin Lasa (1898?1976) kelahiran Pekon Tengah, Liwa, yang menyusun buku fikih Islam pertama di negeri ini. Buku fikih Islam ini terbit 1951 dan kini menjadi buku wajib di perguruan tinggi," kata Udo dalam acara yang diikuti siswa SMA se-Lambar ini.
Sejawat Sulaiman, Rais Latief, juga menyusun terjemahan bahasa Indonesia hadis sahih muslim. Buku-buku inilah yang menjadi cikal bakal buku-buku agama berbahasa Indonesia karya anak bangsa di kemudian hari.
Generasi Literer
Lalu, M. Harya Ramdhoni (kelahiran 1981) menelurkan novel sejarah Lampung pertama berjudul Perempuan Penunggang Harimau tahun 2011. Tokoh-tokoh asal Liwa lain yang menggeluti dunia intelektual, kewartawanan, dan sastra antara lain K.H. M. Arief Mahya (kelahiran 1926), Sazli Rais (kelahiran 1944), Lincolin Arsyad (1958), Imron Nasri (1965), Z.A. Mathika Dewa (1970-1998), Udo Z. Karzi (1970), dan yang terkini Fitri Yani (1986) yang menelurkan buku puisi Dermaga Tak Bernama (2010).
"Tokoh-tokoh asal Lampung yang menggeluti literer serta alam dan kebudayaan di Lambar yang indah, yang penuh pesona, yang eksotik, seharusnya bisa memberikan inspirasi kepada siswa-siswi di kabupaten ini untuk menulis," kata Udo.
Menurut dia, generasi literer adalah generasi yang memiliki kemampuan membaca dan menulis atau melek huruf; sangat dibutuhkan agar bangsa Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan, bersaing, dan hidup sejajar dengan bangsa lain.
"Sejarah membuktikan peradaban suatu bangsa dikatakan tinggi jika bangsa tersebut memiliki tradisi literer. Kemampuan membaca dan menulis atau melek huruf sangat penting dalam memacu kemajuan setiap bangsa," ujar dia. (D3)
aripsah@lampungpost.co.id
Sumber: Lampung Post, Senin, 25 November 2013
No comments:
Post a Comment