TEMPAT wisata yang pernah kondang pada era 80-an itu kini terlupakan. Pemkab tidak mengurus danau ini sebagai objek pariwisata. Namun, ratusan pemancing masih hadir setiap hari libur. Kita menunggu Pemkab mengundang mancing di Danau Jepara.
Langit biru menggantung mega-mega putih di atas gelaran air di ceruk seluas 200 hektare. Belanga raksasa berdinding hijau rumput di pantainya dan pepohonan lestari di pagarnya itu adalah Danau Jepara, Lampung Timur. Di tempat ini, kini ratusan pemancing dan puluhan pasang muda-mudi selalu menikmati hari-hari sela dari kerja. Ya, hiburan seadanya.
Memasuki kawasan konservasi yang dibangun Dinas PU Pengairan pada 1974 itu, suasana sejuk dibangun oleh tanaman hutan yang dibiarkan lestari di lokasi ini. Aura perdesaan mendukung rasa hati yang nyaman dan jauh dari ancaman. Menelusup jalan dengan konstruksi aspal hotmix®MDBU¯ dari jalan lintas pantai timur Way Jepara, keasrian sudah mengemuka. Desa-desa yang dikenal sebagai "lumbung TKI" di Lampung Timur itu menyediakan pemandangan rumah-rumah permanen nan bagus di tengah desa. Kita terasa berada pada kampung yang gemah ripah loh jinawi.
Menjelang bendungan, jalan menanjak dengan payung rimbun pohon rindang menyambut. Berikutnya, aroma air danau terasa menyiram bersama angin yang menyapu permukaan danau. Sebentar kemudian, kulai air danau nan bening itu tergelar. Tidak terlalu luas memang. Namun itu justru membuat danau itu tidak terasa seram jika dimanfaatkan untuk sarana rekreasi.
Kondisi sekarang yang dibiarkan seadanya memang membangun kesan alami. Hanya ada beberapa unit bangunan di atas bendungan pengendali pintu air yang berfungsi sebagai aula mini, kantor, dan rumah penjaga yang merangkap membuka warung sederhana. Fasilitas dan peralatan untuk mengendalikan bendungan cukup terawat. Namun, debit air danau yang tidak maksimal membuat fasilitas ini tidak difungsikan.
Memandang ke arah danau, mata dan tubuh tertumbuk pada arus angin yang menerjang dari air. Silir, dingin, sejuk. Di tengah danau, ada karamba apung yang tampaknya kurang dirawat. Sementara di bibir-bibir danau, puluhan pemancing asyik memanteng pelampung yang dikendalikan dengan senar dan joran yang siap dikedut.
Danau yang berada di Kecamatan Way Jepara itu semula hanya seluas 5 hektare. Pemerintah melihat potensi ini bisa dimanfaatkan sebagai waduk yang bisa mengairi sawah di daerah hilirnya. Lalu, pada 1972, dilakukan perluasan danau sehingga menjadi sekitar 200 hektare.
Perluasan ini menjadikan bentuk danau menjadi sangat baik. Di bagian barat yang berbatasan dengan Desa Sumur Bandung, kedalaman danau dari permukaan tanah sebelumnya menjadi sangat tinggi, yakni mencapai 50 meter. Kedalaman penggalian ini membuat pemandangan bibir danau menjadi seperti belanga hijau yang dalam. Sebab, di pinggang danau tersebut sudah tumbuh pepohonan tanaman hutan yang dipelihara oleh warga sekitar karena dilarang ditebang.
Kini, keadaan danau dengan segala potensinya itu tersaji apa adanya. Padahal, masa lalu, yakni pada era 80-an, danau ini menjadi rujukan banyak warga Lampung untuk mencari tempat rekreasi. Setiap Lebaran dan waktu-waktu tertentu, pertunjukan musik digelar. Pengunjung membanjir ke lokasi ini.
Potensi ini sungguh sayang jika tetap ditelantarkan oleh pemerintah Lampung Timur. Sebab, minimnya fasilitas pariwisata di Lampung Timur telah menggiring warganya keluar dari Lamtim, Lampung, bahkan ke luar provinsi untuk mencari tempat rekreasi.
Meskipun demikian, pengunjung tempat nan sejuk ini tetap mengalir pada hari Minggu dan hari-hari libur. Mayoritas pengunjung mengendarai sepeda motor dengan mencangklong tas berisi alat pancing. Yang lainnya, adalah remaja berpasang-pasangan yang memanfaatkan sejuk dan rimbunnya lokasi danau yang indah.
Para pemancing tidak hadir di kolam besar itu dari satu pintu. Mereka merangsek ke beberapa sisi danau dengan menembus belukar melalui desa sekitar. Tak heran jika terlihat dari satu sisi, pemancing berada di ujung sana yang serasa tak ada jalan.
Beberapa pemancing mengaku melewatkan waktu dan menyalurkan hobi sambil mencari ikan. "Yang banyak ikan nila. Ada juga ikan patin. Selain itu, ya ikan liar seperti gabus dan betok. Dulunya katanya ditebar benih. Kalau pas musim calak (ikan mau makan), ya kadang dapat banyak. Tapi, sekarang lagi kurang calak," kata Mulyono, warga Sri Wangi, Lampung Timur.
Di tengah sulitnya menciptakan objek wisata di daerah, Danau Jepara adalah benih yang siap tumbuh. Danau indah dan pengunjung alamiah yang datang tanpa diundang adalah modal pemerintah daerah untuk mengembangkan. Dengan sedikit sentuhan, niscaya Danau Jepara akan menjadi solusi dan program dinas Pariwisata yang aduhai.
Pembangunan beberapa gazebo di pinggir danau, pemancangan dermaga perahu wisata atau bebek goes, panggung tempat pentas, dan aneka fasilitas rekreasi lain pasti mengundang warga datang.
Tempat ini juga bisa menjadi "celah" bagi Dinas Budaya dan Pariwisata untuk menolong para seniman daerah agar bisa tampil secara berkala. Beberapa kesenian daerah bisa dijadwal bergilir untuk pentas di lokasi itu dengan difasilitasi Pemkab. Sebab, kesenian lokal tidak akan mampu bersaing dan tidak ada lagi yang akan menanggap jika tidak pemerintah yang memfasilitasi.
Tidak sulit dan tidak terlalu mahal untuk mengundang ribuan orang untuk hadir di danau ini, saat ini. Jika Dinas Pariwisata mengumumkan akan menebar satu ton ikan di danau itu dan masyarakat dipersilakan bebas memancing, ribuan orang akan berduyun-duyun ke lokasi nan asri itu. Suatu harga yang tidak seberapa bagi Pemkab. Apalagi untuk kegembiraan rakyatnya. Mau dicoba? n CHAIRUDIN/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 November 2008
No comments:
Post a Comment