May 20, 2012

[Buku] Agar Tidak Memahami Hukum secara Sempit

Data buku


Progresivitas Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Menegakkan Keadilan Substantif. Sugeng Dwiono. Indepth Publishing, Bandar Lampung, Mei 2012. xv + 80 hlm.


HUKUM memang identik dengan keadilan. Namun, sering hukum dirasakan tidak adil. Ketika maling ayam bisa dihukum dengan mudah, sementara koruptor tidak tersentuh hukum, maka hal itu dinilai tidak adil. Terlebih, penegak hukum yang mengusut perkaranya diketahui menerima suap. Makin lengkaplah ketidakpercayaan kita terhadap hukum.

Berbicara masalah keadilan memang mudah diucapkan, namun sangat sulit untuk dilaksanakan. Apalagi, dapat dirasakan dan diterima seluruh lapisan masyarakat. Seolah-olah apa yang dibilang orang bahwa hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas ada benarnya.

Istilah itu biasanya menimpa orang-orang kecil. Misalnya, kasus Nenek Minah yang mengambil tiga buah kakao atau seorang ibu yang memetik daun singkong di kebun orang lain. Sang hakim menjatuhkan vonis karena menilai keduanya melanggar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Perbuatan mereka dipandang memenuhi unsur-unsur tindak pidana pencurian dalam KUHP. Dengan kata lain, tindakan yang mereka lakukan sesuai dalam undang-undang (UU). Dalam hal ini, hukum dipandang secara sempit.

Artinya, penegak hukum hanya berpatokan pada prosedur hukum formal. Hakim tak lebih dari corong suatu UU. Di sini, penegak hukum semata-mata mengejar kebenaran prosedur. Mereka tidak peduli apakah kebenaran prosedur itu telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Padahal, hukum tidak berdiri sendiri. Artinya, proses hukum mempunyai konsekuensi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Selain itu, esensi keadilan adalah memberikan manfaat bagi hubungan manusia.

Buku ini mengajak kita supaya tidak memahami hukum secara sempit. Sang penulis, Sugeng Dwiono, membahas kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberi contoh dalam memahami hukum secara luas. MK sebagai lembaga yang dibentuk untuk menjaga konstitusi telah banyak melakukan terobosan yang menyedot perhatian publik. MK, misalnya, berani memutar rekaman pembicaraan antara Anggoro dengan oknum penegak hukum dalam dugaan rekayasa kasus Bibit Slamet Riyanto dan Candra Hamzah, keduanya waktu itu menjabat sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Terobosan MK lainnya, mengizinkan warga yang belum terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) dan paspor untuk memberikan hak pilihnya pada Pemilu 2009. Dalam konteks ini, hakim MK mencari, menggali, dan menemukan hukum. Lembaga peradilan yang dibentuk pada 2003 itu tidak hanya bergerak dalam kebenaran prosedur, tapi berusaha memenuhi keadilan substantif.

Munculnya keinginan untuk mewujudkan keadilan substantif karena adanya kekakuan-kekakuan dalam sistem hukum modern yang memiliki ciri-ciri mengutamakan kepastian, prosedural, dan melindungi hak asasi manusia (HAM). Sehingga, secara tidak langsung keadilan hanya berdasarkan konsep hukum positif, yakni hanya mengedepankan kepastian dan kebenaran prosedural.

Selain kewenangan MK, buku ini pun membahas penemuan hukum oleh hakim. Dalam upaya menemukan hukum, para hakim dituntut merespons kehendak masyarakat, yakni terciptanya keadilan sebagai tujuan hukum. Keadilan yang dimaksud yaitu mengembalikan hakikatnya hukum itu bukan hanya sekadar mengatur manusia, melainkan hukum untuk manusia. Dengan demikian, dibutuhkan para hakim yang berani dan progresif, bukan semata-mata berdasarkan pada teks UU.

Karakter hukum progresif sendiri menghendaki kehadiran hukum terkait dengan pemberdayaan sebagai tujuan sosialnya. Sedangkan salah satu persoalan krusial dalam hubungan-hubungan sosial adalah keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang menindas, baik secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan demikian, hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang membebaskan.

Sebab itu, penulis buku ini berusaha mengembalikan filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Artinya, hukum bertugas melayani manusia, bukan menusia melayani hukum. Sebab, hukum bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.

Adapun masyarakat sebagai objek dari penerapan hukum harus memperoleh kemanfaatan dari pemberlakuan hukum. Dengan begitu, hukum tidak represif. Dalam tipe tatanan hukum represif, hukum dipandang sebagai abdi kekuasaan yang memiliki kewenangan diskresionir tanpa batas. Sedangkan dalam tipe hukum represif, hukum negara dan politik tidak terpisahkan. Artinya, aspek instrumental dari hukum lebih dominan dan menonjol dibandingkan akspek ekspresifnya.

Buku ini juga memaparkan hubungan antara hukum dan kekuasaan. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, pemerintahan Indonesia awalnya berjalan secara demokratis, aspiratif, dan baik. Namun, seiring perjalanan waktu, pemerintahan tersebut berubah menjadi otoriter bahkan cenderung korup. Hukum tidak lagi menjadi panglima keadilan dan menegakkan kebenaran. Lebih dari itu, penguasa menjadikan hukum sebagai alat kekuasaannya.

Buku setebal 80 halaman ini semakin lengkap karena membahas perkembangan tradisi negara hukum. Sang penulisnya menjelaskan sistem hukum masing-masing negara termasuk sistem hukum yang diterapkan Indonesia. Dengan begitu, pembaca akan mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai sistem hukum dibelahan negara lain. Buku ini layak dibaca mahasiswa, advokat, dan jurnalis yang biasa meliput persoalan hukum dan ketatanegaraan.

Hendry Sihaloho, pembaca buku, alumnus Fakultas Hukum Unila

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Mei 2012

No comments:

Post a Comment