June 10, 2012

Absurditas dalam Realitas yang Belum Tuntas

Oleh Sahlan Mujtaba


TEATER Satu kembali akan berlakon di Komunitas Salihara. Kali ini, Teater Satu akan mementaskan Anak yang Dikuburkan karya Sam Shepard dalam Festival Naskah Terjemahan, 22-23 Juni nanti. Sebelu dipentaskan di Jakarta, lakon yang cukup populer di Amerika ini telah mereka mainkan di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), 22 Mei lalu.


‘ANAK YANG TERKUBUR’. Teater Satu yang mementaskan Anak yang Terkubur karya Sam Shepard di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Selasa (22-5). Lakon yang disutradarai Iswadi Pratama ini mengisahkan proses pemiskinan keluarga petani karena industrialisasi dan penguasaan asing. (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)

Anak yang Dikuburkan (Buried Child) adalah lakon Sam Shepard, penulis terkemuka Amerika, yang ditulis pada 1979. Tahun itu merujuk pada diakronis perkembangan industrialisasi di Amerika. Peristiwa yang bersifat kausalitas dalam memengaruhi pelbagai kehidupan masyarakatnya. Rizom industri kian masif merepresi ke pelbagai sendi-sendi kehidupan manusia. Materialisme menjadi orientasi radikal manusia tanpa perlu mengacuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia terlampau disederhanakan sebagai "mesin", "sekrup" atau "materi" yang tak memiliki perasaan serta pikiran. Barangkali femomena itu menjadi mozaik kepingan-kepingan teks yang dipungut Sam Shepard atas kelahiran Anak yang Dikuburkan.

Lakon Anak yang Dikuburkan terjemahan Dian Ardiansyah dan Ami Risalatun yang dipentaskan Teater Satu, 22 Mei lalu telah mengalami proses adaptasi. Sutradara Iswadi Pratama melakukan modifikasi struktur dan konteks sehingga mengalami reduksi serta habituasi konteks ke dalam persoalan masyarakat Lampung; secara sadar ia berusaha menampilkan biodrama satir eksistensialisme manusia yang menginternalisasi teks (hasil adaptasi) ke dalam tekstur (panggung), seperti yang diyakininya bahwa embarkasi wacana-wacana Sam Shepard selalu bertolak dari pertanyaan-pertanyaan tentang makna keber-Ada-an manusia. Wacana industrialisasi hanya menjadi latar peristiwa, tidak dikupas lebih jauh.

Tokoh-tokoh di dalam lakon Anak yang Dikuburkan memiliki impresi pada pelbagai pilihan hidup. Pilihan hidup secara personal dalam kebebasan tampak pada tokoh Dogi atau Alfian (Budi Laksana), pilihan hidup pada orientasi materialisme tampak pada tokoh Hedar atau Heli (Ruth Marini), pilihan hidup terhadap pencarian identitas, akar atau sumber tampak pada tokoh Iben (M. Gandhi Maulana), dan konsistensi "kesakitan" yang mesti dijalani Thea (Desi Susanti) dan Bahnan (Baysa Deni).

Nuansa absurditas sangat kental dalam lakon Anak yang Dikuburkan. Sebuah keluarga dengan segala kehancuran hidupnya seolah-olah mempertanyakan "apakah hidup ini pantas untuk dijalani?" Penderitaan yang bersifat komplementer dalam kemiskinan sangat akrab digeluti keluarga ini, seperti; Dogi yang lumpuh, Thea yang sakit mental, dan Bahnan yang cacat kakinya tidak bisa mereka obati karena keterbatasan materi.

Absurditas semakin tegas ketika pelbagai peristiwa memunculkan enigma-enigma tidak terduga, seperti: Thea membawa beberapa jagung yang diakuinya hasil memetik dari kebun jagung di belakang rumah padahal lahan pertanian sudah jelas tak bersisa lalu ia sering mendengar suara-suara aneh dari arah kebun itu, perdebatan Dogi dengan Heli tentang pembicaraan anak hasil darah dagingnya (anaknya yang mana?), pengakuan Thea tentang pembunuhan seorang anak yang dilakukan Dogi (anak siapa?), lalu kedatangan sosok misterius, Iben, yang mengaku anak atau cucu. Enigma-enigma itu hadir bertumpuk dan berserakan di pelbagai peristiwa sehingga mengafirmasi pada suatu kehidupan yang absurd.

Strategi untuk memecah absurditas itu disiasati dengan cerdik oleh Iswadi Pratama dengan gaya realisme yang bertendensi ke arah transendental. Konsep realisme membantu untuk mengungkapkan realitias objektif ke atas panggung sehingga muncul gambaran keseharian yang wajar. Segala "kesakitan" yang terjadi dalam keluarga tidak ditampilkan dengan ketragisan yang berlebihan melainkan dengan segala kewajaran dalam realitas sehari-hari sehingga ketragisan itu justru mencapai titik kulminasi absurditas.

Senada dengan Albert Camus (1999: 164), sebuah karya absurd dapat dikenali melalui kontradiksi tragedi dengan rohani pikiran dan wujud konkretnya; antara jiwa yang tak kenal batas dan kegembiraan jasmani yang fana. Karya absurd menjadi punya kekuatan jika ditampilkan kontras-kontras sejajar antara keduanya dan membaurkan bentuk ketragisan inheren dengan yang logis dalam keseharian.

Sedangkan pengucapan bahasa rupa, unsur-unsur transendental tampak diafirmasi oleh artistik panggung dengan visual pohon jagung kering yang mengelilingi rumah. Jagung itu menjadi personifikasi dan simbol yang mengandung keluasan makna; benih masa depan yang telah ranggas, romantisme kesuburan yang terenggut mesin-mesin, atau apapun. Bentuk ungkap transedental berguna untuk menggambarkan fenomena nyata yang tidak teramati pada tingkat kognitif. Pelukis Ari Susiwa Manangisi berhasil mengkonstruksi sebuah rumah dengan kesederhanaan dan kewajaran. Namun, penciptaan ruang itu terlampau indah, bersih dan rapih sehingga menegasikan kemiskinan, penderitaan, dan "kesakitan" sebuah keluarga.

Terlepas dari itu penataan ruang tertata sangat baik, di sebelah kiri atas panggung tampak sebuah ruangan menjulang kokoh seperti mengagresi dan mengekspansi ruang lainnya. Ruang itu adalah ruang privasi Heli yang berperan sebagai pembuka gerbang konflik, segala penderitaan yang mempunyai hubungan erat dengan masa lalunya.

Secara keseluruhan lakon ini lezat untuk diapresiasi. Panggung menghidangkan konfigurasi variasi ketragisan yang dapat menyeret pada keharuan, kelucuan, kesedihan dan kegetiran. Keterampilan akting sudah dilampaui dengan baik oleh aktor-aktornya.

Walaupun dunia ini absurd, hidup tetaplah berarti. Harapan menjadi satu-satunya alasan manusia untuk tetap hidup, seperti dalam dialog penutup, Hedar mengucapkannya dengan lirih "Hujan lebat yang indah. Memberi tunas-tunas kecil. Tunas kecil yang putih menyembul di permukaan tanah." Tabik!

Sahlan Mujtaba, sutradara dan aktor dari Bandung. Saat ini tengah magang manajemen di Teater Satu dalam Program Magang Nusantara Yayasan Kelola.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Juni 2012

No comments:

Post a Comment