-- A Tomy Trinugroho
DELAPAN tahun lalu di Metro, Lampung, seorang remaja lugu dengan tidak sengaja datang ke sasana latihan angkat besi. Bersama teman-teman sepermainannya, ia nekat masuk ke dalam sasana untuk melihat dari dekat orang berlatih mengangkat barbel. Kontan saja mereka diusir keluar ruangan karena barbel berat yang dibanting bisa mengenai gerombolan remaja itu.
Remaja lugu itu bernama Eko Yuli Irawan, yang Minggu (10/8) meraih medali perunggu Olimpiade Beijing 2008. Satu windu silam, ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Pagi ia bersekolah dan sorenya sibuk menggembalakan kambing.
Di sela-sela menunggui kambing, Eko bermain bola bersama teman-temannya dan kadang-kadang memuaskan rasa ingin tahu dengan melihat orang berlatih angkat besi. Setelah berkali-kali hanya melihat, pada awal tahun 2001 Eko dan teman-temannya memberanikan diri ikut latihan angkat besi di sasana asuhan Yon Haryono tersebut.
”Waktu pertama latihan, saya belum memakai barbel yang berat, tetapi masih memakai kayu biasa. Jadi, saya baru belajar tekniknya saja,” ujar Eko, yang lahir di Metro, Lampung, pada 24 Juli 1989.
Latihan semakin berat. Teman-temannya satu per satu tidak datang lagi. ”Waktu itu saya juga berpikiran datang, enggak, datang, enggak. Habis latihannya berat banget,” ujar Eko, Senin (11/8) di halaman Beijing University of Aeronautics & Astronautics, Beijing, China.
Eko akhirnya memutuskan melanjutkan latihan. Menggembalakan kambing pun sudah tidak lagi menjadi kesibukannya. Jadwal rutinnya setiap hari adalah pagi ke sekolah dan sore hari berlatih angkat besi.
Ia semakin bersemangat mengikuti latihan angkat besi karena mendapat honor Rp 7.000 per minggu. Eko senang bukan kepalang dengan honor itu.
”Saya sebenarnya mau ikut sekolah sepak bola (SSB), tetapi tidak jadi karena harus bayar. Sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) sekolah saja sering nunggak lama, kok ini malah mau ikut SSB yang harus membayar,” katanya sambil tertawa.
Honor Rp 7.000 per minggu itu, diakui Eko, sangat berarti bagi dirinya dan keluarganya. Situasi semacam itu membuat dia kian bersemangat berlatih angkat besi.
Belum genap satu tahun bergabung dengan sasana, Eko mengikuti Kejuaraan Nasional Remaja di Indramayu, Jawa Barat. Tanpa disangka Eko berhasil meraih emas.
”Waktu itu banyak orang bilang bahwa meraih emas bisa dapat uang. Lho, ini kok dapat medali emas, tetapi enggak dapat apa-apa selain medali,” cerita Eko mengenang cara berpikirnya yang lugu.
Pada SEA Games 2005, Eko tidak berhasil bergabung dengan tim nasional. Ia gagal lolos seleksi nasional. Namun, dua tahun kemudian Eko mewujudkan mimpinya untuk berlaga di ajang SEA Games. Dia bahkan berhasil meraih medali emas.
Tanggung jawab
Ayah Eko, Saman, menghidupi keluarganya dengan bertani. Adapun ibunda Eko, Wastiah, berusaha menambah penghasilan keluarga dengan berjualan sayur di kios yang sederhana.
Eko mendapat pelajaran berharga mengenai tanggung jawab dari ibunya. Suatu hari, saat masih duduk di bangku sekolah dasar, salah satu kambing yang digembalakan Eko hilang.
Kambing yang diikatnya ternyata lari saat dia bermain dengan teman-teman. Eko pulang ke rumah dan mendapati sikap tegas ibunya yang menyatakan, kambing itu harus dicari sampai ketemu. Dengan dibantu ayahnya, kambing yang hilang itu akhirnya ditemukan dalam pencarian hingga malam hari.
Kambing yang digembalakan Eko itu memang bukan milik keluarganya, melainkan milik orang lain. Jika dua kambing yang dititipkan itu beranak dan bertambah banyak, misalnya dua ekor, salah satunya menjadi milik Eko dan keluarganya.
”Saya belajar bertanggung jawab. Kalau kambing sampai hilang, kami harus mengganti dan tidak bisa mendapat tambahan penghasilan,” kata Eko.
Dia sekarang memang tidak lagi menggembalakan kambing. Eko kini atlet nasional angkat besi yang berhasil meraih medali pada Olimpiade Beijing 2008. Namun, ada kesamaan di antara keduanya, yakni sama-sama menuntut tanggung jawab dalam melakoninya.
Jadwal ketat pemusatan latihan nasional dan hari-hari sepi jauh dari keluarga di Lampung, bukan sesuatu yang mudah dijalani Eko. Rasa tanggung jawablah yang membuatnya bertahan sampai sekarang.
Setiap hari Eko rutin berlatih pagi dan sore hari. Di luar jadwal latihan, Eko hanya beristirahat. Latihan, istirahat, dan latihan lagi. Begitulah ritme kehidupannya.
Bakat dan kerja kerasnya membuahkan hasil memuaskan dengan meraih perunggu pada Olimpiade Beijing 2008. ”Sebelum berangkat, saya memang sudah diperkirakan bakal meraih medali,” ujar Eko.
Selain Eko, ada empat lifter lagi yang memperkuat tim Indonesia. Mereka adalah Triyatno, Edi Kurniawan, Sandow Waldemar Nasution, serta lifter putri Raema Lisa Rumbewas.
Dalam perlombaan kelas 56 kilogram putra Olimpiade Beijing 2008, akhir pekan lalu, Eko sempat dua kali gagal mengangkat barbel. Pada kesempatan kedua angkatan snatch 130 kilogram, Eko tak mampu mengangkat dengan sempurna sehingga barbel dijatuhkannya lagi. Kegagalan ini dibayarnya pada kesempatan ketiga.
Kegagalan berikutnya terjadi pada kesempatan kedua angkatan clean and jerk 158 kilogram. Ia mendengar tulang pergelangan tangannya berbunyi sehingga barbel pun dijatuhkan. Kegagalan ini kembali dibayar lunas pada kesempatan ketiga atau terakhir angkatan snatch.
Total angkatan Eko adalah 288 kilogram. Jumlah ini memecahkan rekor dunia yunior kelas 56 kilogram. Namun, tak sampai satu jam bertahan rekor Eko dipecahkan lagi oleh lifter tuan rumah, Long Qingguan, yang meraih emas (total angkatan 292 kilogram).
Sebelum Eko sukses menyumbang perunggu, tim angkat besi Indonesia pernah memperoleh dua medali perak lewat angkatan lifter putri Raema Lisa Rumbewas (Olimpiade 2000 dan 2004).
Olimpiade Beijing 2008, menurut Eko, merupakan penampilan terakhirnya di kelas 56 kilogram. Ia ingin naik ke kelas 62 kilogram. Dengan naik kelas, ia memiliki harapan mampu menuai prestasi yang lebih baik.
Eko yang bercita-cita memiliki toko itu tidak mempunyai gambaran akan sekolah apa selepas SMA nanti. ”Pokoknya terus menekuni angkat besi. Jika kuliah, rasanya saya tidak punya waktu karena waktu saya sudah habis untuk berlatih,” katanya.
Ia menggemari tokoh kartun Jepang, Naruto. Tokoh ini adalah ninja yang begitu ingin menjadi orang terbaik. ”Saya suka Naruto karena pada saat-saat tertentu ia seperti memiliki energi besar di dalam dirinya,” kata Eko.
Apakah sempat membayangkan diri sebagai Naruto waktu berlaga di ajang Olimpiade Beijing 2008?
”Ah enggak. Waktu itu saya hanya berpikir untuk tampil sebaik mungkin dan ternyata berhasil,” katanya.
Sumber: Kompas, Selasa, 12 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment