Bandar Lampung, Kompas - Warga Way Pengekahan, Desa Way Haru, Kecamatan Belimbing Bengkunat, Lampung Barat, menegaskan, tidak akan meninggalkan lokasi tanah adat mereka demi alasan apa pun, termasuk konservasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Mereka justru mempertanyakan niat Pemkab Lampung Barat memindahkan mereka.
Khusairi gelar Raja Muda Marga Belimbing atau Raja Pengekahan, Jumat (29/8), pada acara jumpa pers dengan sejumlah wartawan di Bandar Lampung dengan didampingi aktivis lingkungan Watala dan Kawan Tani menyatakan sikap tegas tersebut. ”Kami tidak ingin pergi atau meninggalkan tanah adat kami karena kami akan kehilangan hak-hak atas adat kami,” ujar Khusairi.
Dalam kesempatan tersebut Khusairi menjelaskan, alasan yang dikemukakan Pemkab Lampung Barat untuk memindahkan 164 keluarga di Way Pengekahan ke lokasi yang lebih baik adalah untuk mengentaskan warga dusun dari ketertinggalan. Akan tetapi, warga menegaskan, apabila alasan pemindahan adalah untuk peningkatan kesejahteraan, seharusnya Pemkab Lampung Barat lebih banyak membangun sarana dan infrastruktur wilayah di Way Pengekahan, tanpa harus memindahkan mereka.
Namun, warga justru semakin mempertanyakan pemindahan. Itu karena niat tersebut muncul setelah PT Adhi Niaga Kreasinusa, sebuah perusahaan yang mendapat konsesi lahan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di wilayah Belimbing seluas 100 hektar yang terletak dekat dengan kantong enclave atau lokasi permukiman Way Pengekahan seluas 1.200 hektar, memindahkan lima ekor harimau sumatera dari Nanggroe Aceh Darussalam ke TNBBS, Lampung Barat, Jumat (27/6). ”Niat itu belum muncul jauh-jauh hari,” ujar Khusairi.
Perusahaan sendiri sudah melepasliarkan dua dari lima ekor harimau itu ke hutan konsesi yang disebut sebagai Tambling Wildlife Nature Conservation dan berbatasan langsung dengan enclave pada Selasa (22/7). Pelepasliaran sudah menimbulkan akibat berupa serangan terhadap 12 ekor kambing dan 10 ekor ayam.
”Kalau pemindahan kami karena serangan harimau, kami tidak takut. Marga Belimbing sudah hidup di kawasan enclave sejak 1934 dan dikelilingi satwa-satwa liar,” ujar Khusairi.
Kompensasi
Khusairi lantas menyebutkan, sebagai bentuk kompensasi supaya warga mau pindah ke lokasi yang belum diketahui warga, pada ”sosialisasi” Pemkab Lampung Barat kepada warga Way Pengekahan pada Mei 2008 melalui Camat Bengkunat Belimbing M Nizom, warga akan mendapatkan sejumlah hak. Hak itu di antaranya pekarangan seluas 20 x 20 meter, rumah berukuran 4 x 6 meter (termasuk dapur), dana Rp 5 juta per keluarga, lahan perkebunan seluas 1,5 hektar, dan biaya hidup selama enam bulan.
Namun, tanpa alasan jelas pada Juli 2008 bentuk kompensasi itu berubah. Warga hanya mendapatkan Rp 7,5 juta per keluarga dan lahan perkebunan seluas 1,5 hektar, termasuk lahan pekarangan tanpa ada bangunan rumah.
Secara terpisah, Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri, Selasa, mengatakan, pemkab memang berniat memindahkan warga Way Pengekahan.ke Desa Sumberejo, Bengkunat Belimbing. (hln/sem)
Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Agustus 2008
Ada rumor wilayah pengekahan kelak akan dibeli oleh pihak tertentu untuk dijadikan resort dan lapangan golf. Hal ini masuk akal, hanya lahan enclave yang bisa dipergunakan karena ia bukan kawasan taman nasional. Jadi wajar jika ada pihak2 yg gigih agar masyarakat pindah.
ReplyDelete