December 31, 2012

Refleksi Akhir Tahun: Saatnya Katakan "Tidak" pada Mereka

Oleh Djadjat Sudradjat


"MUSUH kita kini bukan Orde Baru, tapi mati lampu." Ini olok-olok kita hari ini. Ia bisa ungkapan harfiah, tapi juga multitafsir. Ia sebuah paradoks. Bagaimana kita mampu menumbangkan rezim yang "gelap" akan demokrasi satu setengah dasawarsa silam, tapi kemudian  belum cakap menerangi. Demokrasi masih dalam pergulatan yang hebat agar linear dengan keadilan dan kemakmuran rakyatnya. Karena demokrasi memang masih berjalan tanpa para demokrat, politisi minus negarawan, dan berbagai kebijakan yang sedikit melibatkan  orang-orang bijak.

Dalam dunia yang kian global  ini, musuh kita bukanlah Amerika, tapi lemahnya spirit kerja dan  bersemayamnya sikap dusta. Musuh kita bukanlah Jepang, tapi tujuan bernegara kita yang mengambang. Musuh kita bukan Cina, tapi kemalasan kita. Musuh kita bukanlah Malaysia, tapi kebodohan kita sendiri. Musuh kita bukanlah budaya asing, tapi tak cakapnya kita merawat dan memanfaatkan budaya sendiri.


Musuh Lampung bukanlah Jakarta atau Surabaya, tapi  berserak-seraknya berbagai kekuatan di provinsi ini karena mengerasnya prasangka. Musuh Lampung adalah elite yang berjalan sendiri-sendiri! Bisakah semua menyatu membangun kekuatan tanpa terpecah antara pangkat tinggi dan  rendah? Antara Pepadun, Saibatin, Jawa, Sunda, Bali, Minang, Batak, Semendo, dan seterusnya?

Musuh kita bukanlah siapa-siapa, tapi diri kita sendiri. Musuh kita adalah pemerintah yang kurang memerintah, egoisme antarpribadi, merasa pintar sendiri, sikap reaktif yang tinggi, intoleransi, hipokrisi, tak percaya diri, dan sikap berdiam diri mereka yang mau aman sendiri. Sikap berdiam diri serupa itu dalam gemuruh perubahan yang rancak adalah penyerahan diri ke tubir jurang. Kita haruslah  bergerak jika tak mau tingal nama. Amerika, China,Jepang, Malaysia, adalah "motivator" kita. Bahwa kita ternyata tak termotivasi, tetap dalam alur hidup yang tak kreatif, pastilah tak ada motivator super sekelas apa pun bisa mengubah keadaan kecuali potensi jiwa-jiwa yang dimotivasi itu. Diri sendirilah penentunya. 

Saya tak bosan mengambil contoh ini. Bahwa kita dulu bisa melakukan yang semula diragukan bangsa lain.  Marilah sepenggal cerita ini jadi bahan refleksi akhir tahun. Kita mulai pada 1958. Ketika itu Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah Asian Games IV  1962. Surat kabar terkenal Singapura, The Straits Times, menulis dengan sinis: "Lonceng Kematian Asian Games telah Berbunyi di Jakarta".   
Jakarta memang tak punya fasilitas olahraga dan sarana pendukung  memadai. Hanya Stadion Ikada dan dua hotel sederhana. Tetapi, hinaan itu jadi pelecut. Dalam kesulitan itu Bung Karno menjawabnya. Dalam waktu dua setengah tahun Indonesia membalikkan keadaan.  Berdirilah Gelanggang Olahraga Bung Karno nan megah, Hotel Indonesia yang mentereng, dan berbagai fasilitas pendukung yang lengkap. Sarana komunikasi  siap mewartakan ke seluruh dunia. 

Proyek raksasa itu, mengerahkan 14 insiyur terbaik Indonesia, 12.000 pekerja dari kalangan sipil, militer. Mereka bekerja tanpa kenal lelah. Bahkan tukang becak pun terpanggil ikut serta. Beberapa di antaranya tak mengharapkan bayaran. Orang-orang Betawi yang bermukim di sekitar Senayan rela memberikan tanahnya demi kehormatan bangsa. "Aku sekarang bertanya kepada Saudara-saudara sekalian, apakah engkau tidak bangga punya stadion ini. Apakah engkau tidak bangga bahwa stadion yang hebat ini milik bangsa Indonesia," tanya Presiden Soekarno ketika meresmikan tempat bersejarah itu pada 21 Juli 1962. Tak terbantahkan Gelora Bung Karno hingga kini belum ada tandingannya.  

Negara-negara peserta Asian Games tercengang. Tak ada yang percaya. Pers asing, khususnya wartawan The Straits Time, tersipu malu. Terlebih lagi ketika Indonesia keluar sebagai juara dua perhelatan olahraga Asia itu, hanya kalah dari Jepang. Sebuah capaian yang entah kapan lagi bisa kita raih. Ini bukan kerja instan. Sejak Pekan Olahraga Nasional pertama pada 1948, Presiden memang telah mencanangkan olahraga sebagai alat {membangun karakter bangsa}: kuat, sehat, kerja keras, dan sportif. Pelatih-pelatih terbaik dicari, organisasi-organisasi olahraga dibentuk dan perannya dimaksimalkan, atlet-atlet dikirim ke luar negeri.

Kita memang telah berjarak dengan spirit dan heroisme Soekarno yang bergelora. Tapi, kita tak boleh memadamkan api spirit itu hingga titik nadir. Perubahan tak boleh ditangguhkan, jika tak mau terlindas zaman. Setiap napas dan gerak kita mestilah punya arti bagi diri sendiri, lingkungan, dan pasti negaranya. Sebab negara adalah sebuah entity. Tapi,  mestilah aparat negara yang harus menjadi lokomotif menarik gerbong yang bernama rakyat. Api spirit Bung Karno bukan barang lama yang harus disisihkan. Kita membutuhkan spirit serupa itu. Tren masa kini dan masa depan adalah pemerintahan yang bersih, birokrasi yang melayani, pemimpin yang menggerakkan, dan politik yang menginspirasi.

Setiap pemimpin haruslah menjadi lokomotif perubahan. Inspirasi menuju arah yang pasti, memotivasi jiwa-jiwa yang meluruh. Membangkitkan harapan-harapan yang memudar, membimbing gerak pribadi-pribadi yang tertatih. Tren masa depan adalah polisi, jaksa, dan hakim yang bekerja penuh integritas, tidak culas. Dan, muara dari seluruh  kerja negara adalah untuk publik. Karena itu, setiap ada upaya peminggiran terhadap publik oleh negara, di situ pasti ada penkhianatan. Saatnya dengan keras kita katakan "tidak" pada elite negara di pusat hingga daerah yang mengkhianati publik. Kita mesti berteriak nyaring pada elite yang hanya sibuk dengan urusan fasilitas diri, kemakmuran pribadi, keluarga, dan kelompoknya. Selamat tahun baru 2013. Selamat datang masa depan. Selamat datang para pemimpin yang memimpin. Yang lebih banyak memberi.  Bukan  mengambil!

Djadjat Sudradjat,
Wartawan Lampung Post

No comments:

Post a Comment