August 25, 2008

Teluk Lampung, Surga Pencuri Ikan Hias dan Terumbu Karang

Pengantar

AKSI pencurian ikan hias dan terumbu karang semakin marak di perairan Teluk Lampung mulai dari perairan di Padang Cermin hingga Teluk Kiluan. Untuk mengetahui aktivitas pencurian itu, bersama ahli selam Felix Dwiagung Widodo dan LSM Cikal (Fadliansyah dan Rico Stevanus), Lampung Post melakukan penelusuran selama tiga hari, sejak Jumat (23-8) sore hingga Minggu (25-8) pagi.

---

DI laut dengan kedalaman rata-rata 10--15 meter itu terlihat jelas betapa makin rusaknya terumbu karang di perairan itu. Populasi ikan hias mulai nemo, barongsai, sampai moris idol yang di pasaran harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah per ekornya kini makin sedikit.

Kami juga melihat para pencuri ikan hias dan terumbu karang itu beraksi. Di kedalaman sekitar 10 meter di spot yang menjadi daerah perlindungan laut (DPL), para pencuri dengan santai memasang bubu, perangkap ikan yang terbuat dari kawat yang biasa dipasang di sela-sela karang.

Beberapa perangkap ikan itu pun kami lepas termasuk sekitar 50 ekor ikan hias yang sudah terperangkap dalam bubu itu, beberapa jenis ikan hias dari kelompok barongsai tidak bisa diselamatkan karena kulitnya tersayat kawat bubu.

"Bayangkan hanya untuk mendapat uang ratusan juta dan menyenangkan nafsu para penghobi ikan hias yang ada di Jakarta, para pencuri ini tega merusak populasi ikan hias dan terumbu karang di sini, mereka sama sekali tidak memikirkan dampak dari perbuatan mereka yang bisa merugikan nelayan," jelas Felix D. Widodo yang biasa dipanggil Dodo.

Yang lebih menyedihkan lagi, beberapa ikan hias yang ditangkap dan dijual secara ilegal itu termasuk kategori langka seperti jenis moris idol/banner fish (Heniochus acuminatus), angel fish (Chaetodontoplus sp), bat fish (Platax teira), damselfish (Pomacentrus sp dan Dascyllus ), parrot fish, surgeon fish, sergeant fish (Abudefduf sp), lion fish (Pterois volitans), trumpetfish (Aulostomus sp), blenny fish (Crossosalarias sp), gobyfish (Fusigobius sp), dan anemon fish (Amphiprion sp).

Ikan jenis ini populasinya makin sedikit. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh perairan dunia. Makin langka, artinya harga jualnya makin tinggi. Bayangkan, satu ekor ikan jenis moris idol, bat fish atau jenis angel fish bisa dijual Rp2 juta/ekor di Jakarta.

SELAMA tiga hari berturut-turut, kami menyaksikan langsung betapa leluasanya para pencuri ikan hias dan terumbu karang itu beraksi. Para pencuri ikan hias dan terumbu karang yang bekerja secara berkelompok ini mampu memasang bubu paling sedikit di 41 titik dengan jumlah bubu di satu titik sebanyak 10 bubu--satu bubu bisa menghasilkan ikan hias paling sedikit 10 kilogram.

Aksi mereka dilakukan di daerah yang menjadi kawasan perlindungan laut yang tidak boleh siapa pun masuk daerah ini untuk menangkap ikan. Mereka tergiur upah besar dari juragannya.

Bayangkan, untuk satu buah bubu yang bisa menangkap paling sedikit 10 kilogram ikan hias, mereka dibayar Rp1 juta untuk tiga orang. Artinya, rata-rata penghasilan mereka Rp300 ribu lebih sehari. Padahal, rata-rata nelayan pencuri ikan hias dan terumbu karang ini bisa membawa sepuluhan bubu dengan tangkapan sekitar 100 kg sehari.

Sepuluhan bubu dan tiga nelayan itu cukup dalam satu perahu ketinting. Padahal, dalam seharinya paling sedikit ada 10 perahu ketinting yang beroperasi mencari ikan hias dengan lokasi yang berbeda-beda.

"Cari duit cepet ya kerja seperti ini, nggak terlalu capek cuma memasang bubu pagi hari, sore hari sudah diambil lagi," ujar Mamat, salah seorang nelayan yang mencuri ikan hias di sekitar perairan Padang Cermin.

Kegiatan mereka bukan tidak berisiko. Sebab, untuk memasang bubu di kedalaman 10 meter itu para pencuri ini hanya mengandalkan kompresor sebagai alat bantu pernapasan mereka selama menyelam.

Biasanya, dalam menjalankan aksinya, para penyelam ini bekerja secara berkelompok dengan 4--5 perahu ketinting. Satu perahu berisi tiga orang.

Seorang bertugas menyelam, seorang lain mengambil hasil tangkapan dan menjaga agar mesin kompresor tetap hidup sebagai alat bantu pernapasan rekannya dalam air, sedangkan seorang lain sebagai juru mudi sekaligus mengawasi keadaan sekitarnya.

Bubu berisi ikan tangkapan diikat di bawah perahu dalam air untuk menghindari kapal patroli yang merazia perahu mereka. Dengan cara itu juga, ikan hias dalam bubu tidak mudah mati.

"Biasanya patroli sering curiga kalau lihat perahu bawa kompresor, mereka langsung mendekati perahu dan merazia bawaan perahu, makanya bubu kami ikat di bawah kapal jadi kalau ketahuan bisa langsung dilepas ke dalam laut," ujar Mamat.

Ikan-ikan hasil tangkapan ini kemudian dibawa ke pengumpul. Terdapat tiga lokasi pedagang pengumpul ikan hias dan terumbu karang, yaitu di Padang Cermin, Tarahan, dan Cukuh Balak.

Setiap pemasok ikan hias ke Jakarta ini memiliki paling sedikit 10 perahu ketinting atau 30 anak buah yang setiap harinya ditugaskan mencuri ikan hias.

Dari tiga bos ini, hampir semua nelayan menyebut Nj sebagai pengumpul paling besar. Bos besar ini menjalankan aksi di Cukuh Balak. Ia memiliki 20 perahu ketinting dengan 100 anak buah.

"Pak Nj itu yang paling kaya, sehari dia bisa menjual paling sedikit 3 ton ikan hias ke Jakarta, kalau yang lain paling banyak cuma 2 ton sehari. Dia juga berani bayar mahal ikan hias asalkan masih sehat dari jenis ikan yang harganya mahal, makanya banyak nelayan lain yang menjual ke tempatnya," ujar seorang nelayan.

Tidak heran kebanyak nelayan yang sebenarnya adalah anak buah dari pedagang pengumpul lain juga ikut menjual kepada Nj karena upah yang mereka dapat terkadang lebih besar dari bosnya.

Lampung Post mencoba mendatangi dua pedagang pengumpul di Padang Cermin dan Tarahan. Di dua lokasi ini terlihat sejumlah bak-bak penampung ikan hias yang di dalamnya terdapat ratusan bahkan ribuan ekor ikan hias siap jual.

Di rumah yang di bagian belakangnya disulap menjadi tempat meletakkan bak penampungan itu terdapat lima bak penampungan ikan hias. Ikan hias sejenis dimasukkan satu bak yang sama, seperti nemo dan barongsai.

Ikan hias mahal seperti moris idol atau angel fish sengaja diletakkan dalam rumah karena ikan ini tidak tahan kontak langsung dengan sinar matahari. "Untuk MI (moris idol, red) memang sengaja disimpan dalam rumah karena kalau sampai mati kami juga yang rugi," ujar seorang pedagang pengumpul di Padang Cermin kepada Lampung Post yang mengaku sebagai pembeli ikan hias.

Pengumpul ini menjelaskan hampir 80 persen ikan hias ini dijual ke Jakarta, sisanya di Lampung karena banyak juga pehobi ikan hias di Lampung. "Tapi yang di Lampung tidak tahu jenis ikan dan tidak berani bayar mahal, hobinya masih setengah-setengah, tidak seperti penghobi di Jakarta. Untuk ikan moris idol kalau memang lagi susah dicari, bisa dibayar jutaan rupiah seekornya, makanya banyak kami jual ke Jakarta," jelasnya.

Produsen Ikan Hias

Dodo menyatakan perairan Teluk Lampung dan sekitarnya masuk kategori kedua terbesar setelah Kepulauan Wakatobi sebagai produsen ikan hias dan terumbu karang untuk para pelaku illegal fishing.

"Setiap hari berton-ton ikan hias dijual ke Jakarta oleh jaringan pencuri ikan hias dan terumbu karang dengan omzet bisa seratusan juta rupiah, semua ikan hias dan terumbu karang itu diambil dari perairan Teluk Lampung dan aparat tidak berusaha mencegahnya apalagi menangkap mereka," kata Felix.

Menurut salah seorang penyelam kondang asal Lampung ini, aparat bukan hanya tidak peduli. "Nanti setelah populasi ikan hias dan terumbu karang di sini makin kritis, mereka baru peduli. Sebab, saat semua biota laut hancur, bagi mereka justru keuntungan karena berarti bakal ada program atau proyek ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah untuk merehabilitasi itu semua."

"Kita ini seperti maling teriak maling, di satu sisi sibuk menggalakkan tahun kunjungan wisatawan sementara di sisi lain kita malah membiarkan pencurian ikan hias dan terumbu karang atau bahkan bekerja sama merusak habitasi laut Teluk Lampung cuma karena uang sejuta-dua juta saja," kata Felix. n MEZA SWASTIKA/R-2

Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Agustus 2008

No comments:

Post a Comment