February 21, 2010

Buku: Tentang Suara-Suara Kerinduan

Judul buku: Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan
Penulis : Oky Sanjaya
Penerbit : BE Press, Lampung
Cetakan : I, Desember 2009
Tebal : ix + 76 hlm.

TERCEKAT saya ketika membaca buku puisi yang ditulis oleh generasi Lampung akhir 80-an ini. Bukan karena saya tidak yakin, melainkan karena saya menemui dua hal yang menjadi perasaan malu, yang lama-lama merenggut minda saya untuk berpikir apa yang sebenarnya terjadi dengan orang Lampung.

Pertama, saya merasa malu karena ternyata saya tidak mampu memahami puisi yang ditulis dalam bahasa ibu saya secara penuh. Kedua, saya malu karena ada generasi-generasi Lampung yang tidak hanya bisa mengungkapkan keresahannya, tetapi juga berkarya dalam dukungan yang tak seberapa.

Mengenai sekat bahasa izinkan saya sebagai pembaca berlayar dalam pikiran-pikiran saya setelah membaca teks ini beberapa minggu. Meskipun tak sepenuhnya terpahami atau genap ditelan alam pikiran. Hal yang paling pokok yang bisa saya serap dari buku puisi ini ialah kerinduan.

Suara-suara kerinduan yang dibawa dalam buku puisi ini, utamanya dapat terbaca dalam beberapa hal, pertama kulit muka yang mengusung judul Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan dan gambar seseorang yang sedang menelepon seraya memegang kepalanya yang seolah menggambarkan keresahan. Judul dan gambar ini dengan segera membawa saya dalam sebuah rasa rindu tentang sesuatu, entah itu rasa atau sosok. Lebih utama lagi, kerinduan-kerinduan itu dibawa dari sebuah negeri yang asing menuju negeri yang dirindu karena kegiatan menelepon yang mengisyaratkan jarak dan juga sebuah tempat yang menghubungkan tempat lain, yaitu pelabuhan.

Suara-suara kerinduan selanjutnya juga tergambar dalam puisi yang pertama ditampilkan Mulang Goh. Sebuah puisi singkat yang berpesan untuk kembali. Kembali pada sebuah pangkal yang melegakan. Penerimaan pada diri yang utuh seolah baru saja sadar dari sebuah entitas di luar dirinya.

Kerinduan selanjutnya bisa dibaca pada puisi ketujuh belas, yaitu puisi yang judulnya diambil menjadi judul dalam kulit muka: Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan. Lebih jauh ke dalam isi puisinya, saya bisa merasakan sebuah rasa rindu yang dilabuhkan pada alam (malam, pasir, angin), tempat (pelabuhan, laut, bandar) dan rasa (keindahan, kesetiaan, sepi). Semua kerinduan yang dianalogikan tersbut diakhiri pada sebuah nama: Yulia.

Di penghujung buku kerinduan disimpulkan pada puisi Ngehapus yang berbicara tentang diri: identitas dan perubahan. Tentang dinamika kedirian yang dilihat ada pertarungan dan juga kepasrahan menerima hasil akhir dinamika kehidupan. Meskipun hasil akhir itu masih terus dipertanyakan ujungnya, tetapi, yang terpenting, puisi ini mengajak berdewasa dan kembali mengenali diri.

Bagi saya, sampul buku, puisi pertama (Mulang Goh), puisi Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan, dan puisi Ngehapus bercerita tentang kerinduan pada sebuah entitas kelampungan. Hal ini ditandai dengan kata-kata yang digunakan dan berbagai analogi yang bermain di dalam pikiran saya, yang mengarahkan pada Lampung itu. Sebab, ada kata-kata khas yang dipakai, antara lain: pelabuhan, lawok, bandar, analogi identitas dan analogi kerinduan dalam kata mulang "pulang". Barangkali tergesa, tapi begitulah yang saya tangkap dari buku Oky Sanjaya.

Hal lain yang menarik di dalam puisi-puisi yang ditulis Oky ialah kata-kata yang khas merujuk pada Lampung. Contohnya, kata sigor , kumbang kupi, lada dan pekon. Selain mengenai yang khas itu, ciri kemoderenan puisi ini juga tampak pada penggunaan kata yang boleh dibilang serapan dari bahasa asing seperti instrospeksi, fragmentasi dan mutilasi. Boleh dibilang ini sebuah bangunan puisi yang baru, sejatinya, mempertemukan dunia khas Lampung dan hal-hal baru yang, tentu saja, dialami secara pribadi oleh penulis puisi.

Meskipun demikian, ada sedikit kekurangan yang saya temukan. Misalnya, ada penggalan-penggalan puisi yang saya lihat tidak sempurna dan mengacaukan arti karena pembaca harus mengulang dua kali untuk memahami setiap kalimatnya. Pengalaman ini saya rasa pada puisi Ngemutuskon.

Apresiasi patut diberikan kepada Oky Sanjaya yang telah memberikan seberkas harapan pada isu bahasa Lampung yang katanya menuju kepunahan. Setidaknya, kita dan saya ditegur untuk peduli pada bahasa ini karena bicara bahasa juga bicara tentang identitas kelampungan yang menjadi identitas orang-orang yang tinggal di tanah lada.

Melalui buku 57 judul puisi dalam buku Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan, Oky telah menelepon saya untuk kembali menengok Lampung dan peduli pada masa depan bahasanya.

Imelda
, Pembaca buku, peneliti etnolinguistik di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Februari 2010

2 comments:

  1. Kunjungan perdana dan aku terkesima

    >> tak sengaja aku tadi hanya mengecheck postingku dengan kata kunci suara kerinduan, dan ketemu dengan blog orang lampung ini, salam kenal ya... rasanya aku komen di blog ku sendiri sekarang... ^_^

    ReplyDelete
  2. Percayalah, seumur hidupku, aku akan terus, dan tetap menulis puisi dalam bahasa ibuku. Meski demikian, ada hal-hal, yang belum bisa aku sampaikan, mengenai kebahasaan "Bahasa Lampung". Buku "Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan", mungkin kebahasaan transisi, dikarenakan upayaku mengambil sikap; apa yang aku yakini. Bagaimana karya sastra berbahasa Lampung dikenal dan dikaji dalam bahasa pemersatu kita: Indonesia? Bagaimana mempertahankan unsur puitik puisi berbahasa Lampung jika puisi-puisi itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia?

    Pengalamanku, adalah, menuliskan puisi dalam bahasa Lampung menyulitkan diriku menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, namun sebaliknya.

    ReplyDelete