December 12, 2012

[Fokus] Mulok Harus Dapat Porsi Lebih

KEKURANGPEDULIAN lembaga-lembaga adat untuk melestarikan bahasa ibu menjadikan bahasa daerah itu sebagai bahasa eksklusif yang hanya diketahui sekelompok masyarakat. Bila ini terus dibiarkan, akan terjadi seleksi alam dan harus disadari akibatnya, bahasa daerah tersebut pasti punah.

Ridwan, warga Tanjungaman, Kecamatan Kotabumi Selatan, pelaku pengguna bahasa daerah di kediamannya, Senin (10-12), mengatakan percakapan bahasa Lampung hanya dia dengarkan saat upacara adat. Saat interaksi sosial, lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.


Sebagai warga Lampung asli, dia mengaku sulit untuk melafalkan bahasa daerahnya. Belum lagi, aturan tata bahasa daerah itu sendiri menyulitkan dan tidak menyatu. ?Saya sebagai masyarakat Lampung sulit untuk melafalkan bahasa ibu walaupun tahu arti setiap percakapan yang dilafalkan,? kata Ridwan.

Bahasa ibu, seperti bahasa Lampung, makin eksklusif karena bahasa tersebut tidak menjadi bahasa pengantar di dunia pendidikan, ditambah kurang pedulinya orang tua untuk mengajarkan bahasa daerahnya pada anaknya. ?Mungkin ada anggapan bahasa daerah itu kuno dan ketinggalan zaman.?

Hal ini diperkuat dengan kemajemukan masyarakat yang beragam dari berbagai etnis, baik Sunda, Jawa, Semendo, Bali, dan etnis yang lain dalam satu daerah, sehingga untuk berkomunikasi mereka mesti menggunakan bahasa pemersatu yakni bahasa Indonesia.

?Tingkat kemajemukan masyarakat yang tinggi menyebabkan mereka mesti berkomunikasi dengan bahasa pemersatu dan ini menjadikan bahasa daerah kian tersisih,? kata Ridwan.

Sementara Suwandi, warga Tanjungharapan, Kecamatan Kotabumi Selatan, di kediamannya, mengaku ketiga anaknya tidak satu pun ada yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar. ?Kami sekeluarga berkomunikasi di rumah dengan menggunakan bahasa Indonesia.?

Saat ditanya alasannya, dia menjawab khawatir anaknya akan mengalami kesulitan berkomunikasi di lingkungan. ?Lingkungan di sekitar kami menggunakan bahasa Indonesia. Bila kecilnya dibiasakan menggunakan bahasa Lampung, saya takut mereka tersisih di pergaulan,? kata Suwandi.

Ketua Yayasan Pendidikan Puncak Surya Intan (STMIK Surya Intan) Iwan Setiawan menuturkan terkikisnya bahasa ibu sebagai bahasa pergaulan menunjukkan telah terjadi tingkat toleransi masyarakat yang majemuk. Karena itu, muatan lokal yakni pelajaran bahasa daerah mesti mendapat porsi lebih di lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah, sehingga mereka tidak kehilangan identititasnya. ?Tugas pemerintahlah untuk melestarikan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar,? ujar Iwan.

Menyoal mana yang lebih penting antara bahasa ibu, bahasa Indonesia, dan bahasa asing, dia menjawab semua penting. Sebab, bahasa ibu menunjukkan asal masyarakat dan sebagai bahasa pemersatu putra daerah.

Bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar komunikasi bagi semua etnis di Indonesia, sedangkan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, merupakan sarana komunikasi masyarakat secara universal di dunia. "Semua bahasa itu penting bergantung pada penggunaan," ujar dia.

Sementara Kasi Kurikulum Bidang Pendidikan Dasar SD dan SMP Dinas Pendidikan Lampung Utara Abizar mengatakan kurikulum muatan lokal bahasa daerah di Lampura, untuk SD dan SMP selama seminggu hanya diajarkan dua jam.

Menurut dia, jam mengajar bahasa daerah itu mesti ditambah. Paling tidak tiga jam seminggu agar bahasa daerah mendapat jatah porsi lebih banyak. "Dengan bertambahnya jam mengajar, walaupun susah melafalkan, minimal anak-anak tahu bahasa daerahnya sehingga bahasa itu tetap lestari," ujar Abizar. (YUD/D-2)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 12 Desember 2012

No comments:

Post a Comment