January 26, 2008

Opini: Ramalan Raffles dan Du Bus

-- Sri-Edi Swasono*

PADA awal abad ke-20 masalah kepadatan penduduk Pulau Jawa bukanlah hal yang baru, yang telah dikaitkan dengan kelaparan dan kemelaratan. Pada tahun 1815 gejala kelebihan penduduk (over population) Pulau Jawa telah disinggung oleh Gubernur Jenderal Inggris di Jawa, Thomas Stamford Raffles (1781-1826), dalam bukunya yang terkenal The History of Java, Vol I, hal 68-72.

Raffles mulai melihat pulau-pulau lain yang langka penduduknya. Dikatakannya, tanah yang subur sekali, perkawinan usia muda, poligami, usia lanjut, daerah pertanian yang sehat, dan lebih suka damai daripada perang merupakan unsur-unsur pendorong pertumbuhan penduduk Pulau Jawa. Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies pada tahun 1827 (Rapport van de Commisaries-General over het Stelsel van Kolonisatie, 1827, hal 48) telah pula mencemaskan kelebihan penduduk Pulau Jawa. Du Bus memperkirakan bahwa suatu ketika seluruh tanah Jawa akan penuh manusia berimpit-impitan. Pada tahun 1815 penduduk Pulau Jawa sebanyak 4.615.270 orang (Raffles, op. cit., hal 63).

Ide ”kolonisasi” bermula dari keyakinan tentang adanya kelebihan penduduk Pulau Jawa ini, maka pada tahun 1905 mulailah diberangkatkan pertama kalinya 155 kepala keluarga asal Jawa (Kedu) ke Gedong Tataan, Lampung, dalam rangka ”kolonisasi” (sekarang dengan nama ”transmigrasi”). Ada terdengar pula alasan menyiapkan kuli murah untuk Sumatera Utara setelah UU Agraria 1870.

Perkembangan penduduk Pulau Jawa adalah 34,4 juta (1920), 41,7 juta (1930), 48,4 juta (1940) dan 60 juta (1950, dibulatkan). Sekarang penduduk Pulau Jawa sekitar 132 juta atau sebesar 60 persen penduduk Indonesia meskipun luas Pulau Jawa hanya 6,95 persen dari luas areal Indonesia. Kepadatan penduduk Pulau Jawa 1.020 orang per kilometer persegi, berarti hampir 10 kali dari rata-rata kepadatan nasional sebesar 120 orang per kilometer persegi. Kelebihan pendudukkah Pulau Jawa? Jawabannya tegas, ya! (Betapapun batasannya relatif).

Transmigrasi


Sejak awal kemerdekaan dalam Konferensi Ekonomi di Yogyakarta (3 Februari 1946), Wakil Presiden RI menegaskan bahwa ”transmigrasi bagi Indonesia merupakan keharusan di dalam pembangunan nasional, transmigrasi merupakan kewajiban kita membangun Indonesia”.

Tentulah menarik sekali menyimak pendapat Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tepat bahwa banjir dan tanah longsor di Jawa Tengah dan Jawa Timur perlu diberi jalan keluar melalui transmigrasi.

Pendapat Wakil Presiden ini dapat kita benarkan mengingat musibah tahunan ini akan terjadi terus-menerus sampai kita bisa mengatasi kerusakan lingkungan yang sangat parah, yaitu hilangnya hutan dan pepohonan di bantaran sungai-sungai, di pegunungan dan gunung-gunung, bendungan yang rawan jebol, tak terkendalinya alih fungsi lereng-lereng pegunungan menjadi pertanian pangan subsistan, disertai perubahan iklim yang memperparah keadaan.

Malapetaka alam yang terjadi sekali-kali dan tidak terduga adalah malapetaka yang harus diatasi bersama oleh pemerintah dan masyarakat berdasar rasa bersama sebagai wujud tanggung jawab sosial, kesetiakawanan, dan ukhuwah nasional kita. Namun, malapetaka yang rutin, sangat me- ngenaskan, yang pasti terjadi setiap tahun, adalah suatu beban yang melelahkan dan membosankan, sekaligus merupakan beban sosial dan beban anggaran negara.

Perbaikan lingkungan yang memakan waktu lama tidak bisa dilakukan selama penduduk masih tetap tinggal di lokasi-lokasi rawan bencana, hidup berimpit-impitan di bantaran sungai, di DAS, di lereng- lereng, bahkan akan tetap merambahi hutan tipis yang tersisa. Kerusakan lingkungan bahkan akan berlanjut karena pertambahan penduduk, bobot over population terus meningkat. Terobosan harus dicari. Maka, relokasi melalui transmigrasi sebagaimana disarankan Wapres menjadi alternatif solusi yang menjanjikan.

Tidak boleh gagal


Transmigrasi Indonesia sudah lama melepaskan paham demografi-sentris, bukan karena over population-nya Raffles dan Du Bus mengandung makna relatif, melainkan karena kenyataan riil bahwa transmigrasi tidak akan bisa mengurangi kepadatan penduduk Pulau Jawa, atau bahkan tidak mampu memindahkan penduduk sejumlah pertambahan penduduknya per tahun antara 2 juta orang. Catatan saya menunjukkan bahwa antara 10 windu transmigrasi (1905-1985) hanya 3,7 juta penduduk dapat dipindahkan, itu pun 2,9 juta berasal dari zaman Orde Baru yang sangat intensif menyelenggarakan program transmigrasi. Sementara itu, makin banyak penduduk dari luar Pulau Jawa masuk ke Pulau Jawa. Bagi Pulau Jawa, pembatasan kelahiran tidak boleh gagal.

Oleh karena itu, transmigrasi harus dilakukan secara selektif, antara lain dilakukan dari daerah-daerah pengirim yang memiliki urgensi kritis, seperti daerah- daerah yang rawan bencana alam, tanpa mengabaikan syarat-syarat baku yang dituntut untuk keberhasilan suatu proyek transmigrasi.

Keberhasilan proyek transmigrasi, baik untuk transmigran pendatang maupun rakyat di daerah penerima, memerlukan persiapan matang. Calon transmigran harus disiapkan sebagai agent of development. Melalui transmigrasi direncanakan dan diciptakan keunggulan komparatif baru di daerah-daerah penerima.

Barangkali kita perlu mentransformasi perkataan transmigrasi dari arti suatu proses kegiatan (noun) menjadi kata kerja (verb) yang artikulatif-aktif. Transmigrasi adalah upaya membangun daerah, suatu perantauan untuk berkarya, satu ”rantau bangun”. Jangan sampai transmigrasi menjadi sosok poverty trap. Target transmigrasi bukan lagi sekian KK (kepala keluarga), melainkan sekian hektar kebun sawit, sekian ton ikan tangkapan, sekian hektar tambak, sekian ton karet, dan seterusnya.

Depnakertrans saat ini memiliki program KTM (Kota Terpadu Mandiri) sebagai model penyelenggaraan transmigrasi yang lebih menjamin keberhasilan transmigrasi dan menyejahterakan transmigran dan rakyat sekitar. Kita mengharap KTM bisa memberikan ”nilai-tambah ekonomi” dan ”nilai-tambah sosial-kultural” kepada para transmigran dan rakyat setempat agar meningkatkan harkat martabat mereka. Rakyat dalam kemelaratan dan kesengsaraan berkepanjangan akan merupakan beban (bukan aset) pembangunan.

* Sri-Edi Swasono, Guru Besar Ekonomi UI

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Januari 2008

No comments:

Post a Comment