February 15, 2007

'Reinventing' Lampung: Proyek yang tak Pernah Usai

GUBERNUR Sjachroedin Z.P. dalam berbagai kesempatan menyatakan Tugu Siger--ada yang menyebut Menara Siger, seperti Anshory Djausal, arsitek Unila yang mendesain Tugu Siger--dibangun untuk menandakan ciri khas Lampung. Kawasan sekitar tugu akan dibangun ruang-ruang yang menampilkan berbagai khazanah budaya Lampung dan sarana-prasarana pariwisata. Tak lupa, kawasan ini juga menjadi arena pertunjukan gajah Lampung--hewan yang menjadi ikon wisata daerah ini.

Tugu Siger berwarna emas ini dibangun di bukit yang berada di sebelah kiri (timur) pintu masuk Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni. Bangunan tugu dilengkapi ruang-ruang, tempat wisatawan melihat Pelabuhan Penyeberangan Merak, dan keindahan panorama laut-alam sekitar.

Bangunan Tugu Siger bisa terlihat dari semua arah. Di tengah tugu--rencananya--membentang tulisan "Anda Berada di Titik Nol Pulau Sumatera". Panjang Menara Siger sekitar 50 meter, lebar 10--11 meter, tinggi sekitar 30 meter.

Karena menjadi simbol identitas, seperti kata Anshory Djausal, Tugu Siger menampung dan merepresentasikan simbol budaya Lampung. Di puncak menara, ada payung tiga warna (putih-kuning-merah) sebagai simbol tatanan sosial masyarakat Lampung. Selain itu, ada tower untuk melihat panorama laut--lebih bermakna profan.

"Menara Siger diharapkan dapat merepresentasikan lambang dan budaya Lampung dalam bentuk konstruksi fisik yang unik," kata Anshory beberapa waktu lalu.

Inilah proyek reinventing Lampung itu, yang mengusik kembali wacana kebudayaan di provinsi ini sepanjang 2004--2005. Sebuah obsesi besar sudah dimulai. Tugu Siger adalah wujud riil obsesi itu. Obsesi yang ingin meng-kultur-kan Lampung sehingga bumi Lampung menjadi wilayah yang hidup dalam lilitan indigenious culture. Lampung, dengan demikian, tampil sebagai wilayah khas, yang hidup dalam karakter budaya lokal seperti layaknya Sumatera Barat dengan kultur Minangkabau, Bali dengan Bali-nya, Nusa Tenggara dengan Lombok, Flores, Sulawesi Selatan dengan Bugis-Makassar-Toraja, dan Yogya dengan tradisi Mataram-kekejawenannya.

Seperti menjadi hukum alam, obsesi besar dengan semangat "menemukan kembali Lampung" ini mendapat beragam tanggapan. Ada dukungan, kritik juga berdatangan. Proyek Tugu Siger yang dimulai 2004 ini terus menjadi pembicaraan publik. Lampung Postÿ20juga mencatat kontroversi Tugu Siger terus bergulir sepanjang 2005.

Saat Gubernur melempar rencana pembangunan Tugu Siger ke publik, pro-kontra tak bisa dihindari. Pihak yang pro menilai proyek raksasa ini harus dilakukan. Jika tidak ada yang berani melakukannya, kapan lagi Lampung punya monumen besar seperti ini. Bukankah Soekarno membangun Monumen Nasional dengan semangat seperti ini? Kira-kira demikian pendapat dan alasan moral pihak yang setuju dengan langkah Gubernur Sjachroedin.

Sementara pihak yang kontra mempertanyakan Tugu Siger dari berbagai aspek. Dari sisi anggaran, proyek Rp7,3 miliar ini dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Lampung. Saat ini, rakyat belum membutuhkan monumen identitas seperti itu; yang dibutuhkan adalah pembangunan yang bisa mengangkat kehidupan ekonomi rakyat.

Apalah artinya Tugu Siger jika proyek raksasa--disebut begini karena menyimpan obsesi besar--itu hanya berhenti sebatas bangunan fisik. Ini juga jadi pertanyaan yang mewarnai pro-kontra Tugu Siger sepanjang 2005.

Sebuah monumen atau tugu adalah benda budaya juga. Bangunan itu adalah budaya dalam bentuk fisik atau artefak. Dalam pandangan Rislan Syarief, arsitek dari Unila, memang semestinya Tugu Siger tidak berdiri sebatas bangunan fisik. "Dia mesti diikuti dengan kosmologi hingga orang tahu seperti apa Lampung itu," kata arsitek yang menekuni arsitektur tradisional ini, Rabu (21-12), di Bandar Lampung.

Idealnya, apa yang dikemukakan Rislan menjadi bagian integral dari proyek obsesif ini. Tentu sangat sayang dana Rp7 miliar lebih hanya beralih rupa menjadi bangunan fisik. Juga sulit membayangkan karakter suatu suku bangsa atau masyarakat akan terbangun tanpa bentangan kosmologi dalam setiap ruang kehidupan.

Mencipta Makna

Apakah Tugu Siger akan menjelma penanda kelampungan ataukah sebatas hadir sebagai bangunan fisik yang bentuknya monumental? Inilah proyek budaya kita ke depan; "meniupkan roh kultural" ke dalam bangunan fisik sehingga ia bisa berjalan memenuhi imajinasi dan bawah sadar siapa saja yang bersentuhan dan menatapnya.

Pemprov Lampung melalui Gubernur Sjacroedin Z.P. telah memulai revitalisasi ini. Harus diakui, apa yang dilakukan Gubernur adalah kebijakan visioner yang dilatari semangat revitalisasi budaya Lampung. Tugu Siger adalah awal yang baik.

Karena semangat Tugu Siger adalah "identitas yang diciptakan", seperti kata Rislan Syarief, tentu harus ada penciptaan-penciptaan lain yang membuat identitas itu benar-benar mengaliri hidup masyarakat Lampung. Bagi Rislan, kosmologi atau medan makna adalah entitas yang harus menyelimuti bangunan-bangunan monumental seperti Tugu Siger.

"Kosmologi itu kan untuk melihat struktur kehidupan masyarakat, untuk membaca seperti apa karaktar masyarakat. Semua ini lari ke kosmologi," ujar dosen yang meneliti arsitektur tradisional Kenali di Lampung Barat ini.

Memang, agak sulit mewujudkan konsep yang ditawarkan Rislan. Dinas Promosi, Investasi, Kebudayaan, dan Pariwisata Lampung, sebagai instansi yang bersentuhan langsung dengan budaya, lebih melihat budaya sebagai paket integral pariwisata. Dalam grand design kepariwisataan Lampung 2005--2010 yang disusun Komite Kepariwisataan Provinsi Lampung, misalnya, begitu terlihat perspektif yang memosisikan budaya sebagai subordinat pariwisata.

Yang tergambar dari grand design ini, budaya dimaknai dalam batasan seni atau pertunjukan rekreatif. Prosesi adat seperti pemberian gelar (cakak pepadun) dan perkawinan dimaknai sebagai acara tontonan, belum dihadirkan sebagai peristiwa simbolik yang tali-temali dengan unsur kebudayaan lain.

Berangkat dari paradigma seperti ini, strategi kebijakan dan program yang dikembangkan Dinas Promosi, Investasi, Kebudayaan, dan Pariwisata terfokus pada event akbar yang dikemas dalam bentuk festival tahunan. Dapat dikatakan, program-program yang disusun komite pariwisata tidak menyiratkan paradigma budaya sebagai suatu bagian integral kehidupan masyarakat Lampung. Budaya di sini masih diterjemahkan dalam ajang tahunan seperti Festival Krakatau, Festival Teluk Lampung, Festival Waykambas, dan Festival Kotabumi Betah.

Jika seperti ini kebijakan operasional pemrov di bidang kebudayaan, apa yang dimaksud Rislan Syarief, membangun kosmologi, sepertinya sulit terwujud. Paradigma kebudayaan para pengambil keputusan harus diubah.

Mengikuti tradisi tafsir, kebudayaan dimaknai sebagai seperangkat sistem simbolis yang mengandung makna, pengetahuan, nilai, dan segala referensi yang dijadikan pegangan manusia berhubungan/berkomunikasi dengan lingkungannya. Makna yang simbolis selalu hadir dalam konteks, tidak serta-merta hadir dalam suatu lingkungan dan kehidupan masyarakat. Ia bisa mewujud bangunan fisik (artefak) seperti rumah panggung, ukir, sulam, siger, keris, topeng (tupping), dan benda simbolis lainnya; budaya juga hadir dalam bentuk gerak (tari, silat), tuturan (warahan, dadi). Ada juga yang tampak dalam ritual, sistem kekuasaan, dan sistem sosial.

Dalam perspektif ini, apa yang ditawarkan Rislan bisa terwujud. Cerita tradisi yang disampaikan dalam warahan atau dadi, misalnya, mesti dilihat sebagai entitas simbolis. "Cerita juga punya maksud, bahkan ada yang dimitoskan. Jadi mite," kata Rislan.

Karena simbol dan makna hadir dalam konteks tertentu, ia tentu harus dikenalkan pada konteks yang lain. Sulit membayangkan orang di luar suku Lampung dengan sendirinya paham apa makna cakak pepadun atau makna adok. Ini tentu memerlukan penjelasan yang disebarluaskan hingga makna yang terkandung itu menjadi milik bersama (shared meaning). Apakah ajang tahunan dalam bentuk festival extravaganza bisa menyebarluaskan makna simbolis budaya Lampung kepada orang non-Lampung, pendatang, atau wisatawan? Apakah budaya yang jadi subordinat pariwisata, yang dihadirkan sebagai rekreasi, akan menjadi entitas yang menularkan makna-makna simbolis? Apakah Tugu Siger bisa menjadi bangunan yang memancarkan makna kultural?

Ini masalah besar yang mesti direnungkan jika tahun-tahun mendatang kita ingin menghidupkan artefak, seni, ritual, dan wujud budaya lainnya mengisi bawah sadar manusia yang berinteraksi dengannya. Untuk meramu indigenious culture sebagai rujukan sosial setiap manusia yang ada di bumi Lampung. n RAHMAT SUDIRMAN

Sumber: Lampung Post, Jumat, 30 Desember 2005

3 comments:

  1. Anonymous6:33 AM

    menarik baca blog-nya..
    bisa minta bantuan?
    saya lagih cari refrensi ttg arsitektur tradisional khususnya Lampung barat.
    kalo ada ref, bis aimel ke saya galoeh11_arch@yahoo.com
    trimakasih

    ReplyDelete
  2. Anonymous11:55 PM

    yups, bener banget...

    gw juga orang lampung,ya walopun kelahir gwe jakarta...tapi gw tetep bangga sama daerah asal bonyok gw n keluarga besar gw...jadi tiap ada yang tanya gw asli mana, gw jawab LAMPUNG....

    ReplyDelete
  3. Wah, saya belum lihat nih Tugu Siger. Dulu pas bapak kerja di bakauheuni kayaknya belum jadi. Akhir pekan ini mau kesana.. mau foto2 ah..


    Btw, emang keliatan kalau di Lampung malah Jawa yang lebih dominan.. bahkan di bakauheuni ada kampung balinya segala.. semoga Lampung bisa mempertahankan kelampungannya..

    ReplyDelete