August 25, 2008

Opini: Tokoh Lampung Sulit Bersatu?

-- Muhammad Aqil Irham*

SAYA dan keluarga besar Gerakan Pemuda Ansor Lampung mengucapkan selamat ulang tahun ke-34 Lampung Post sekaligus mengucapkan selamat atas suksesnya launching buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung. Saya menyambut baik, gembira, dan apresiatif luar biasa atas inisiatif, kreativitas, dan inovasi pimpinan dan seluruh kru Lampung Post yang telah menghadiahkan kepada masyarakat Lampung sebuah kado istimewa yang mengandung pelajaran sejarah baru yang penting bagi generasi muda kini dan mendatang.

Sebuah cerita sejarah tentang kesuksesan dan keberhasilan "orang Lampung" yang memiliki identitas tradisi dan budaya lokal, yang pernah terlahir, tumbuh, besar, dewasa, dan setelah itu melanglang buana ke seluruh penjuru negeri ini sehingga jejak-jejak mereka nyaris tidak diketahui lagi sebagai "ulun Lampung".

Akhirnya, melalui perjalanan napak tilas intelektual dan jurnalistik yang berenergi, jejak-jejak mereka ditemukan kembali kemudian dihimpun dalam sebuah "ensiklopedia biografi" orang-orang sukses. Pertanyaannya kemudian, apakah kesuksesan dan keberhasilan tokoh-tokoh Lampung tersebut dapat berpengaruh secara signifikan bagi keberhasilan, kesuksesan, kemajuan, dan kesejahteran masyarakat Lampung? Serta berdampak terhadap terangkatnya derajat pembangunan Lampung di pentas nasional dan memiliki daya saing kompetitif dengan daerah lain?

Pertanyaan ini saya kira selaras dengan harapan Presiden/CEO Media Group Surya Paloh dalam kesempatan acara peluncuran buku tersebut, agar tokoh Lampung bersatu padu membangun Lampung. Saya menduga harapan tersebut berangkat dari asumsi dan pengalaman bahwa tokoh-tokoh Lampung sulit bersatu membangun negeri sendiri.

Memang harus diakui, secara individual banyak orang Lampung yang sukses di semua lini kehidupan di negeri kita ini. Namun, berapa banyak di antara mereka yang lupa dengan daerahnya sendiri. Bahkan mungkin juga ada prejudice yang masuk dalam alam bawah sadar betapa sulitnya membangun di Lampung karena banyak orang Lampung yang susah "diatur dan sulit diajak" maju.

Ungkapan ini sering terdengar di kalangan tokoh-tokoh. Kerangka berpikir demikian ini yang jadi alasan mengapa sebagian tokoh kita enggan berinvestasi dan membangun di daerah sendiri. Tidak sedikit pula yang sudah tidak mengakui identitas budaya sendiri kerena sudah terlanjur go public bahkan go international sehingga merasa malu menjadi orang Lampung.

Ini dampak globalisasi yang menggilas kita. Kita terpesona menjadi orang lain dan tidak menghendaki menjadi diri sendiri. Sungguh ironis. Saya kira sifat-sifat demikian tidak pantas diteladani oleh generasi muda sekarang. Mudah-mudahan semua dugaan ini keliru meskipun penulis pernah mendengar hal-hal demikian.

Sebagai generasi muda, sudah sepatutnya belajar dari kiat-kiat sukses 100 tokoh tersebut dan dari tokoh-tokoh sukses lainnya; menjadikannya sumber inspirasi, motivasi, dan spirit menuju kesuksesan generasi baru sesuai dengan tantangan dan dinamika zaman. Selanjutnya kita perlu juga mengkritisi mengapa kesuksesan di semua lini dengan bermacam profesi yang ditekuni tokoh-tokoh kita belum cukup berarti bagi kolektivitas masyarakat Lampung.

Paling tidak ada tiga hambatan yang menyulitkan tokoh-tokoh Lampung, masih bercerai berai, dalam konteks pembangunan daerah Lampung: Psikologis, historis, dan modernisme.

Secara sosiologis, masyarakat Lampung terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Penduduk "asli" terdiri dari dua rumpun besar yang mewadahi keanekaragamanan suku, tradisi, budaya dialek bahasa, dan bahkan strata kekuasaan.

Dua rumpun besar tersebut adalah pepadun dan saibatin. Pendatang sebagian besar orang Jawa, Sunda, Minang, Semendo Palembang, dan lain-lain. Idealnya pembedaan teoritis ini tidak mempertentangkan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan sosial, tapi menjadi kekuatan bersama menatap masa depan.

Namun, dalam pergaulan sehari-hari masih kita dengar, baik disadari atau tidak, terdapat dikotomi yang tidak produktif baik di kalangan orang asli Lampung (pepadun dan saibatin) maupun pendatang (munculnya organisasi, paguyuban bernuansa etnik, dan organisasi orang transmigran).

Dikotomi ini merupakan sekat-sekat yang membatasi dialog, komunikasi, kerja sama, dan saling mendukung untuk memajukan daerah. Inilah hambatan psikologis yang menghalangi percepatan pembangunan daerah. Masih terdengar di telinga kita saling klaim pewaris sah keturunan asal-usul orang Lampung di kalangan orang pepadun dan saibatin.

Semakin jelas juga membudaya dikotomi antara orang asli dan orang transmigran, bahkan dipertegas batas-batas tersebut dengan menyebut diri sebagai orang transmigran untuk membedakan diri dengan penduduk lain, bahkan semakin tumbuh suburnya organisasi dan paguyuban bernuansa etnik yang sewaktu waktu dimobilisasi untuk kepentingan politik tertentu.

Saya kira inilah warisan Belanda yang masih hidup di tengah-tengah keberagaman kita sebagai orang Lampung, sekalipun kita sudah menyemagati momentum 100 tahun hidup di alam Kebangkitan Nasional. Hambatan psikologis ini seiring dengan hambatan historis.

Sebagaimana kita ketahui, Belanda cukup lama menduduki Lampung dan menguasai tradisi, budaya, dan peta kekuasaan raja-raja kecil di Lampung. Sebagai bangsa Eropa yang sedang mengalami masa pencerahan ilmiah, kondisi ini tercatat secara rapi dalam dokumentasi dan literatur intelektual Belanda.

Politik pecah belah dengan cara menokohkan yang satu dan menjatuhkan yang lain. Memberi kehormatan terhadap kelompok etnik tertentu dan merendahkan kelompok etnik lain. Mengangkat pemimpin dan menjadikan yang lain sebagai pengikut. Inilah politik Belanda yang masih mewarnai dinamika dan political game politisi dan tokoh-tokoh kita.

Hambatan berikutnya adalah tuntutan modernitas. Modernisme mendewakan kekuatan daya manusia individual dan menghendaki spesialisasi profesi. Akhirnya, profesionalisme mengarah pada egosentrime profesinya sendiri dan berimplikasi pada sikap individulisme sebagai ciri khusus manusia modern.

Manusia modern sibuk dengan urusan sendiri sehingga kurang peduli dengan urusan orang dan dunia lain. Sikap modernisme semacam ini yang sesungguhnya melupakan jati diri kita sebagai makhluk tradisonal yang lebih mengutamakan perasaan dan pengalaman kolektif sebagai sendi-sendi kehidupan bersama.

Kini, kita sudah tidak mengenal dan sudah tidak saling menyapa dengan hati kecuali sebatas kontrak-kontrak formal dan seremonial. Saya pikir kita harus mampu mengarahkan arus profesionalisme individual tersebut searah dengan jiwa-spirit komitmen sosial dan solidaritas sosial kemudian dibingkai dalam kerangka kepemimpinan kolektif yang kuat (strong leadership) di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Lampung untuk kemajuan pembangunan daerah.

Untuk itu, sinergisitas lintas profesi dari tokoh-tokoh terkemuka Lampung baik yang tinggal di Lampung, di Jakarta dan di berbagai daerah bahkan di luar negeri sekalipun sangat urgen diwujudkan. Hambatan psikologis, historis, dan modernisme harus kita kikis kemudian membangun spirit baru yang dipupuk dengan komitmen kebersamaan untuk kemajuan Lampung. Segundukan masalah menggunung di depan mata kita tidak mungkin dibebankan pada kelompok tertentu saja, pemerintah saja, swasta saja, masyarakat saja dan sebagainya.

Kemiskian masih menjadi problem utama; daerah-daerah terpencil yang infrastrukturnya kurang memadai, ketiadaan lapangan pekerjaan di desa yang menyebabkan orang beramai-ramai mengosongkan desanya ke kota walau harus menjadi buruh pabrik dan pembantu rumah tangga di daerah dan negara lain. Belum lagi rendahnya mutu lulusan pendidikan dan kualitas SDM kita serta sederet panjang problem-problem lain yang masih menghantui kehidupan masyarakat Lampung.

Rasa tanggung jawab sosial bagi mereka yang mampu, yang sukses dan telah menikmati kemajuan untuk saling menyapa, saling membantu, dan mendorong agar orang lain juga sukses. Akhirnya, daerahnya juga sukses dan maju.

Apa pun profesi kita, seniman, akedemisi, intelektual, birokrat, politisi, praktisi pers dan hukum, pengusaha, polisi, TNI, dan lainnya serta orang yang tidak punya profesi sekalipun sungguh penting saling membantu, bahu-membahu, mendukung untuk membangun bumi Lampung yang kita cintai ini.

Momentum Pilgub Lampung pada 3 September mendatang adalah strategis untuk membuktikan bahwa kita semua bisa bersatu padu membangun negeri Sang Bumi Ruwa Jurai. Siap menang dan siap kalah. Yang kalah secara kesatria mengucapkan selamat pada yang menang; yang menang tidak sombong dan menganggap lawan adalah musuh. Selamat untuk tokoh-tokoh dan masyarakat Lampung.

* Muhammad Aqil Irham, Ketua GP Ansor Provinsi Lampung

Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Agustus 2008

1 comment:

  1. Anonymous3:48 AM

    Maju terus Lampung.. Perlahan kita pasti bisa lebih baik dari sekarang. Semangat!

    ReplyDelete