April 29, 2012

[Fokus] Bebas Berekspresi di Film ‘Indie’

FILM independen (indie) terus menggelora di Lampung. Kebebasan berekspresi membuat jalur “nonprofit” ini lebih kreatif menggarap tema.

BUAT FILM. Sejumlah siswa SMK Samudera, Bandar Lampung, menggarap film indie berjudul The Anyway Gank yang berlokasi syuting di halaman sekolah tersebut, beberapa waktu lalu. (LAMPUNG POST/DOKUMENTASI)

Ratusan pelajar dan penikmat film berkumpul di lantai III Gedung Pascasarjana IBI Darmajaya, Rabu (25-4). Rungan begitu gelap dan hening. Semua mata tertuju ke depan tempat diputarnya beberapa film pendek. Tepuk tangan langsung hadir dan bergemuruh ketika satu per satu film selesai diputar.
Di ruang itu sedang berlangsung screening yang menjadi bagian dari Festival Film Indie (FFI)  Darmajaya 2012. Perhelatan film pendek yang digelar Darmajaya Computer dan Film Club (DCFC) diadakan setiap tahun sejak 2009. Di 2012 ini ada 33 film yang masuk festival.
Teman film yang masuk beragam, ada action comedy, animasi, dan drama.

Dari tahun ke tahun jumlah peserta festival makin banyak. Di tahun sebelumnya, hanya ada 15 film. Bahkan di tahun awal festival, film yang masuk ke panitia tidak sampai sepuluh film. Ketua Pelaksana Festival Risky Rahman Taufik menilai, banyaknya peserta menunjukkan FFI makin dipandang oleh para pembuat film di Lampung. Makin banyaknya film yang masuk membuktikan bahwa para sineas sudah bermunculan dengan berbagai macam ide.

Peserta yang ikut dalam festival  dedominasi oleh pelajar SMA. Sebagian lagi adalah komunitas-komunitas film dan rumah produksi. Pelajar SMA yang mengirim bukan hanya dari Bandar Lampung, ada beberapa yang dari kabupaten seperti Lampung Utara, Tanggamus, Pesawaran, dan Lampung Selatan.

Dari perhalatan film indie lokal ini ternyata sudah banyak movei maker yang muncul di sekolah-sekolah. Dengan peralatan sederhana dan kemampuan terbatas, mereka memberanikan diri membuat film.

Juri FFI Juperta Panji Utama mengatakan munculnya movie maker di kalangan pelajar ini menunjukkan bahwa sudah banyak tunas-tunas yang punya keinginan dan semangat untuk membuat film. “Hal ini perlu dilihat sebagai sebuah potensi agar mereka terus bisa berkarya dan berkembang menjadi pembuat film yang lebih matang,” kata dia.

Panji menilai, film yang masuk dalam FFI sudah cukup baik. Ada beberapa film yang memiliki ide yang kreatif. Namun, perlu ada sentuhan-sentuhan lagi supaya bisa menjadi film yang lebih berkarakter.

Dia mencontohkan sebuah film pelajar SMA yang bercerita tentang dunia pendidikan, seperti ujian nasional. Ide cerita menarik. Pembuat film pun bisa memadukan tokoh menjadi hidup. Sejak awal film dimulai, sudah enak dan menarik. Namun, pada bagian  akhir tidak begitu bagus.
“Artinya sudah ada ide kreatif yang muncul tapi perlu ada sentuhan lain yang ditambahkan supaya film lebih menempel kuat pada penonton,” kata dia.

Danar Yudhistira, yang bergiat di Multiedia Photografy (MP) Film SMAN 7 Bandar Lampung, menilai, tema film dalam FFI tahun 2012 sudah lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Tema tahun ini sudah keluar dari tema mainstream yang ada, seperti percintaan, broken home, dan
narkoba. Bahkan peserta sudah berani mengambil tema soal nasionalisme.

“Tema film indie memang harus berbeda dengan film yang ada. Film indie perlu menyampaikan pesan yang bisa menempel kuat di pikiran penonton,” kata Danar yang pernah memenangi FFI tahun 2011.
Panji mengungkapkan banyaknya pelajar dan komunitas film yang muncul dan terus berkarya harus menjadi pemikiran bersama para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah dan Dewan Kesenian Lampung (DKL). Potensi pelajar ini perlu terus diasah dan dibimbing untuk meningkatkan kualitas dan bisa berkarya dengan baik.

“Dari merekalah nanti akan muncul para pembuat film yang akan mengharumkan nama Lampung,” kata dia.
Film yang menjadi bagian dari industri kreatif perlu terus dikembangkan di Lampung. Menurutnya, Lampung juga punya potensi untuk mengembangkan kreatif film, bukan hanya usaha kecil menengah (UKM) saja.
Ketua Komite Film DKL Dede Safara Wijaya pun menilai kualitas pembuat film indie yang ada di Lampung saat ini sudah cukup baik. Namun, harus perlu dimatangkan kembali, mulai dari praproduksi hingga setelah produksi. “Saya nilai pelajar dan pembuat film indie masih sangat lemah dalam hal praproduksi,” kata dia.
Dia mencontohkan ada satu film dalam FFI yang cukup bagus di awal. Tapi jelek saat ending. “Kenapa di akhir film malah membuat penonton jadi antiklimaks. Seharusnya ending-nya jauh lebih enak dan membekas di kepala penikmat film. Jadi setelah nonton, langsung ‘dek’ nempel di kepala,” kata dia, saat ditemui usai melihat screening film FFI. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 April 2012

No comments:

Post a Comment