August 3, 2008

Apresiasi: Kesenian di Lampung: Rasional, Spiritual atau 'Libidinal'?

-- Iswadi Pratama*

MENYIMAK tulisan Ari Pahala Hutabarat bertajuk "Teater dan Usaha Menjadi Lebih Rasional" yang dimuat harian ini, Minggu, 27 Juli lalu, sangat masuk akal dan beralasan bagi seniman, pengamat--jika masih ada--maupun penikmat seni di provinsi ini memperbincangkan lebih jauh.

Apa yang dikemukakan Ari mengenai penampilan 11 aktor/aktris monolog Lampung pada perhelatan Festival Monolog Dewan Kesenian Lampung (12-13) Juli 2008 di Taman Budaya Lampung, saya kira merupakan refleksi atas situasi berkesenian secara umum di daerah ini. Kurang lebih Ari mengatakan sebagian besar--kalau bukan semuanya--para aktor/aktris yang terlibat event itu tidak (belum?) menjadikan seni peran (teater) sebagai disiplin ilmu. Katakanlah sikap berkesenian mereka tidak (belum) rasional.

Apabila penghayatan kesenian--juga yang terjadi pada Ari--melulu bersifat personal-individual, Ari atau siapa pun tidak perlu terlalu gelisah dengan kondisi seperti itu. Yang penting dirinya sebagai seniman masih terus berkarya.

Tapi, ternyata Ari pun tidak bisa mengelakkan bahwa ia telah menghayati kesenian dalam dan di luar dirinya sebagai suatu kesatuan; sebuah realitas ketika yang personal dan sosial saling melengkapi sehingga menjadi wajar bila Ari gelisah, prihatin, dan marah pada situasi itu. Ini semua refleksi dari kesadaran budaya dan tanggung jawab sosialnya.

Tahap atau sikap rasional mempelajari seni sebagai suatu disiplin ilmu seperti dikemukan Ari sesungguhnya tidak mesti bersifat rigid dan formal sebagaimana di lembaga-lembaga pendidikan seni. Tahap belajar (rasional-ilmiah) yang ditaja Ari semestinya bisa menjadi bagian proses kreatif seniman atau belajar sambil berkarya, berkarya sambil belajar. Terus-menerus.

Artinya cukup panjang waktu yang terentang untuk belajar dan membenahi diri sejak seorang peminat seni pertama kali terjun di bidang seni tertentu sampai benar-benar menjadi seorang seniman dengan sejumlah karya. Tapi nyatanya, bila kita berkaca pada event-event kesenian di daerah ini, lumrah bila kita punya rasa khawatir.

Ingin tampil sebagai aktor, tapi tidak mempelajari seni peran. Apa saja unsur-unsurnya, seperti apa konsepnya, tekniknya, dan bagaimana melatihnya hingga menjadi keterampilan di atas pentas. Tertarik dan ingin menjadi sutradara, tapi tidak menekuni sastra-drama, seni peran, tata-pentas, artistik. Tidak mengapresiasi seni musik, seni rupa, seni tari (gerak), film. Malas membaca antropologi, psikologi, apatah lagi filsafat.

Banyak orang ingin menjadi penari, tapi tidak punya disiplin dan tradisi mengolah tubuh dan langsung ikut latihan menghafal gerak ketika ada garapan. Merasa tidak perlu berdiskusi, ogah membaca sejarah dan perkembangan tari, dan nehi pada cabang seni lain.

Ingin menjadi pelukis tapi maunya langsung nyoret-nyoret kanvas sebelum matang mengadon warna, memahami bentuk, komposisi, ruang, dimensi. Tidak gelisah melewatkan event pameran besar dan penting. Tidak kenal Modigliani, tidak tahu dari mana asal Leonardo da Vinci.

Maunya jadi sastrawan sekondang Isbedy, tapi tidak pernah mempelajari gramatika, majas, dan tata bahasa. Gagap membedakan penyair angkatan '45 dan Pujangga Baru, menyamakan A. Teuww dengan Utuy.

Apabila keadaan "jahiliah" ini terjadi atau berlangsung pada mereka yang baru saja berniat atau belajar seni, kita mungkin bisa maklum. Tapi bayangkan bila ini terjadi pada mereka yang telah puluhan kali selama bertahun-tahun tampil di hadapan publik menyelenggarakan kesenian.

Ini adalah sebuah sikap irasional yang herannya masih dipelihara. Padahal sebagian besar pelaku seni memiliki bekal sistematika berpikir dan bekerja secara rasional-ilmiah yang mereka peroleh dari berbagai lembaga pendidikan tinggi, dan hidup dalam peradaban modern.

Sikap Berkesenian Kita Kini

Apabila kita menjadikan kesenian sebagai ekspresi murni atas nilai-nilai religiositas atau spiritualitas, apakah kita memiliki laku ritual/batin tertentu yang terus menerus kita lakoni dan hayati? Jika kita menyikapi seni sebagai produk peradaban modern dan karena itu lebih rasional, punyakah kita sebentuk sikap ilmiah (misalnya tradisi keberaksaraan; membaca, menuliskan, merumuskan, mengidentifikasi) segala sesuatu untuk mendukung seluruh upaya kita mendekati, menghayati, dan mengerjakan kesenian kita hari ini?

Kalau kita menyikapi kesenian kita sebagai bagian dari sebuah industri, apakah kita sudah memahami segala prasyarat seni kemasan? Apabila kita meniatkan kesenian kita itu sebagai profesi, mengapa sebagian besar kita tak punya tradisi ritual, jauh dari disiplin kerja berkesenian, tidak terbiasa merasionalisasi proses kreatif, melulu mengandalkan intuisi dan imajinasi yang juga tak terlatih dengan baik.

Singkatnya, bila kita hendak menjadikan kesenian sebagai profesi, adakah etos kerja yang telah kita tetapkan, jaga, dan pelihara terus menerus?

Sebagian besar penari kita sanggup melakukan latihan sambil cekikikan menggenggam telepon seluler dan jarang sekali mendapati mereka dalam sebuah diskusi atau dialog seni. Sebagian besar aktor, aktris, sutradara teater kita sanggup berbicara berjam-jam tentang segala ihwal yang tidak ada sangkut pautnya dengan latihan mereka, sedangkan mereka merasa cukup menghabiskan waktu setengah atau satu jam saja untuk melatih alat-alat ekspresi mereka.

Sebagian sastrawan kita sangat takut bila namanya tidak tertera dalam daftar peserta festival anu, tapi tidak gelisah pada kualitas karyanya. Sebagian besar para perupa kita seperti enggan mengapresiasi cabang-cabang seni lain. Sebagian besar pemusik dan musisi kita jarang sekali bereksperimentasi.

Sikap kesenian kita sebagian besar ambigu, mendua, bahkan serbatidak jelas. Cita-cita kita dalam kesenian amat kabur. Mungkin sebenarnya tidak punya cita-cita selain tujuan-tujuan pragmatis yang sesaat dan temporer sifatnya.

Di satu sisi berhasrat sekali ingin menjadi seniman (populer?), di sisi lain malas dan takut menekuninya mati-matian karena tidak menjanjikan masa depan. Sikap seperti ini--dalam bentuk yang berbeda--terjadi pula di lingkungan pemerintahan. Dalam banyak pidato sambutan para pejabat pendidikan, kesenian, kebudayaan, pariwisata, kesenian selalu ditimang-timang sebagai aset, sebagai pembentuk kepribadian bangsa, keluhuran budi, kepekaan, humanisme universal, pilar nilai di tengah masyarakat dan seterusnya.

Tapi sudah seberapa serius mereka mengurusi kesenian? Baru bisa meresmikan atau mendukung sedikit dana untuk suatu event kesenian saja, gayanya seperti sudah memperjuangkan seni seumur hidupnya.

Beberapa waktu lalu saya sempat pula membincangkan hal ini dengan beberapa teman. Lantas ada yang berseloroh, "Kira-kira kalau sebagian besar grup teater atau tari atau sanggar lukis atau sanggar musik, atau komunitas film bubar, ada nggak ya pejabat di instansi-instansi terkait yang nangis, terharu...?"

Lalu teman yang lain menjawab: "Sampe rontok gigi lu mikirin, nggak akan terjadi. Kecuali ada proyek yang gagal, tender yang batal, kontrak politik yang terganjal, baru banyak yang kelimpungan...."

Teman yang pertama tidak mau kalah, "Ya...setidak-tidaknya adalah kaum intelektual, cendekiawan, akademisi yang peduli dan melihat ini sebagai gejala sosial tertentu misalnya?" Maka dibantah lagi oleh teman yang lain pula, "Lu kira kita hidup di Inggris apa? Kalau di sana, ada pertunjukan teater yang tiketnya gak laku aja, PM-nya langsung memanggil seluruh pejabat terkait untuk membahas masalah itu...." Lalu hening.

Peran Kaum Cerdik-Pandai

Saya tiba-tiba jadi ngelangut. Ya, seperti apakah perhatian dan sikap kaum intelektual, cendekiawan, dan akademisi kita di sini terhadap kesenian? Sejak berkiprah di bidang seni 18 tahun lalu, saya hanya mencatat sedikit nama. Dan dari sedikit ini lebih sedikit lagi yang sampai sekarang masih peduli. Apakah di provinsi ini seni memang belum dianggap sebagai bagian integral dari perkembangan intelektualitas masyarakat?

Mengapa saya (kita) hampir tidak pernah melihat seorang pengamat politik, rektor, dekan, dosen--misalnya--asyik nonton teater, pameran lukisan, pentas tari, konser musik, pemutaran film, diskusi sastra? Mengapa tak pernah ada tulisan kritik sastra dari doktor sastra yang ada di perguruan tinggi di provinsi ini? Mengapa tidak ada artikel kajian seni pertunjukan dari para dosen yang berkecimpung di jurusan komunikasi?

Mengapa tidak ada esai tentang seni rupa atau konstruksi ruang dalam karya seni padahal ada banyak ahli di fakultas-fakultas teknik di sini? Mengapa tidak pernah ada ekspose ihwal sejarah Siger--yang identik dengan perempuan--sebagai simbol Lampung sementara masyarakat Lampung menganut sistem patrilineal, padahal banyak sejarawan dan budayawan di sini? Mengapa?

Mengapa setelah Anshori Djausal, hampir tidak ada lagi kaum cerdik-pandai dari sekian banyak perguruan tinggi di daerah ini yang--tak perlulah ikut berdebu bersama para seniman--mau berbagi wacana atau pengetahuan? Tidak cukupkah menjadi alasan yang dapat menggerakkan gairah intelektualitas kita bahwa kini, hari demi hari, seni dan kebudayaan kita sedang menyembunyikan kebangkrutan?

Duhai, kesenian seperti apakah yang hendak kita selenggarakan sebagai bagian dari kehidupan, kebudayaan, dan peradaban? Akankah kita terus menyaksikan sekian banyak seniman; sutradara, aktor, aktris, perupa, penari, koreografer, pemusik, musisi, sastrawan kita hilang seperti lenyapnya bayangan wayang dari layar sejarah?

Adakah kita semua, para seniman, akan sekadar menjelma seperti Dyonisius, dewa mabuk dalam mitologi Yunani yang sering dijadikan simbol sosok seniman yang unik dan eksentrik. Selalu membuat onar dan masalah, tapi punya gairah besar dalam cinta.

Tapi Dyonisius tidak cuma mabuk, tidak sekadar memiliki gairah libidinal yang besar, Dyonisius sanggup menciptakan karya agungnya; sungai anggur, saat ia jatuh cinta. Ah....

Saya kira, dalam konteks situasi di atas, ada baiknya kita menengok makna kesenian dalam bentangan sejarah; sejak nenek moyang kita hingga kini. Setidaknya agar kita memiliki acuan melihat dan menentukan sikap berkesenian kita hari ini.

Jejak Seni (Kebudayaan) dalam Sejarah

Nenek moyang kita adalah bagian arus perpindahan manusia yang bergerak pada zaman lampau dari bagian timur Eropa Tengah dan bagian utara wilayah Balkan sekitar Laut Hitam ke arah timur, mencapai Asia, masuk Tiongkok. Dan di Tiongkok arus perpindahan ini bercabang-cabang ke utara, timur, dan selatan.

Arus selatan mencapai daerah Yunan, sedang bagian timur mencapai Laut Indo Cina. Di sinilah tempat lahirnya budaya asal Indonesia. Manusia-manusia yang berpindah dan bergerak ke Asia dari Eropa Tengah dan wilayah Balkan itu adalah orang Thracia, Iliria, Cimeria, Kakusia, dan Teuton, yang memulai perpindahan mereka pada abad ke-9 hingga abad ke-8 sebelum Nabi Isa. Mereka membawa keahlian membuat besi dan perunggu.

Nenek moyang orang Indonesia yang telah berada terlebih dahulu dari mereka di daerah Dongson ini telah mengembangkan seni monumental tanpa banyak ornamentik yang dekoratif. Dari pendatang-pendatang baru ini mereka mengambil alih, menerima, dan mencernakan seni ornamentik pendatang-pendatang dari Barat tersebut.

Tidak saja dalam ornamentik, akan tetapi juga dalam hiasan tenunan (amat banyak persamaan antara hiasan tenun Indonesia dengan Balkan misalnya), dan juga dalam musik dan nyanyian. Jaap Kunst, ahli musik, mengidentifikasi persamaan nyanyian rakyat di Pulau Flores dengan nyanyian rakyat di bagian timur Yugoslavia (Balkan).

Kebudayaan Dongson menunjukkan lebih banyak persamaan dan kaitan dengan budaya Eropa dibanding dengan budaya Cina. Nenek moyang Dongson inilah yang kemudian bergerak ke Selatan, dan kemudian mencapai Nusantara.

Seni, sejak masa nenek moyang ini, telah berkembang sebagai bagian dari kegiatan ritual manusia untuk berhubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural. Kegiatan itu pada hakikatnya adalah wujud dari ungkapan rasa syukur menyambut panen, kelahiran atau rasa duka karena menghadapi bencana alam atau kematian, sukacita menyambut kemenangan perang dan lain sebagainya.

Wujudnya tidak lain berupa tarian, nyanyian, musik, gambar, patung, dan lain-lain. Pada perkembangan selanjutnya, ungkapan-ungkapan inilah yang kita kenal sebagai "karya seni".

Jadi, pada pengertiannya yang paling tua ini seni memiliki hubungan langsung dengan dimensi religius. Seni adalah ekspresi komunikatif dengan "kekuatan supranatural maupun supra-human". Seni dalam masyarakat tradisional atau tribal (kesukuan) belum dilihat sebagai karya yang dihasilkan berdasar pada teknik-teknik, keterampilan, dan gaya-gaya tertentu.

Mereka misalnya, tidak dengan sengaja merumuskan nada suara ke sebuah tangga nada. Seni merupakan ungkapan religiositas secara murni. Semua orang bisa mengungkapkannya, dalam arti semua orang bisa menyanyi, menari, bermain musik, meluki,s dan mematung tanpa harus dinilai sumbang, acak, inkonsistensi, disharmoni, dan sebagainya. Tidak ada pengertian batasan antara seniman dan bukan seniman di sini. Semua adalah seniman atau sebaliknya semua bukanlah seniman.

Boleh dibilang seni adalah potensi dasar untuk membangkitkan sensitivitas manusia terhadap alam kehidupannya, membangkitkan kesadaran akan sisi keindahannya. Tanpa sensitivitas ini manusia tidak akan memiliki pemahaman yang mendasar tentang nilai-nilai kehidupan secara komprehensif.

Seni merupakan sebuah ekspresi penghayatan jiwa manusia yang bermaksud membangkitkan atau menghidupkan energi-energi rohaniah bagi siapa pun. Peradaban jelas sangat ditentukan unsur-unsur seni itu sebagai kekayaan rohani.

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban manusia, seni ditarik posisinya dari sesuatu yang bersifat magis, obscure, dan naluriah, dengan peran ilmu pengetahuan, menjadi terukur, objektif, spesifik, atau secara umum dapat dirasionalisasi. Namun, esensi yang hendak dicapai melalui seni tetaplah sama, yakni estetika. Konsepsi atau gagasan tentang estetika inilah yang terus-menerus berubah, berkembang seiring dengan bertambah kompleksnya kehidupan dan peradaban manusia.

Sedangkan mengenai isi, kualitas (matter), betapa pun ilmu pengetahuan dan teknologi telah jauh berkembang, tidak dapat terlepas dari seberapa jauh partisipasi aktif sang seniman/individu/kreator terhadap seni yang ditekuni, apa pun pemaknaannya terhadap seni.

Mochtar Lubis, budayawan dan intelektual Indonesia, pernah mengatakan, "Saya pernah mendapatkan kesempatan membandingkan tenunan kain Lampung lama yang terkenal ke seluruh dunia dengan tenunan baru. Saya terkejut melihat perbedaan kualitas yang sangat besar. Tenunan kain Lampung baru seakan tidak berjiwa, dibuat seakan asal jadi..." (Mochtar Lubis, 1999; Pembebasan Budaya Budaya Kita, hlm.16).

Tentu saja pendapat Mochtar Lubis itu masih bisa diperdebatkan. Tetapi, yang paling penting dari fakta di atas adalah sikap dan kesadaran masyarakat Lampung lama (tradisional) dalam menghayati dan melakoni seni jauh lebih sungguh-sungguh dibanding dengan rata-rata seniman kita yang hidup hari ini. Atau terbayangkah kita pada laku ritual dan disiplin tertentu yang dilakoni Masnunah, sang pelantun dadi itu, sehingga keterampilannya tidak tertandingi?

Proses rasionalisasi yang oleh masyarakat lama dihayati sebagai sebentuk tindakan yang bersifat magis, dalam masyarakat modern ritualitas itu berubah menjadi serangkaian tahapan atau disiplin kognitif dan afektif yang perlu dilakoni dan dilampaui para seniman untuk menghayati dan menghasilkan karya seni. Maka, sikap rasional dan ilmiah, sekali lagi, seperti yang ditegaskan Ari, bukanlah sesuatu yang berlebih. Seorang seniman (modern) sudah seharusnya terus-menerus melatih diri untuk menguasai bidang atau media dan alat-alat ekspresi seninya, seperti masyarakat tradisional pun telah bersetia dengan apa yang mereka warisi secara turun-temurun sebagai laku hidupnya.

* Iswadi Pratama, Sutradara di Teater Satu Lampung, anggota Litbang Dewan Kesenian Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Agustus 2008

No comments:

Post a Comment