BANDAR LAMPUNG (Lampost): Fiksi mikro selama ini belum begitu dikenal masyarakat karena jarang mendapat tempat dalam setiap perhelatan. Bahkan di Indonesia belum banyak sastrawan yang terbiasa membuat karya fiksi mikro. Padahal fiksi mikro bukan semata karena pendek tulisannya, melainkan sarat efisiensi bahasa dan kata.
Hal itu diungkapkan salah seorang seniman sastra Lampung Iswadi Pratama dalam bilik jumpa sastra di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, beberapa waktu lalu. "Fiksi mikro diibaratkan seperti sebuah pil yang didalamnya banyak zat kimia. Pil itu ternyata memberikan dampak yang begitu besar bagi tubuh. Atau seperti tas yang berisi begitu banyak barang," kata Iswadi kepada sejumlah seniman yang menghadiri acara itu.
Menurut Iswadi, fiksi mikro berbeda dengan cerpen atau novel. Novel merupakan representasi dari realitas kehidupan yang ditulis detail secara deskripsi. Pada fiksi mikro, penulis akan dibatasi dengan ruang yang hanya dua paragraf atau dua lembar. Tapi penulis harus mampu bercerita banyak dengan ruang yang terbatas. Cerpen seperti kawan lama yang bercerita di ruang tunggu.
Sedangkan fiksi mikro, seperti orang asing saat bertemu langsung mengatakan sesuatu yang tidak terduga. "Fiksi mikro langsung, menohok, dan meninggalkan kesan," ujar Iswadi. Peserta lomba cerpen mini, kata Iswadi, kebanyakan masih bernafsu untuk menulis semua. Peserta menulis cerita mengenai tokoh dari masa kecilnya hingga tua. Menulis pacaran yang diawali dengan pertemuan pertama, kemudian ciuman pertama, dan dilanjutkan dengan kejadian putus pacaran. Setelah cerpen jadi, kemudian sengaja dipendekkan agar terlihat mini. Hal itu bukan menghasilkan prosa mini, tapi prosa cacat," kata Iswadi.
Iswadi menilai beberapa karya peserta lomba cerpen mini memiliki kesalahan logika. Logika tidak bekerja. Dengan menyiasati agar menghasilan tulisan pendek, malah membuat sinopsis. Mayoritas karya Peserta yang dikirimkan masih berupa cerpen. Padahal fiksi mikro merupakan cerita yang bisa dinikmati dalam satu sesap kopi, dalam rentang waktu habisnya sekeping koin di telepon umum, dalam ruang yang tersedia pada sehelai kartu pos. "Jumlah kata fiksi mikro kurang dari 2.000 kata. Begitu kata Laura Zavala," tambahnya.
Sementara salah seorang seniman lain Syaiful Irba Tanpaka menanggapi penjelasan dari Iswadi, dengan mempertanyakan tidak adanya batasan minimal tulisan dan kata dalam fiksi mikro. Hal ini membuat bingung para penulis pemula. "Kalau ada batasan maksimal, maka harus ada batasan minimal," kata dia.
Tanggapan Syaiful itu langsung dijawab Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) Ari Pahala Hutabarat. Ari mengatakan tidak ada batasan minimal dalam fiksi mikro. Karena belum ada kesepakatan di dunia sastra tentang batasan minimal fiksi mikro. Karya Ernest Hemingway yang hanya enam kata merupakan fiksi mikro yang sangat terkenal. "Sudah dibuat batasan maksimal pada lomba cerpen mini DKL maksimal 2.000 kata," kata Ari.
Untuk membedakan fiksi mikro dengan genre sastra lain, kata Ari, adalah niat si pengarang. Jika pengarang meniatkan menulis fiksi miko, berarti karya yang dihasilkan adalah fiksi mikro. Ari mencontohkan antologi fiksi mikro karya Supardji Djoko Damono, merupakan kumpulan fiksi mikro karena penulis mengelompokkan dalam genre itu. n */K-3 * Padli Ramdan
Sumber: Lampung Post, Jumat, 15 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment