November 29, 2008

Nuansa: 'Gema Secuil Batu'

Oleh Rahmat Sudirman

KITA buka pembicaraan ini dengan petikan tulisan penyair Inggit Putria Marga yang terbit di harian ini, 23 November lalu: Ketika menjadi wajar adalah sesuatu yang langka, sederhana adalah hal yang tidak biasa, biasa-biasa saja dianggap kuno bahkan purba; di antara hiruk-pikuk dan masalah yang (dianggap) besar, buku setebal 95 halaman yang memuat 49 sajak karya Iswadi Pratama mengajak pembaca hening sejenak mendengarkan Gema Secuil Batu.

Apa yang menarik dari kalimat panjang penyair kita itu? Kalaupun ada yang berkesan, ada yang menyentuh sensibilitas kita sebagai manusia, lalu rangsangan apa yang menyeruak dari untaian kata Inggit di atas?

Dalam kalimat panjang penyair muda itu ada tiga kata kunci yang bisa kita urai: Inggit-Iswadi Pratama-puisi. Inggit dalam tulisan itu memang memosisikan diri sebagai pembaca, sekalipun ia tercatat sebagai salah satu penyair kuat di negeri ini. Penyair-pembaca itu membaca karya-karya Iswadi Pratama--penyair cum teaterwan--yang satu dekade lebih dahulu dari Inggit menggeluti sastra. Bacaan penyair--pembaca itu menelurkan tulisan panjang yang mengapresiasi Gema Secuil Batu, antologi Iswadi Pratama.

Apa jadinya jika penyair mengapresiasi sajak penyair lain? Di sini mungkin kutipan kata-kata Inggit pada alinea pertama tulisan ini punya makna tersendiri. Ada semacam kejujuran hingga Inggit menyatakan "ketika menjadi wajar adalah sesuatu yang langka, sederhana adalah hal yang tidak biasa..." lalu sajak-sajak Iswadi menjadi sesuatu yang mengajak kita memasuki wilayah yang langka itu.

Penyair--jika boleh dikatakan seperti ini--adalah kreator yang berada pada lapis makna kedua, ketiga, mungkin yang membaca lapis-lapis makna yang tidak tersentuh "orang kebanyakan". Keberadaannya pada "lapis makna kreator" ini yang menjadikan pembacaan Inggit atas Gema Secuil Batu memiliki makna berlapis. Makna yang diungkap Inggit ini akan terasa kuat begitu kita membaca sajak-sajak Iswadi--atau mungkin membaca sosok Iswadi sendiri sebagai subjek persona.

Maka itu--sekali lagi saya ulang kutipan tulisan Inggit--"ketika menjadi wajar adalah sesuatu yang langka", rantaian kata-kata itu menjadi kalimat yang meaningfull dan menyemburatkan kejujuran.

Mari kita baca kutipan sajak Rumah Sunyi dalam antologi itu: rumahku sunyi/seperti labirin dengan gerimis abadi/orang-orang datang dan pergi//di rumah itu/aku pernah tidak berani pulang/sebab di atap ada genting bocor/serupa mata yang selalu mengawasi//kalau hujan, air netes dari situ/nimbulin bunyi wingit/merambat ke dinding, ke ranjang/ke setiap sudut ruangan...

Baca juga penggalan sajak Selalu Kukatakan Padamu ini: tetapi selalu kukatakan padamu/ada sesuatu yang berseri esok hari/pulang dan tidurlah. di dalam mimpi/mungkin aku jalanan yang kau lewati.

Kewajaran seperti apa yang terasa dari penggalan dua sajak Iswadi di atas? Mungkin, kewajaran sebagai manusia sebagai makhluk "yang hidup dengan rasa" hingga "kesunyian" menjadi sesuatu yang memiriskan, mungkin juga menjelma "keinginan yang menggigilkan tubuh".

Bukankah ini sebuah kewajaran?

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 November 2008

No comments:

Post a Comment