-- Adian Saputra
TULISAN ini dibuat sebagai pengantar Penghargaan Kamaroeddin yang akan diberikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung kepada orang atau lembaga yang berkontribusi positif terhadap jurnalisme dan demokrasi di Lampung. Selain itu, ada pula Penghargaan Saidatul Fitriah yang diberikan kepada jurnalis atas konsistensi dan karya jurnalistik yang menginspirasi dan berdampak positif buat publik.
Sewaktu hendak memberikan nama trofi penghargaan, tim kecil AJI, setelah membaca buku Titian Pers Lampung, Etos Perjuangan di Tanah Tapis yang diterbitkan Persatuan Wartawan Indoensia (PWI) Cabang Lampung, secara aklamasi setuju menggunakan nama Kamaroeddin Gelar Soetan Ratoe Agoeng Sempoernadjaja atau disingkat Kamaroeddin, sebagai nama trofi penghargaan buat orang atau lembaga yang berkontribusi positif terhadap jurnalisme dan demokrasi di Lampung.
Izinkan saya mengulas tokoh ini supaya publik memahami sejarah pers di Lampung. Opini ini sangat terbuka buat ruang diskusi dan debat dalam kerangka intelektual. Dan judul buku yang tersebut di atas menjadi bahan utama saya membuat artikel sederhana ini, ditambah wawancara dengan anak almarhum Kamaroeddin.
Dalam buku tersebut, nama Kamaroeddin diletakkan pertama sebelum Azis Tjindarboemi dan Solfian Akhmad sebagai tokoh pers di Lampung. Alasannya, Kamaroeddin dianggap orang "pertama" yang meletakkan fondasi jurnalisme.
Kiprah tokoh kelahiran Sungkai, Lampung Utara, pada 1910 itu, dibuktikan dengan menerbitkan Fadjar Soematera bersama Raden Aria Taher Tjindarboemi hingga tahun 1939. Dia kemudian melanjutkan aktivitas jurnalistiknya dengan menerbitkan Lampoeng Review era 1933--1937.
Pada 1931, bersama-sama Zainal Abidin dari Bandung, ia juga mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi kantor berita NERA (Nieus En Reclame Agenschaap) yang berkantor di rumah M.H. Thamrin di Pecenongan Batavia (Jakarta). Bahkan, ketika menjadi koresponden harian Indonesia Raya, Kamaroeddin pada 1957 sempat ditahan Dewan Garuda di Palembang karena tulisannya mengenai keinginan rakyat Lampung menjadi provinsi sendiri, terpisah dari Sumatera Selatan.
Sebagai pejuang, Kamaroeddin yang karena kepeloporannya dicari-cari, bahkan rumahnya sempat dikunjungi Bung Karno pada 1950, juga menjadi anggota organisasi berbagai pergerakan. Ia juga mendidik kader-kader pemuda untuk menentang penjajah belanda, mendirikan sekolah Pergoeroean Ra'jat, koperasi, Pembela Perkara (1931--1942), dan sempat menjadi formatur tentara sukarela Heiho dan Giugun pada masa penjajahan Jepang 1942--1945.
Sebelum Kamaroeddin mendirikan media massa, masih dalam buku yang sama, sudah ada surat kabar bernama Perasaan. Media ini terbit 20 Maret 1929.
Koran ini untuk ukuran masa itu sungguhlah hebat. Selain menyajikan berita tentang politik dan penderitaan masyarakat, media massa ini juga menyajikan iklan, misalnya jual-beli mobil dan obat kuat.
Namun, jumlah eksemplar setiap terbit, jumlah halaman per terbit, dan sampai kapan media ini berlanjut, tidak ada keterangan. Barulah setelah Perasaan ini hilang, muncul nama Kamaroeddin plus jurnalis yang lain.
Keistimewaan Kamaroeddin selain jurnalis, ia juga diketegorikan pahlawan. Setelah wafat tahun 1985 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Pejuang Perintis Kemerdekaan.
Jiwa nasionalisme seorang Kamaroeddin bisa dibilang luar biasa. Ia berkarib dengan Bung Karno. Bahkan, pada usia 17 tahun, Kamaroeddin ini turut dipenjara di Sukamiskin, Bandung, bersama Bung Karno. Kedekatan ini dimulai dari aktivitas tulis-menulis dan kegemarannya dalam membaca koran.
Sewaktu Bung Karno menjadi ketua PNI di Bandung, Kamaroeddin ikut bergabung dan tinggal bersama keluarga Bung Karno dan Ibu Inggit. Menurut anak almarhum, Iskandar Kamaroeddin, saking dekatnya Bung Karno dan Kamaroeddin, tokoh pers itu acap diminta menjualkan emas Ibu Inggit untuk keperluan perjuangan dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Bahkan, sewaktu Soekarno tahun 1952 meresmikan daerah transmigrasi di Sumberjaya, Presiden RI itu pertama sekali mengunjungi Kamaroeddin.
Pada 1951, sewaktu aktif-aktifnya menulis artikel di berbagai media massa, Kamaroeddin diminta Mr. Iskak Tjokrohadisurjo, Menteri Dalam Negeri waktu itu, bekerja di Biro Politik Kementerian Dalam Negeri di Jakarta. Kemudian datang surat kawat dari Mr. Gele Harun, Residen Lampung, yang baru saja menggantikan Mr. A. Abbas, memintanya menjadi kepala Biro Politik pada Kantor Residen Lampung.
Sebelum ajal datang, Kamaroeddin sempat menyumbangkan ide agar sebutan Pendopo Gubernuran di Jalan Dr. Susilo diubah menjadi Sesat Agung. Pada 22 Maret 1985, dalam usia 75 tahun, Kamaroeddin meninggal dunia setelah dirawat di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. Almarhum meninggalkan seorang istri dan delapan anak: Empat putra, empat putri. Hingga tulisan ini dibuat, anak yang masih hidup tinggal empat: Dua putra, dua putri.
Tidak ada maksud apa pun untuk membanding-bandingkan antara tokoh pers yang satu dan yang lain. Tulisan ini hadir supaya kita tahu geliat Kamaroeddin berkiprah untuk perjuangan Indonesia dan pers di Tanah Air. Saya hakulyakin semua orang pasti awam dengan nama tokoh ini.
Orang di Lampung lebih akrab dengan nama Tjindarboemi dan Solfian Akhmad. Tapi, kita juga mesti memberikan penghargaan yang layak buat orang yang merintis pers di Lampung. Sebab, yang namanya perintis itu pasti merasakan kesulitan yang sangat saat membuka ruang jurnalisme di provinsi ini.
Sebab itulah, AJI berkeinginan mengabadikan nama Kamaroeddin sebagai penghargaan kepada mereka yang berkontribusi positif terhadap jurnalisme dan demokrasi di Lampung. Semoga menjadi amal baik untuk semua.
* Adian Saputra, Sekretaris AJI Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Jumat, 8 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment