August 10, 2008

Persona: Margono Slamet dan Pembangunan Manusia

-- Ninuk Mardiana Pambudy

SETAHUN terakhir Indonesia dihadapkan pada tingginya harga hampir semua bahan pangan, sesuatu yang belum pernah terjadi. Meskipun pemerintah mengadakan benih gratis, pupuk bersubsidi, dan kredit, tetap saja terdengar keluhan di sana-sini.

Margono Slamet (Kompas Image)

Benih palsu beredar, pupuk tak sampai sasaran, kegagalan panen karena hama dan penyakit atau kekeringan, hingga yang paling menyedihkan, saat panen petani tidak mendapat harga jual produknya seperti dijanjikan pemerintah.

Belum lagi masalah kesehatan dan pendidikan yang menentukan kualitas manusia. Laporan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Program Pembangunan Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2007/2008 memperlihatkan Indonesia berada pada posisi ke-107 dari 177 negara, di bawah Sri Lanka (99) dan Filipina (90), dan menempatkan Indonesia pada kelompok negara dengan pembangunan manusia menengah.

Membangun manusia tak semudah membangun infrastruktur fisik. Hasilnya tidak instan seperti yang seolah dapat dicapai melalui bantuan langsung tunai. Padahal hakikat pembangunan nasional adalah membangun manusia Indonesia untuk keuntungan manusia Indonesia.

Membangun manusia dengan meningkatkan partisipasinya dalam pembangunan pula yang membuat Prof Dr Margono Slamet (74) menghabiskan lebih dari separuh usianya untuk pengembangan dan penerapan ilmu penyuluhan pembangunan.

Ketika dia memulai karier sebagai pengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB), penyuluhan merupakan ilmu baru. Penyuluhan adalah upaya mengubah perilaku masyarakat yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap ke arah yang diinginkan dan lebih baik.

”Hampir semua bidang kehidupan kita bisa maju karena penyuluhan kepada masyarakat. Pertanian sudah jelas, tetapi juga kesehatan, pendidikan, sampai politik.,” papar Margono Slamet.

Dia menggagas lahirnya Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB pada tahun 1975, salah satu program studi pascasarjana tertua di Indonesia. Pada tahun 1980 dia menjadi guru besar ilmu penyuluhan pembangunan dan sebagai Ketua Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional (2003-2008) ikut melahirkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.

Pilihan cerdas

Margono Slamet menyebutkan, pembangunan pada dasarnya adalah meningkatkan kualitas masyarakat. Dalam pengertian kualitas, bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi membangun manusianya untuk ikut menyumbangkan masukan (input) dan sekaligus membangun manusia yang dapat memanfaatkan dan menikmati hasil pembangunan.

”Masyarakat harus dibangun untuk memanfaatkan, mencari, dan menuntut pembangunan,” kata Margono. ”Jangan hanya dibuatkan jalan, tetapi juga dibangun kesadaran untuk memanfaatkan jalan tersebut dengan benar. Begitu juga dengan jamban, sekolah, atau puskesmas. Sarana itu dibangun di mana-mana, tetapi banyak sekolah tidak punya murid, puskesmas tidak dimanfaatkan, dan jamban tidak dipakai. Itu antara lain karena masyarakat tidak dibangunkan kesadarannya tentang manfaat sarana yang dibangun itu.”

Kebutuhan masyarakat dalam dunia yang berubah saat ini juga semakin kompleks. Dalam kehidupan sehari-hari mereka kerap memerlukan bimbingan yang mereka tidak tahu harus mencari ke mana.

”Mahasiswa (S-3) saya penelitian di daerah pantai di Jawa Tengah. Di sebuah desa, kepala desa minta dibantu cara pengelolaan keuangan keluarga. Nelayan tidak selalu kekurangan uang. Saat musim ikan, penghasilan ada yang dapat Rp 1 juta sekali mendarat. Tetapi, karena tidak tahu bagaimana mengelola, penghasilan yang susah payah didapat itu dihabiskan untuk hal-hal tidak produktif,” jelas Margono.

Ketidakmampuan mengelola keuangan menyebabkan kebanyakan nelayan tidak mampu memupuk modal, bahkan tetap terjerat kemiskinan dan utang. Ketika tak bisa melaut karena musim, mereka berutang. Begitu juga pada petani ketika musim tanam.

”Intinya, memberdayakan masyarakat untuk bisa memilih secara cerdas apa yang dibutuhkan dengan memberi alternatif pilihan. Membantu memperlihatkan ada cara lain untuk mencapai apa yang diinginkan sehingga masyarakat bisa mengambil pilihan yang dianggap paling tepat. Jadi, masyarakat bukan tidak mau berubah, tetapi berubah menjadi seperti apa. Perubahan itu tidak bisa dipaksakan dan dibiarkan berjalan sendiri.”

Partisipasi masyarakat

Dalam tulisannya di buku Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan (2003), Margono menyebutkan, syarat agar masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan adalah ada kesempatan ikut dalam pembangunan, ada kemampuan memanfaatkan kesempatan itu, dan ada kemauan berpartisipasi.

Bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat yang dikecewakan janji-janji pemimpin dan wakil mereka di legislatif dari dari pusat hingga daerah?

Beri kesempatan masyarakat terlibat dalam proses itu, tetapi itu tidak bisa dilakukan secara massal melainkan dibangun dengan pengelompokan.

Harus ada stimulasi dan kesempatan bagi masyarakat membentuk kelompok sesuai kesamaan kebutuhan dan tidak dipaksakan. Dulu kesempatan itu memang tidak terlalu diberikan. Untuk berkumpul saja perlu izin.

Juga kesannya sekarang kebanyakan program seakan didikte pemerintah untuk kepentingan pemerintah. Yang benar, kelompok sendiri mengekspresikan kebutuhan mereka, lalu dari luar ada yang menyediakan narasumber atau tutor untuk kelompok itu. Yang menyediakan bisa siapa saja, pemerintah atau masyarakat sendiri melalui organisasi profesi atau lembaga swadaya masyarakat, misalnya.

Kelompok-kelompok ini akhirnya dapat memecahkan masalah sosial seperti kemiskinan, narkoba, anak jalanan, atau yang lain.

Partisipasi bukan berarti masyarakat hanya memberi input, tetapi juga menikmati hasil pembangunan?

Dalam pembangunan memang terjadi hal-hal menyesatkan. Misalnya, pembangunan jalan. Untuk itu, perlu tanah milik masyarakat. Masyarakat memberi input pada pembangunan dengan memberi tanahnya dan diganti sejumlah uang. Tetapi, yang lebih penting lagi dalam menumbuhkan partisipasi pembangunan adalah apakah orang yang sudah berkorban tanah tersebut ikut menikmati jalan itu? Jangan-jangan mereka tergusur jauh sekali.

Di sisi lain, ada banyak orang tidak menyumbang pada pembangunan, baik yang langsung seperti contoh pembangunan jalan tadi atau tidak langsung dengan bayar pajak, tetapi memanfaatkan hasil pembangunan.

Apakah karena peran pemerintah masih dominan?

Menumbuhkan itu bukan hanya dari pemerintah, tetapi masyarakat sendiri harus tumbuh kebutuhannya untuk berpartisipasi. Memang peran pemerintah yang terlalu dominan, dan masih dominan sampai sekarang, mengakibatkan masyarakat menggantungkan diri kepada pemerintah.

Contohnya pemeliharaan jalan. Pada masa kolonial, masyarakat memelihara jalan lingkungan. Pemerintah hanya memelihara jalan sampai tingkat kabupaten. Tetapi, kemudian karena ada penyimpangan, misalnya karena ada rumah anggota DPR lalu jalan ke arah sana diperbaiki pemerintah, masyarakat kemudian mencontoh. Enggan memelihara. Karena ketidakkonsistenan pemerintah, masyarakat lalu menggantungkan diri kepada pemerintah.

Namun, juga terjadi sebaliknya. Jalan di depan rumah kami dipelihara bersama-sama oleh warga satu RT. Masyarakat harus bisa menyuarakan dan menuntut. DPR yang harus menyalurkan suara masyarakat, tetapi tidak berfungsi.

Bagaimana agar masyarakat dapat menyalurkan suara secara positif?

Bisa melalui organisasi masyarakat. Sayangnya banyak ormas yang tidak menaungi semua anggota masyarakat, seperti Muhammadiyah atau NU dianggap hanya mewakili kelompok Islam.

Terjadi ketidakpercayaan diri, ketidakberdayaan, dalam menyampaikan aspirasi karena kurang pengetahuan dan tidak diberi kesempatan atau tidak didengar sehingga masyarakat menggunakan massa untuk memaksa. Kenyataannya banyak pejabat tidak mau menemui dan mendengar masyarakat.

Kembali ke petani dan meningkatkan kesejahteraan mereka dengan naiknya harga pangan?

Tantangan ke depan makin berat. Penelitian mahasiswa saya memperlihatkan, hanya 16 persen pemuda desa berminat jadi petani karena pekerjaan pertanian didominasi teknologi tradisional, cangkul, tidak menarik. Masalahnya nanti bukan hanya kuantitas, tetapi juga kualitas.

Mekanisasi pertanian bisa menjawab kekurangan tenaga kerja pertanian selain membuka lapangan kerja baru di pedesaan, meskipun membuat masalah baru, yaitu energi untuk mekanisasi. Tetapi, itulah pembangunan. Kalau kita tidak siap menghadapi tantangan baru, tidak akan ada pembangunan.

Penting mendinamisasi pertanian dan petani dengan membentuk kelompok supaya mereka bisa mengambil keputusan dan menyuarakan apa yang menjadi haknya, misalnya pupuk dan benih tepat waktu serta kredit.

Pihak luar, pemerintah atau swasta, memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan petani. Tetapi, jangan petani jadi alat pihak luar untuk kepentingan pihak luar itu. Yang harus dimakmurkan petaninya. Bukan dengan diberi kesejahteraan, tetapi diberi fasilitas untuk mencari kemakmuran.

Sumber: Kompas, Minggu, 10 Agustus 2008

No comments:

Post a Comment