August 25, 2008

Sosok: Jumadi, Petani yang Pandai Memanfaatkan Celah

-- Hermas E Prabowo

PETANI tidak selalu berkonotasi dengan kemiskinan. Petani ”boleh” dan bisa kaya. Syaratnya, mau bekerja keras, pandai memanfaatkan setiap peluang usaha, dan berani berspekulasi. Spekulasi dalam usaha tani bukan berarti tanpa perhitungan, tetapi justru dengan perhitungan yang matang.

Sukses menjadi petani karena jeli memanfaatkan peluang usaha telah dibuktikan oleh Jumadi, pria berusia 40 tahun, warga Desa Margosari, Kecamatan Metrokibang, Kabupaten Lampung Timur.

Jumadi mengawali usaha taninya dengan lahan 0,75 hektar pada 1991. Dalam waktu kurang dari 17 tahun, ayah satu anak ini telah memiliki 28,5 hektar lahan kering yang tersebar di dua kabupaten, Lampung Timur dan Lampung Selatan.

Menghitung penghasilannya, dengan luas lahan pertanian 28,5 hektar, pendapatan Jumadi tentulah tidak kecil. Apalagi di tengah meroketnya harga jagung yang merupakan komoditas andalan Jumadi belakangan ini.

Ini belum termasuk pendapatan yang diperolehnya dari kontrak kerja sebagai ”buruh”—begitu dia menyebut dirinya—di Perkebunan Nusantara di daerahnya. Untuk pembersihan lahan perkebunan (land clearing) saja, sekarang ini kontrak kerjanya meliputi areal seluas sekitar 130 hektar.

Pendapatan Jumadi semakin besar bila dihitung dari penghasilan usaha jasa penyewaan enam traktor besar, satu truk, dan hasil dua hektar tanaman sawit miliknya di Pekanbaru.

Bukan hanya uang yang didapat Jumadi dari hasil kerja kerasnya. Di lingkungannya, dia telah tampil menjadi sosok ”panutan” para petani dalam urusan mengadopsi teknologi pertanian. Berbagai uji coba penanaman benih jagung varietas baru, pola pertanaman, pemupukan, hingga proses pascapanen kerap dilakukan di lahan Jumadi.

”Saya tidak alergi dengan teknologi pertanian baru. Setiap kali ada benih varietas baru, saya rela mengorbankan dua hektar untuk lahan uji coba. Kalau hasilnya bagus, semua lahan saya pertaruhkan,” katanya.

Tanam cabai

Keberhasilan Jumadi meniti ”karier” sebagai petani tentu tidak semudah kita membalikkan telapak tangan. Melalui fase berkali-kali ”jatuh-bangun”, Jumadi baru bisa mengenyam hasil kerja kerasnya selama ini. Kesulitan yang dihadapi Jumadi sebenarnya khas kesulitan nyaris setiap petani kecil. Misalnya, dia sulit mengakses permodalan, gagal panen, tanamannya terserang hama, dan jatuhnya harga komoditas pertanian di pasar.

Pernah suatu ketika Jumadi ditolak bank saat berniat meminjam dana Rp 500.000 untuk modal penanaman. Terpaksa dia meminjam uang yang sangat dibutuhkannya itu kepada seorang lintah darat dengan bunga 10 persen per bulan.

Juga pernah berhektar-hektar tanaman jagung di arealnya terserang ulat penggerek batang dan tongkol. Akibatnya, Jumadi hanya mendapat hasil sekitar 20 persen. Pernah pula ketika panen bagus, tetapi pada waktu bersamaan harga komoditas pertanian mendadak ”jatuh”. Tidak ada pilihan bagi Jumadi, selain harus menerima kerugian. Namun, dengan berjalannya waktu, semua rintangan itu mampu dilalui Jumadi dengan kepercayaan diri dan sikap tidak mudah patah arang.

Jumadi bercerita, awal dia menekuni usaha tani pada 1991, hanya dengan modal tanah garapan milik orangtua seluas sekitar 0,75 hektar. Ketika itu dia sempat merasa mendapat jatah lahan garapan terlalu sempit. Anak pertama dari delapan bersaudara ini lalu memutuskan menanam cabai. Alasannya sederhana, karena tanaman cabai bisa mendatangkan untung berlipat ganda.

”Menjadi petani cabai itu kalau lagi bagus nyugihi (membuat petani kaya). Tetapi kalau apes mudhani (menelanjangi alias mendadak miskin). Karena modal bertani cabai itu per hektar bisa mencapai sekitar Rp 25 juta,” kata Jumadi mengenang.

Oleh karena tak mau merugi pada awal menggeluti usaha tani, Jumadi serius mempelajari teknik budidaya cabai, sekaligus menghitung waktu penanaman yang tepat. Ini penting agar saat panen harga cabainya tak jatuh. Ketekunan Jumadi membuahkan hasil. Produktivitas cabai yang dia tanam tinggi. Harga pasar cabai Rp 2.800 per kilogram, harga yang fantastis kala itu.

Berkat keberhasilan panen cabainya, dalam tempo dua tahun Jumadi mampu membeli lahan kering baru 1,5 hektar. Akumulasi tanah yang baru dia beli dan tanah garapan orangtua membuat penghasilannya berlipat.

Komoditas yang dia tanam pun semakin bervariasi, tak hanya cabai, tetapi juga semangka dan jagung. Pikirnya, semakin variatif jenis tanaman makin baik karena risiko bangkrut makin kecil.

Meskipun pertambahan luas lahan Jumadi cukup cepat dibandingkan petani lain di daerahnya, dia belum puas. Jumadi lalu menyewa lahan, sekaligus membeli lahan kalau ada yang menjual. Hitung-hitungan Jumadi kala itu menunjukkan, dengan tanah sewa sekalipun, usaha pertanian cabai masih menguntungkan. Meningkatnya luas areal tanam membuat penghasilannya bertambah. Dalam waktu lima tahun, lahan kering milik Jumadi sudah mencapai 10 hektar.

Tahun 1998 dia melihat peluang usaha transportasi komoditas pertanian, dari tempat produksi ke pusat pasar, bisa menguntungkan. Jumadi pun membeli satu truk. Dua tahun kemudian dia menambah armada angkutan menjadi tiga unit. Jumadi juga melirik usaha penyewaan traktor. Selain untuk mengolah lahan sendiri, pendapatan dari penyewaan traktor juga bisa Rp 100.000 per hari.

Terbukti menguntungkan, jumlah traktor dia tambah. Pada 2003 Jumadi memiliki empat traktor, yang dia beli seharga sekitar Rp 200 juta per unit dalam kondisi bekas pakai.

Berdinding papan

Tahun 2003, meski telah memiliki lebih dari 15 hektar lahan kering, tiga truk, dan empat traktor, Jumadi belum tergiur membangun rumah besar. Rumahnya sempit dan berdinding papan. ”Prinsip saya, rumah bisa dibangun kapan saja, tetapi tidak setiap hari orang mau menjual lahan pertanian,” katanya.

Maka, walaupun dia mempunyai tiga truk, enam traktor, dua mobil Kijang, dan tujuh sepeda motor—sebagai alat transportasi ke kebun bagi para pekerja—Jumadi tak segan menjual barang untuk membeli tanah bila ada orang yang menjual. Tiap tahun setidaknya dia membeli 1-2 hektar lahan. Bahkan, pada 2006 dia membeli enam hektar lahan.

Seiring dengan pertambahan lahan, penghasilan Jumadi pun meningkat. Keuntungan dari usaha bertani jagung makin berlipat, apalagi sejak 2006 harga jagung naik sampai 300 persen. Hal yang menyenangkannya, usaha yang dilakukan itu juga mendatangkan berkah bagi para tetangga. Setidaknya, setiap musim tanam dan panen tiba puluhan orang bisa mendapat penghasilan dari bekerja di lahan Jumadi.

Sumber: Kompas, Senin, 25 Agustus 2008

No comments:

Post a Comment