-- Isbedy Stiawan ZS*
Spiritual berkesenian harusnya dibangunkan sejak dini. Namun, realitas di Lampung berkarya karena "pesanan", untuk perlombaan, seremoni, menyambut tamu (pejabat), mengatasnamakan peduli pada tradisi.
SAYA tinggalkan Hotel Panghegar meski masih semalam mendapat gratis menginap di hotel berbintang 5 itu. Saya memilih bermalam di rumah kos teman di kompleks CCL (Center Culture Ledeng) Bandung. Selain udaranya amat dingin, di kompleks itu ada arena berkesenian dan (kebetulan) Jumat malam (25-7) Teater Q dari Tegal mementaskan Titik Koma.
Saya tidak hendak membincangkan pementasan teater yang sarat "pesan sponsor" HIV/AIDS itu sehingga terkesan cair. Di CCL, saya berjumpa seorang perupa yang kerap melakukan pameran instalasi dan pernah magang pada Tisna Sanjaya. Ia menyebut namanya, Yudi A.B., tatkala berkenalan di sela-sela pementasan Teater Q. Percakapan lebih luas ihwal kesenian, terutama seni rupa dan sastra juga ihwal seniman "perahu retak" Tisna Sanjaya, dilanjutkan keesokan harinya
Tatkala cuaca pagi masih sangat dingin, Yudi datang membawa beberapa kilo bibit padi, jagung, dan kedelai. Karena sebelumnya di Lampung tidak biasa menyaksikan seniman melakukan hal seperti itu (semula saya menganggap ia melakukan kerja rangkap untuk menghidupi dirinya sehari-hari selain dari kesenian, sebagaimana acap dilakukan seniman lain yang acap menggarap ranah politik di kala pilkada), membuat saya ingin tahu lebih banyak darinya.
Yudi A.B.--lulusan FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung--mengurai rencana berkeseniannya. Ia sedang menggarap agriculture grafis: Satu karya grafis di atas ladang pertanian. Ia menyebut kolase. Bibit padi, jagung, dan kedelai yang ia beli itu akan disebar di lahan sawah seluas seperempat hektare di kawasan Lembang. Proses "untuk menjadi" butuh 3 bulan. Bibit tanaman yang gagal itulah kelak dijadikan grafis di ladang.
Untuk karya grafis di atas ladang pertanian tersebut, ia juga menyiapkan kamera foto dan video. Hasil jepretan itu nantinya yang akan dijadikan karya kolase agriculture grafis. Karya berkesenian Yudi bisa dilihat 4 atau 5 bulan mendatang. Betapa panjang (prosesnya), bukan?
Bagi Yudi, berkesenian adalah menyerap sebanyak-banyaknya persoalan yang terjadi dan (akan terjadi). Berkesenian bukan hanya urusan ("kepuasan") batin, imajinasi, dan seabrek popularitas estetika, melainkan hendak berdialog melalui kesenian.
Artinya, melalui karya grafis di ladang pertanian (agriculture grafis) tersebut, Yudi ingin mempertanyakan (tepatnya menggugat) penguasa tentang impor beras sementara di lumbung kekurangan beras. Ia ingin menyoal harga tempe yang sempat melonjak, justru kedelai banyak dihasilkan dari lahan di negeri ini. Termasuk pula masalah jagung yang masih favorit masyarakat.
Sepenggal perjumpaan saya dengan Yudi A.B. di pojok bedeng CCL Bandung akhir Juli lalu sangat pas mengawali pewacanan kesenian di Lampung yang dilontarkan kawan Ari Pahala Hutabarat (Teater dan Usaha Menjadi Lebih Rasional, di harian ini, 27 Juli 2008) dan Iswadi Pratama (Kesenian di Lampung; Rasional, Spiritual atau 'Libidinal'? pada Lampung Post, 3 Agustus lalu) yang bertolak dari Festival Monolog yang ditaja Dewan Kesenian Lampung, 12--13 Juli 2008.
Agaknya, "keamarahan" direktur artistik dan sutradara KoBer atas penampilan 11 aktor/aktris peserta monolog beralasan. Sebagai salah satu tim pengamat (juri) festival tersebut, Ari Pahala seakan mendapatkan minimnya pengetahuan berkesenian peserta tentang naskah dan keaktoran. Sedangkan Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu, memperoleh gambaran betapa sesungguhnya aktor/aktris di daerah ini malas atau enggan berproses. Mereka--bahkan juga banyak seniman di Lampung--ingin cepat jadi tanpa melampaui proses; ingin tampil di panggung tanpa pernah mengolah laku dan suara.
Sejatinya bukan puncak keberhasilan adalah segalanya, tetapi berproses dan berproses menjadi mutiara berharga. Hanya kita--para seniman--sering abai pada persoalan proses atau (ketekunan/disiplin) berlatih. Sehingga, dianggap wajar, dari 23 peserta awal yang terdaftar pada Festival Monolog akhirnya hanya 11 melenggang ke panggung. Selebihnya menggugurkan diri dengan berbagai alasan: Tak punya waktu latihan dan banyak kesibukan di luar kesenian.
Panitia festival tak sepenuhnya disalahkan hanya alasan "mengapa hanya 11 peserta yang ikut?" dan "apakah disebabkan publikasi yang kurang?" yang sempat terlontar dari rekan-rekan pengurus DKL. Saya bantah anggapan itu untuk membela kerja panitia.
Persoalan, sekali lagi, terletak pada ketiadaan disiplin dan ketekunan untuk melampaui proses. Tiadalah Putu Wijaya, N. Riantiarno, Sutardji Calzoum Bachri, Ratna Majid, Goenawan Mohammad, Affandi, Sardono W. Kusumo, Garin Nugroho--untuk menyebut beberapa nama--meraih prestasi seperti terlihat kini, tanpa melalui proses (kerja) yang panjang; disipilin dan tekun.
Spiritual berkesenian harusnya dibangunkan sejak dini tatkala kita mulai tancapkan kehendak melenggang di jalan kesenian. Sebab, sebagaimana profesi, awal dan muara adalah kerja dan kerja bagian tak terpisah dari ibadah. Sedangkan ibadah tentulah berurusan dengan spirit(ual), maka menjadi tak terbantah lontaran Iswadi Pratama dan tulisannya tersebut.
Baik Ari Pahala maupun Iswadi Pratama, bukan kebetulan, saya tahu proses (kerja/kreatif) sebagai seniman untuk "menjadi lebih rasional" dan berprestasi seperti sekarang ini. Artinya menggeluti ranah kesenian bukan dengan niat setengah-setengah atau "sepintas lalu" (Budi Darma), sekadar (Sutardji Calzoum Bachri). Melainkan berani "mengejami diri hingga berdarah-darah" (Emha Ainun Nadjib), "mengharu-biru" (Taufiq Ismail), dan setia siap menjadi "binatang jalang" (Chairil Anwar) ataupun manusia "no maden" (Iwan Simatupang--dalam arti spiritual.
Realitas berbalik mencermati seniman (berkesenian) di Lampung. Berkarya karena "pesanan", untuk perlombaan, seremoni suatu perhelatan, menyambut tamu (pejabat), mengatasnamakan peduli pada tradisi dengan dalih mak kham siapa lagi, mak ganta kapan lagi. Atau berkesenian secara komunitas (kelompok) yang nyaris mengedepankan hura-hura lalu mengenyampingkan spiritual, berkesenian instan yang menyihir generasi-wangi.
Aduhai, apakah hanya sebegitu (ber)kesenian kita hari ini? Apakah kesenian kita melulu "menadah" tangan pada pemerintah setiap hendak produksi? Ternyata seorang Yudi A.B. menyiapkan benih untuk ditanam bagi karya grafisnya di ladang pertanian, tanpa mengajukan lebih dulu proposal ke pemerintah atau lembaga terkait. Ia berjuang dan (harus) membongkar koceknya sendiri untuk menyiapkan proses agriculture grafis-nya.
Tetapi banyak seniman daerah ini hanya untuk satu produksi yang terbilang instan, berlembar-lembar jutaan bisa ditangguk dari pemerintah. Digunakan "manajemen kedekatan (emosional)", misalnya, melibatkan salah satu tokoh yang memiliki kedekatan pada penguasa untuk memuluskan urusan di birokrasi. Dan, masih banyak cara lain menembus jalan pintas, dengan mencuaikan proses spiritual tadi.
Konon di Malaysia, seseorang bisa melahirkan karya seni (sastra), ia bisa diakui sasterawan negare dan berbagai fasilitas dimudahkan atau mendapat dispensasi/diskonisasi. Karena itu, konon pula, Malaysia banyak "seniman negara" yang mendapat diskon bila menginap di hotel, mendapat keringanan fasilitas dari negara, dan seterusnya; termasuk tidak kesulitan mengunjungi undangan ke luar negeri.
Indonesia memang tidak sama dengan Malaysia. Meski tak ada "seniman negara", bukan berarti tak adanya seninan-seniman (di Lampung saja) yang memiliki "kedekatan sangat kental" pada kekuasan (penguasa). Apalagi sejarah tak bisa dilupakan, betapa kedetakan Lekra pada partai dan penguasa saat itu. Begitupun sejarah akan terus berulang, dan kini secara kasat mata bisa dilihat "peran" (beberapa) seniman dalam politik--terutama menjelang Pilgub Lampung 3 September.
Peran Akademisi dan Kritisi
Persoalan mendasar kesenian di Lampung sebenarnya minimnya peran akademisi dan kritisi--baik dari jalur luar maupin dalam kampus. Padahal, manakala karya-karya seni lahir cukup banyak (di Lampung banyak lahir karya seni rupa, sastra, teater, dan film), tetapi tak sebanding lahirnya kritik seni.
Iswadi Pratama menyebut, "mengapa setelah Anshori Djausal, hampir tidak ada lagi kaum cerdik pandai dari sekian banyak perguruan tinggi di daerah ini yang--tak perlulah ikut berdebu bersama seniman--mau berbagi wacana dan pengetahuan? Walaupun saya masih menambahkan nama Damanhuri, Asarpin (alumnus IAIN Radin Intan), dan (sesekali) Oyos Saroso H.N. (jebolan UNJ Jakarta, d.h. IKIP Rawamangun) masih mau berbagi di ranah kesenian. Tetapi, memang yang diidamkan Iswadi ialah kehadiran kritisi dan cerdik-pandai yang mau berbagi ilmu di ranah kesenian di Lampung belum sebanding, karena itu ia menganggap "hampir tidak ada lagi..."
Ironi memang. Tatkala Unila ada jurusan bahasa dan seni, sedang dari "kawah" itu tak lahir seorang pun kritikus seni. Manakala Unila menyediakan jurusan yang identik pada urusan sastra dan kesenian, sudah bertahun-tahun hanya lahir segelintir seniman: Ari Pahala Hutabarat, Dyah Merta--dan beberapa nama lainnya. Cuma untuk seorang atau dua kritikus seni saja tidak bisa.
Karena itu, usah heran apalagi harus marah jika Iswadi mengatakan hampir tidak melihat seorang pengamat politik, rektor, dekan, dosen--misalnya--asyik nonton teater, pameran lukisan, pentas tari, konser musik, pemutaran film, diskusi sastra. Kenapa harus heran? Alasan apa untuk membuat kita berang? Dalam sejarah pemilihan presiden--apatah lagi pilgub maupun pilbup/pilwalkot serta penjaringan legislatif--di negeri ini, tak ada keharusan seseorang sekadar mengerti-mengapresiasi kesenian.
Maka tengoklah anggaran yang disediakan untuk kesenian jauh di bawah bagi menghidupi olahraga. Hal ini disebabkan minimnya di lembaga eksekutif dan legislatif kepedulian (apresiasi) terhadap kesenian. Lalu, di sisi lain, tidak banyak seniman yang menjadikan kesenian sebagai etos kerja, spirit hidup, selain--barangkali--hanya tujuan pragmatis, sesaat, rangkap, dan cita-cita yang kabur itu. Berkesenian lantaran "panggilan massa", bukan sapaan jiwa (spirit).
Jadi, mau apalagi, begitulah kesenian kita saat ini. Meskipun, yakinlah, di lahan tandus pun kesenian (seniman) yang memiliki spiritual dan setia berproses, tetaplah akan tumbuh (lahir). Betapapun, sekiranya, Dewan Kesenian di Indonesia ini ditiadakan. Ataupun, barangkali, media massa dan ruang-ruang berkesenian ditutup maka kesenian (seniman) akan tetap muncul. Demikian suratan...
* Isbedy Stiawan ZS, Sastrawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Agustus 2008
ikut memberikan apreasiasi ah, walau sekedar via blog
ReplyDelete