November 1, 2008

Apresiasi: 'Laskar Pelangi' dan Kota 'tanpa' Bioskop

Oleh Adi Tirta*

KASIHAN benar warga Kota Bandar Lampung. Saat penonton di kota-kota besar lain sudah pernah menonton film Laskar Pelangi, masyarakat Kota Tapis ini belum kesampaian melihat peran yang menawan dari film besutan Riri Riza dan Mira Lesmana ini.

Meskipun menurut media massa, jumlah penonton film ini sudah mencapai tiga juta orang, tetap saja penduduk Bandar Lampung masih minim yang menontonnya. Kalaupun ada yang sudah menonton, pilihannya ada dua: Kalau tidak menonton di kota lain, Jakarta, misalnya, ya melihat film dari keping cakram padat bajakan.

Kita sebetulnya patut bersedih setelah Artomoro dirobohkan dan akan diganti dengan bangunan lain, penduduk kota ini kehilangan tempat menonton film baru: Bioskop. Memang kota ini masih memiliki bioskop, tapi yang penulis maksudkan di sini fokus pada Bioskop 21 (Twenty One).

Bukan mau membandingkan atau menganggap bioskop lain tidak penting dan menarik. Ini lebih kepada Bioskop 21 lebih cepat memutar film yang sedang in di masyarakat. Lagi pula dari sisi kenyamanan, bioskop berjaringan itu memang yang terdepan. Memang tidak serta-merta tidak ada bioskop kita tidak bisa menonton.

Tapi ya itu tadi, bisanya hanya lewat CD. Dan untuk CD yang orisinal, masih harus bersabar menunggu beberapa bulan. Bukannya begitu diputar di bioskop kemudian sudah ada kepingan filmnya.

Di kota ini sempat ada beberapa bioksop. Misalnya Sederhana dan Raya yang sekarang sudah berubah menjadi Ramayana. Ada pula King yang kini lahannya dipakai Gedung Juang di Jalan Teuku Umar.

Ada pula Bioskop Enggal di depan Apotek Enggal di Jalan Raden Intan. Di kawasan Kemiling juga ada bioskop yang kini setengah bangunannya dipakai Indomaret.

Di kawasan Tanjungagung, juga sempat ada Bioskop Sinar, persis di atas kali yang membelah Jalan Pangeran Antasari.

Kini, jumlah bioskop sedikit. Paling tinggal Odeon di Pasar Bambu Kuning yang masih berdiri. Akan tetapi, mengharapakan film Laskar Pelangi segera diputar di sana sepertinya masih lama banget.

Bioskop buat masyarakat perkotaan seperti halnya Bandar Lampung, menurut penulis, sebuah kebutuhan. Mungkin di daerah lain yang segala akses masih terbatas, bioskop masih tergolong tempat yang belum dibutuhkan. Namun untuk kota sekelas Bandar Lampung, di mana dinamika masyarakatnya begitu dinamis, keberadaan bioskop sudah tentu penting.

Di sinilah interaksi masyarakat dengan kebudayaan, hiburan, dan intelektualitas itu bertemu. Bagi penulis, bioskop bukan sekadar tempat untuk menonton, melainkan juga tempat untuk mengapresiasi setiap bentuk hiburan yang muncul, setiap film yang diketengahkan, dan sebagainya.

Misalnya saja, mungkin kita masih ingat saat kita kecil, setiap sekolah pasti mengadakan kegiatan menonton film di bisokop. Ada film-film perjuangan, ada pula film kolosal, film tentang sejarah, dan film anak-anak yang bagus. Ketika kami masih sekolah dasar, penulis ingat pernah dimobilisasi untuk menonton film-film perjuangan, seperti Janur Kuning, film tentang pemberontakan G-30-S/PKI, dan sebagainya.

Pun demikian halnya ketika SMP, saat film Cintaku di Way Kambas diputar, kami, siswa satu sekolah, juga dimobilisasi untuk menonton.

Keberadaan bioskop pada masa itu demikian urgen. Pendidikan di kelas pun bisa dipindahkan ke ruang sinema layar lebar. Para guru hanya membimbing saja dalam diskusi setelah kami bersama-sama menonton film Cintaku di Way Kambas. Tanpa banyak membuka literatur, kami tahu ada pusat pelatihan gajah di Way Kambas, kehidupan pawang di sana, lokasi pusat pelatihan itu, hingga hal-hal berkenaan biologi dari mamalia berbelalai panjang dengan nama latin Elephas sumatranus itu.

Demikian pula saat film Petualangan Sherina mulai diputar, Bioskop 21 disesaki penonton. Tidak hanya anak-anak, orang tua, dewasa, anak baru gede, semua tumpah ruah. Ini membuktikan tingkat apresiasi masyarakat terhadap film yang berkualitas masih tinggi.

Yang terbaru tentu saja film Ayat-Ayat Cinta yang fenomenal itu. Hampir setiap hari bioskop dijubeli penonton. Nah, yang unik, kalangan yang bisa dikatakan "tidak terbiasa" dengan bioksop pun, ikut menyaksikan. Perempuan-perempuan berjilbab, aktivis dakwah di kampus dan sekolah, demikian pula ibu-ibu pengajian, bapak bersama istri dan anaknya, beramai-ramai menikmati sajian film besutan Hanung Bramantyo itu. Sebuah bukti bahwa bioksop dan film yang bermutu memang dicari semua orang.

Namun, apa yang kemudian terjadi di dunia perbioskopan di kota ini? Penulis bisa mengatakan kini kita tidak punya lagi bioskop yang layak untuk memutar film-film baru dan berkualitas. Kita kehilangan ruang untuk mengapresiasi sinema yang bagus.

Kita juga kehilangan kebutuhan akan hiburan dan rekreasi. Dengan kata lain, tingkat interpretasi masyarakat kota ini terhadap sebuah karya film semakin dimandulkan.

Yang menyedihkan, kita sampai dengan sekarang tidak bisa menyaksikan film Laskar Pelangi. Film yang menginspirasi. Film yang banyak menuangkan ibrah lewat adu peran semua pemainnya. Dan yang lebih utama, kita kehilangan rasa, apresiasi, daya kritik, dan perasaan terhibur. Sungguh miris merasakan itu padahal kita berada dalam sebuah kota yang makin maju.

Sulit mengarahkan kepada siapa perihal ini dipersalahkan. Ini semata-mata hak dari pengelola dunia hiburan. Mestinya kita bisa berharap bioskop yang masih tersisa, mampu meningkatkan kualitasnya dengan menghadirkan film-film baru, baik Barat maupun nasional. Justru dengan sedikitnya jumlah bioskop merupakan peluang memperbesar pasar.

Namun, penulis melihat hal itu masih jauh panggang daripada api. Maksudnya, sulit berharap pengelola bioskop yang ada sekarang, menghadirkan film-film berkualitas baik, seperti halnya Laskar Pelangi. Kini kita hanya bisa menunggu kapan film-film itu dikemas dalam bentuk CD orisinal. Atau kita hanya bisa berharap, kapan bioskop di kota ini sudi kiranya memutar film-film yang bagus, utamanya tentu saja Laskar Pelangi.

* Adi Tirta, peminat masalah kemasyarakatan di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 November 2008

No comments:

Post a Comment