October 16, 2013

Malu Aku Jadi Orang Lampung

Oleh Hardi Hamzah


SEDERET perdebatan tentang pilgub kini sudah sampai titik nadir. Kenyataannya, belum ada titik kepastian. Padahal, perihalnya sederhana "anggaran tidak ada". Ini sungguh memalukan.

Gonjang-ganjing mekanisme politik di provinsi ini sebagai resultante tipis tanggung jawabnya elite politik kita, akibatnya membawa implikasi bermacam macam. Bayangkan, para bakal calon dibuat gamang, tim sukses melangkah tidak maksimal, semua dibuat floating alias mengambang.


Dalam skema mekanisme politik kedaerahan, teristimewa politik anggaran, hampir dapat dikatakan muskil bila Pemda yang bergelimang proyek kok tidak mampu mengadakan uang yang seyogianya sudah jauh-jauh harus dipikirkan.

Yang aneh lagi ketika mendagri mencoba menawarkan, entah karena kegingungan, berbagai alasan muncul, baik dari pihak yang berkompeten (dalam hal ini Pemerintah Provinsi) pun pihak akademisi dan LSM kacangan, semakin membuat rumit suasana.

Sebab itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan tidak ada political will dari pihak Pemprov untuk sungguh-sungguh membangun mekanisme politik dalam kerangka merespons partisipasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Secara sederhana, masyarakat Lampung yang sangat terbuka sesungguhnya sangat antisipatif terhadap berbagai aspek. Dengan kata lain, tidaklah layak bila masyarakat yang terbuka dan respek terhadap budaya Lampung justru dinodai egoisme kepemimpinan.

Egoisme kepemimpinan itu bukan saja berbenturan dengan butir-butir agem-agem lima pasal, seperti nengah nyappur, nemuiy nyimah, bejuluk beadek, dan sakai sambayan. Empat butir nilai-nilai ini sudah cukuplah bagi kita untuk mereduksi egosentris. Dan akan lebih fatal lagi bila egoisme itu dan eksistensi kepemimpinan kita kaitkan dengan piil pesenggiri.

Penulis memahami banyak variabel yang melekat pada nilai-nilai piil pesenggiri, tapi dalam konteks ?ketiadaan anggaran? untuk menguatkan eksistensi kedaulatan rakyat dan mengembangkan demokratisasi, terjemahan piil pesenggiri bisa secara bebas, bahwa kita ?tidak punya malu?, baik untuk masyarakat Lampung sendiri, terlebih lagi dengan provinsi-provinsi lainnya.

Ketidakpastian pilgub secara riil politik akan menjungkirbalikkan, bahkan mencerabut nilai-nilai piil pesenggiri dan bersamaan dengan itu ironinya korupsi yang melebihi jumlah anggaran yang diingini KPU sudah bukan rahasia umum lagi di kalangan elite Lampung.

Karena itu, aneh bin ajaib bila egoisme sentris elite justru menonjol di saat masyarakat akan mengaktualisasikan partisipasi politiknya.

Lebih jauh lagi, mekanisme politik di provinsi ini akan mengalami fragmentasi antarelite, selain masing-masing elite politik menyimpan pragmentasi di tengah kegamangan, dus lebih jauh lagi kultur demokratisasi terjerembab dalam tong sampah kebobrokan pola kepemimpinan.

Asumsi di atas dilontarkan karena di tengah pragmentasi pakem-pakem budaya yang tergeser simultan akan membuat provinsi ini menjadi bahan cibiran, yang pada gilirannya DPRD bingung, kalangan perguruan tinggi mengalami distorsi, dan LSM terbelah.

Semua ini akibat kita tidak lagi mempunyai pemimpin yang bersandar pada piil pesenggiri, yaitu suatu nilai yang berkehendak luhur untuk menaikkan derajat masyarakat Provinsi Lampung.

Dampak lanjutan dari ini semua, yang pertama membuka aib provinsi ini semakin lebar, semakin lebar karena selama lima tahun ini kita hampir tidak merasakan keamanan yang strategis, pembangunan infrastruktur yang amburadul, kooptasi pada pemuka adat melalui MPAL dan sederet lagi kebobrokan yang tentu tidak dirasakan elite, tetapi masyarakat di bawah saat ini benar-benar menjerit.

Okelah, terlalu panjang kalau kita akan bicara ketidakberhasilan kepemimpinan di provinsi ini karena akan sia-sia saja, kita hanya mengharapkan jangan sampai di akhir kepemimpinan akan teraktualisasi stigma yang tidak khusnul khotimah.

Bahkan, yang amat tragis, ketika penulis berbincang dengan masyarakat bawah, selain mereka sudah apolitis, lebih jauh lagi dengan tegas mereka katakan akibat gonjang-ganjingnya pilgub, malu rasanya saya jadi orang Lampung. Pada titik ini tentu kita tetap optimistis untuk mengimbau mari kita tanggalkan egosentris untuk kemaslahatan bersama.

Sahabat saya itu yang notabene dirayapi rasa kebingungan, pastilah merupakan bagian integral dari sektor ekonomi riil, dia sudah membayangkan kedodoran usaha rekan-rekannya yang lain, seperti percetakan, sablon, spanduk, dll, yang kalkulasinya tarik ulur tak terarah, semua menjadi setengah hati.

Dalam konteks lain, pilgub yang tak kunjung mencapai titik kepastian, mau tidak mau, sadar maupun tidak sadar, Provinsi Lampung semakin mereduksi falsafah hidupnya sendiri dengan adanya egosentris kepemimpinan. Bahkan, lebih jauh lagi anasir-anasir nemui nyimah, nengah nyappur, bejuluk beadok, sakai sambaian, terlebih lagi piil pesenggiri tercerabut akarnya.

Rasanya kita harus jujur jangan sampai filsafat piil pesenggiri ternoda begitu saja karena tereduksi egosentris pemimpin, yang pada gilirannya akan mencelakakan demokrasi kita. Pertaruhan untuk sebuah pendidikan politik bagi rakyat dalam dimensi menyegarkan dan mendahulukan kedaulatan rakyat mutlak adanya.

Kita sebagai provinsi yang multietnik dan terbuka, apakah harus terjerembab sedemikian rupa karena keterjebakan elite-elite politiknya dalam hegemoni kekuasaan. Ingat, kekuasaan adalah amanah dan kekuasaan yang membuat bingung masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi adalah kekuasaan yang lalim dan memalukan. n

Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation

Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment