DI pagi hari, masih di bawah bayang-bayang biasan sinar matahari, Menara Siger kokoh berdiri. Lelaki muda mengenakan seragam Polisi Pamong Praja berjalan keluar dari pintu masuk Menara Siger. Ia menyapa ketika melihat seseorang hendak masuk ke puncak sana. "Mau ke mana Mas," sapanya.
Obrol punya obrol, sejak dibangunnya Menara Siger, banyak sudah para pengguna jalan yang singgah untuk sekadar melepas lelah. Bahkan, ada yang datang dari luar daerah hanya untuk melihat Menara Siger, terutama hari Minggu.
Menurut Pol. PP itu, mereka (pengunjung) rata-rata penasaran ingin melihat bangunan Menara Siger yang dikabarkan mirip bangunan-bangunan yang melegenda seperti Patung Singa di Singapura, Menara Eiffel di Paris, dan Patung Liberty di Amerika Serikat (AS).
Betapa sebuah monumen dengan lambang adat Lampung itu, bermula dari gagasan Sjachroedin Z.P sekitar tahun 1995 menjadi sebuah tempat yang memukau dan menggerakkan hati bagi pengunjung.
Sjachroedin dalam berbagai kesempatan menyatakan Menara Siger dibangun untuk menandakan ciri khas Lampung. Kawasan sekitar tugu akan dibangun ruang-ruang yang menampilkan berbagai khasanah budaya Lampung dan sarana-prasarana pariwisata. Tak lupa, kawasan ini juga menjadi arena pertunjukan gajah Lampung--hewan yang menjadi ikon wisata daerah ini.
Karena menjadi simbol identitas, seperti kata Anshory Djausal, Tugu Siger menampung dan merepresentasikan simbol budaya Lampung. Di puncak menara, ada payung tiga warna (putih-kuning-merah) sebagai simbol tatanan sosial masyarakat Lampung. Selain itu, ada menara untuk melihat panorama laut--lebih bermakna profan.
"Menara Siger diharapkan dapat merepresentasikan lambang dan budaya Lampung dalam bentuk konstruksi fisik yang unik," kata Anshory, beberapa waktu lalu.
Inilah proyek Lampung yang mengusik kembali wacana kebudayaan di provinsi ini sepanjang 2004--2005. Sebuah obsesi besar sudah dimulai. Tugu Siger adalah wujud riil obsesi itu. Obsesi yang ingin mengulturkan Lampung sehingga bumi Lampung tampil sebagai wilayah khas, yang hidup dalam karakter budaya lokal seperti layaknya Sumatera Barat dengan kultur Minangkabau, Bali dengan Bali-nya, Nusa Tenggara dengan Lombok, Flores, Sulawesi Selatan dengan Bugis-Makassar-Toraja, dan Yogyakarta dengan tradisi Mataram-kekejawenannya.
Meskipun demikian, untuk saat ini masih cukup sulit mengukir dan memantapkan tujuan ideal dari suatu makna budaya. Yang ada baru sebatas obsesi yang masih terseok-seok oleh proses yang kurang mendapat perhatian. Meskipun, tujuan minimal dari suatu keinginan yang lebih besar sudah mulai menumbuhkan tanda-tanda. Sudah ada beberapa pengunjung yang sengaja datang untuk menikmati keindahan menara itu sekaligus meneropong Bakauheni secara keseluruhan dari tempat ini.
Untuk menikmati keindahan menara dan menggunakan tempat ini untuk memandang alam sekitarnya, pengelola belum mengutip karcis masuk. Padahal, tempat ini cukup ideal bagi keluarga atau pendatang untuk sekadar bersantai. Suatu yang layak Anda coba. n AAN KRIDOLAKSONO/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 November 2008
No comments:
Post a Comment