August 28, 2008

Sosok: Bang Bam, Sebuah Buku yang Tak Pernah Habis Dibaca*

-- Machsus Thamrin**

LELAKI separuh baya itu menunggu kami di ujung gang. Dengan susah payah dan langkah diseret, menyambut kami dengan tangisan dan pelukan erat, lalu membawa kami ke sebuah rumah petak di sebuah gang sempit di ujung Jakarta.

Tanpa diminta diapun berkisah tentang sebuah peristiwa yang menghempaskannya dari sebuah puncak kejayaan. "Hari itu aku jalan membawa taft milik kantor. Ada tiga orang yang naik mobil itu, tiba-tiba semuanya gelap, ketika sebuah pukulan menghantamku dari belakang."

Seorang teman bercerita, saat kejadian lelaki itu membawa uang lebih dari Rp 100 juta, yang semula akan dipakai sebagai uang muka pembebasan tanah. Uang itu tak pernah diketahui dimana rimbanya.

Banyak orang yang menyangka itulah masa akhir lelaki itu. Namun Allah berkehendak lain, setelah dua puluh tujuh hari koma dan kritis, muzijat itu datang. Perlahan kesehatannya pulih, meski kedua tangannya sudah tak normal, dan jalan pun harus diseret.

Kecelakaan atau mungkin kejahatan itu itu telah merengut segalanya, karier yang cemerlang, dan semua yang pernah dimilikinya. Namun penjahat itu tak mampu menghilangkan kejernihan pikirannya. Dengan jernih dia bercerita tentang berbagai hal.

***

Bersama Syamsi Daruf, mantan wartawan foto Lampung Post, pertemuan yang lama saya inginkan itu terjadi, lewat SMS berisi nomor telepon, yang dikirim Jiun, atas permintaan Ujang dari Palembang.

"Jangan datang ke rumahku, rumahku jelek!,"katanya. "Aku tak peduli seperti apa rumahmu.Aku datang untuk bertemu, bukan untuk melihat rumahmu," kata Bang Syamsi, gantian menghardik.

Lelaki itu adalah Bachtiar Amran Daeng Malewa, wartawan Kompas asal Makasar yang ditempatkan di Lampung. Bagi anak-anak Teknokra, Bang Bam, begitu kami memanggilnya seperti inisialnya saat menulis berita di Kompas. Bagi anak-anak Teknokra, dia adalah guru, sekaligus teman.

Tanpa mau menerima imbalan, Bang Bam selalu hadir memberikan materi pelatihan, setiap penerimaan reporter baru Teknokra, Surat Kabar Kampus Universitas Lampung. Anak-anak Teknokra generasi akhir 80 hingga 90-an, memperoleh pengetahuan dasar dan motivasi untuk hidup sebagai wartawan darinya.

Kala itu, biasanya Bang Ansyori Djausal, memberikan materi fotografi, Bang Kolam Pandia dari Lampost tentang reportase. Bang Bam diminta memberikan materi tentang menulis laporan, tapi dia tak pernah mau mengajar menulis, yang dia ceritakan adalah bagaimana seorang wartawan itu bekerja. Dengan segala pengalamannya dan cerita lucu di lapangan.

Pergaulan erat itu demikian mendalam. Rumahnya di Jalan Gajah Kedaton, menjadi tempat berkumpul anak-anak Teknokra. Istrinya selalu diinstruksikan memasak nasi lebih banyak, karena setiap hari, ada saja anak Teknokra yang kehabisan uang dan ikut makan di rumahnya. Ketika kiriman itu belum datang, dengan berpura-pura ikut membaca koran, saya pun datang ke Jl Gajah, yang terletak tak jauh dari rumah kos. Biasanya tak lama kemudian, dia menyuruh saya makan, dengan Sayur Bayam dan Ayam Goreng yang terasa sangat mewah.

Saat saya tengah menulis skripsi, Bang Bam meminta saya menulis riwayat hidup, dan mengirimkannya kepada Mas Hendriwijono yang saat itu tengah memimpin Sriwijaya Post di Palembang. Lewat rekomendasi itu pun, jalan panjang sebagai wartawan dimulai.

Dengan Vespa milik Kompas, berdua kami kerap menelusuri pedesaan Lampung. Namun setelah masa magang itu selesai, saya sering dilepaskannya sendiri mencari berita.

Sore-sore dia tinggal tanya, "Dapat apa hari ini?" Kalau menurutnya, bagus, dia akan kirimkan berita itu juga ke Jakarta melalui modem (saat itu belum ada internet).

Dalam pertemuan pagi itu, kami berganti-ganti tertawa dan menangis. Tawanya terbahak-bahak, saat kuceritakan masa-masa bersama mencari berita dulu, bagaimana dia memarahi, karena menganggap berita yang kutulis tak layak, dan struktur beritanya kacau. "Sana kau pergi, belajar lagi!" katanya.

Keesokan harinya, berita yang kutulis untuk Sriwijaya Post itu dimuat di Kompas, tanpa perubahan apa pun termasuk titik dan komanya.

Dalam beberapa kesempatan dia juga dimarahi redaktur daerahnya, karena lupa mengganti lokasi peliputan, misalnya Bandarlampung, Sripost— dengan Bandarlampung, Kompas.

Pengalaman lain, saat suatu ketika terjadi kecelakaan tabrakan kereta dengan bus di dekat Kotabumi. Segera kutulis berita dengan Judul, "32 Tewas Dalam Tabrakan KA Vs Bus", dan dimuat di halaman 1 Sriwijaya Post. Judul yang sama juga muncul di Kompas halaman 1.

Tapi Lampung Post menulis lain, jumlah korban tewasnya "hanya" 31. Seperti biasa dia blingsatan, dan sempat memarahi saya karena dianggap tidak akurat. Dia pun sibuk menelpon ke sana kemari. Tak lama kemudian dia bicara, "He he kita tak jadi dimarahin redaktur. Untung dini hari tadi, ternyata yang luka itu meninggal, jadi kita ternyata tidak salah."

***

Atas kebaikan teman-temannya di Kompas, Bang Bam pernah dikaryakan kembali sebagai staf sekretariat di Pers Daerah Kompas Gramedia. Namun kesehatannya tak lagi bisa mengimbangi semangatnya. Beberapa kali dia terjatuh dari bus yang membawanya dari kontrakannya ke Kantor Gramedia di kawasan Palmerah, karena sopir bus kurangajar itu langsung menjalankan kendaraannya sebelum kakinya menyentuh aspal.

Karena kerapnya jatuh, dan bonyok-bonyok, Bang Bam pun mengundurkan diri. Pak Jacob Oetama memberi bantuan uang, untuk menambah pembelian rumah seharga Rp 40 juta yang sekarang ditempatinya.

Sementara untuk membiayai hidupnya, Bang Bam bertahan dengan uang pensiunannya dari Kompas sebesar Rp 950 ribu per bulan. "Jumlah ini sudah naik, sebelumnya Rp 850 ribu," katanya.

***

Delapan tahun lalu, sesaat setelah mulai pulih akibat kecelakaan itu, kami pernah bertemu di Kelapa Gading Jakarta. Saat itu dia mengundangku datang ke Lampung, "Kalau kamu bisa dan ada waktu datanglah minggu depan. Aku dan ayumu ini akan menikah," katanya menunjuk seorang gadis yang mendampinginya.

"Abang masih bisa?" kataku tak percaya.

"Itulah Sus, biar udah begini, itulah satu-satunya yang kubisa, dan yang satu itulah yang membuat abangmu ini masih semangat untuk hidup,"

Pernikahan ini membuahkan dua anak, satu duduk di kelas dua SD, dan satu lagi baru duduk di bangku TK. "Pak Jacob sampai tertawa-tawa, katanya, di tengah sakit, dan jalan saja susah, kamu masih bisa buat anak," katanya sambil terkekeh-kekeh.

Sementara tiga anaknya yang lain, yang dulu sempat saya asuh, dan ajak bermain kini sudah beranjak dewasa. Iqbal Daeng Myala, bekerja di Telkom, Daeng Masiga bekerja di sebuah kapal pesiar, sementara adiknya yang lain Dedi, kini sudah mahasiswa di Lampung.
.
Bagi kami, adik-adiknya di Teknokra, Bang Bam, memang adalah sebuah buku pelajaran hidup yang tak pernah habis untuk dibaca.

* Terambil dari milis Teknokra (27/8/2008) sebagai ingatan ulun Lampung bagi seseorang yang pernah menyumbangkan banyak hal bagi Lampung

** Machsus Thamrin, wartawan, alumnus aktivis pers mahasiswa Teknokra Unila

No comments:

Post a Comment