November 16, 2008

Apresiasi atas Musik yang Tidak Berenergi

Oleh Susan S.*

"KAMU di mana/dengan siapa/semalam berbuat apa."

Itulah sepenggal reff pada lagu berjudul Yolanda yang dinyanyikan grup musik Kangen Band. Liriknya sederhana. Gampang diingat. Mudah diikuti sehingga dengan cepat akrab di telinga penikmat musik.

Band asal Lampung ini memang makin kesohor karena hit-hit yang diluncurkan disukai banyak orang. Dengan bernada Melayu, banyak penyuka musik yang senang mendengar sekaligus ikut menyanyikan.

Dalam sebuah acara televisi, pembawa acara bertanya kepada remaja, anak gaul, dan pengendara mobil. Lagu apa yang sekarang ini mereka akrab mendengarnya. Jawabannya cuma dua grup musik yang mereka tahu: Kangen Band dan ST12.

Lagu ST12, sama dengan Kangen Band, juga kental melayunya. Lirik yang ada "jangan-jangan" itu disukai banyak orang.

Benar bahwa kesukaan kita akan musik menjadi hak prerogatif tiap orang. Setiap manusia punya hasrat yang berbeda dengan orang lain. Maka, selain mereka yang menggilai lagu-lagu dengan cengkok Melayu sebagaimana dibawakan Kangen dan St12, dalam artikel ini izinkan kami mengulasnya. Mungkin nadanya marah, kesal, dan gimana gitu.

Begini. Yang namanya karya, menurut penulis tidak sekadar karya yang begitu saja dinikmati. Karya itu juga harus punya energi. Energi yang positif. Lirik yang nyastra. Suara yang prima. Gaya yang elegan, tidak--maaf--"kampungan" (sengaja pakai kutip karena tidak ingin menstigma orang kampung alias perdesaan karena mereka memang tidak begitu, ya sekadar istilah saja).

Jadi, setiap lagu, dengan lirik dan gaya penyanyinya mampu diapresiasi dengan baik. Mampu memberikan pelajaran. Mampu mencerahkan. Bahasanya berenergi.

Nah, sayangnya, semua itu, menurut persepsi penulis, tidak tergambar dari kebanyakan lagu anak muda yang dibawakan kelompok musik yang sekarang ini ibarat jamur di musim hujan.

Apa yang dilagukan Kangen Band, ST12, termasuk juga D'Massiv, saya kira masih jauh dari kualitas yang sesungguhnya dari karya musik anak negeri. Apatah lagi jika mau diklasifikasikan sebagai karya masterpiece atau adiluhung. Masih jauh banget.

Rasanya bagaimana kalau mendengar lirik seperti ini: "Kamu di mana/dengan siapa/semalam berbuat apa." Kata anak muda zaman sekarang: Ih enggak banget deh.

Apanya yang enak kalau mendengar yang demikian? Apa teks dalam lagu itu memang punya kualitas sehingga harus masuk tangga lagu favorit? Dan, apakah pantas dengan goresan lirik itu, grup musik itu kemudian seperti mendapat durian runtuh?

Rasanya masih jauh. Masih mengecewakan. Perlu banyak belajar dan sebagainya.

Bahkan, rasanya tidak ikhlas jika ada konser musik, grup semisal Kangen Band, ST12, atau D'Massiv bermain bersama, contohnya saja, Peterpan, Padi, Dewa, atau Nidji. Seperti acara musik di salah satu televisi swasta beberapa waktu lalu yang menghadirkan Peterpan, Nidji, dan D'Massiv. Kayaknya enggak ikhlas aja Peterpan yang matang dan punya energi, Nidji yang riang, gembira, dan punya aura khas, disandingkan dengan D'Massiv, yang harus banyak belajar lagi, dan tidak jemawa dengan nasib mereka saat ini.

Musik memang bahasa yang universal. Lewat musik, kita bisa mengimajinasikan perasaan dalam bentuk lagu, lirik, dan suara alat musik.

Namun, kita juga perlu menikmati musik yang bergairah, punya energi, punya kebanggaan ketika kita mengikuti alunan liriknya.

Saya yakin, kita enggak ngaruh apa-apa bahkan mungkin bangga jika kita bersenandung, "Berjalanlah walau habis terang/ambil cahaya cinta..."

Teks ini diambil dari lagu Walau Habis Terang-nya Peterpan. Atau yang ini, masih dari Ariel dkk., judulnya Menghapus Jejakmu yang Dian Sastrowardoyo berperan dalam videoklipnya.

"Terus melangkah melupakanmu//Lelah hati perhatikan sikapmu//Jalan pikiranmu buatku ragu/tak mungkin ini dapat bertahan//Perlahan mimpi terasa menggangu/ kucoba untuk terus menjauh//Perlahan hati kuterbelenggu/kucoba untuk lanjutkan itu."

"Atau, "Menarilah dan terus tertawa/walau dunia tak seindah surga// bersyukurlah pada Yang Kuasa/cinta kita di dunia/selamanya."

Kalau yang ini teks lagu adiluhungnya Nidji berjudul Laskar Pelangi, yang merupakan lagu tema (soundtrack) film berjudul sama. Mulanya dari novel hebat karya Andrea Hirata.

Penulis yakin perasaan mereka yang menikmati lagu Laskar Pelangi ini akan lain dengan saat menyanyikan lagu-lagu cemen-nya Kangen dan ST12. Benar bahwa setiap grup musik punya aliran berbeda. Ada fokus pada tema cinta, tema lingkungan, tema politik, dan sebagainya.

Tapi, tidak menjadikan itu alasan untuk tidak menyajikan karya yang paripurna. Iwan Fals, misalnya, bernyanyi lagu balada, dia oke. Mau nyanyi lagu tema kritik sosial, memang Virgiawan Listanto ini jagonya. Mau disuruh bergitar sambil bernyanyi lagu tema politik, bapaknya almarhum Galang Rambu Anarki ini so pasti bagus suaranya.

Peterpan demikian pula. Meski tahun 2009 nama band ini hakulyakin berubah karena kesepakatan dengan dua personel mereka yang terlebih dahulu cabut, kesukaan masyarakat terhadap Ariel dkk. masih besar. Bahkan, karya yang mereka hasilkan sepertinya tambah memesona saja.

Ariel dkk. sudah terbukti mampu menjaga energi musiknya. Mampu menjaga penampilan panggungnya. Mampu meyakinkan bahwa suara mereka di kaset atau CD sama bagusnya ketika mereka tampil langsung dalam setiap konser.

Mau bernyanyi tema cinta atau tema yang universal saat mereka menyanyikan lagi Chrisye berjudul Kisah Cinta yang penggalan liriknya, "Mengapa terjadi/kepada diriku//Aku tak percaya kau telah tiada//Haruskah aku pergi/tinggalkan dunia/agar aku dapat berjumpa denganmu," kualitas vokal, penguasaan panggung, aura, energi yang dirasakan sama baiknya.

Kita tentu saja menuntut kualitas vokal semua penyanyi sama baiknya antara yang di kaset atau CD dengan suara asli saat mereka konser. Bukan yang setiap konser tetap mengandalkan suara rekaman alias lipsync. Masih lumayan kalau musiknya saja sedangkan suaranya asli atau yang akrab disebut minus one.

***

Tulisan ini merupakan perasaan jiwa atas sebuah tuntutan kualitas bermusik yang bagus. Soal selera, ya itu hak masing-masing penikmat musik. Termasuk yang suka dengan genre yang dibawakan Kangen Band atau ST12. Tiada salah kok. Namanya saja hobi, kesukaan. Tidak ada yang bisa memaksa.

Terakhir, ini juga mengajarkan demokrasi kepada kita bahwa perbedaan menikmati musik bukan hal haram. Jangan gara-gara beda musik, malah melakukan perbuatan kontraproduktif.

Kini saatnya persaingan dan penikmat musik perlu karya berkualitas, tidak cengeng, vokal yang prima, penguasaan panggung yang maksimal, termasuk juga gaya yang elegan serta profesional. Masyarakat nanti juga tahu dan memilih musik jenis apa yang mereka jadikan pilihan sebagai sarana berhibur. Toh berhibur atau mendengarkan musik itu tak salah. Kata aba-aba Raihan dalam salah satu lirik lagunya, "Berhibur tiada salahnya/karena hiburan itu indah//Tapi pabila salah memilihnya/membuat kita jadi bersalah."

* Susan S., peminat musik, menetap di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 November 2008

No comments:

Post a Comment