January 2, 2008

Wisata: Menikmati Indahnya Danau Ranau

-- Oyos Saroso H.N.*

10 DESEMBER 2007. Hari merambat malam. Gerimis rinai yang turun selepas magrib belum juga berhenti. Kami harus memutuskan untuk memilih tempat menginap. Kami harus menyimpan energi karena esok harinya masih harus mendatangi beberapa tempat di Lampung Barat untuk liputan.


“Saya tak mau lagi menginap di ‘hotel hantu’! Mumpung sudah sampai di Liwa, besok kita harus ke Danau Ranau,” ujar saya kepada beberapa rekan saya—semuanya jurnalis—begitu kami keluar dari rumah dinas Wakil Bupati Lampung Barat.

Malam itu, kami memang habis bertemu dengan Mukhlis Basri, Bupati Lampung Barat yang siang harinya baru saja dilantik oleh Gubernur Sjachroedin Z.P. Malam sebelumnya, ketika datang ke Liwa untuk menghadiri acara pelantikan bupati, kami menginap di sebuah hotel yang menurut saya lebih pas disebut losmen. Bangunannya tua. Pintu kamar mandi berlubang. Tempat tidurnya berdebu. Lantai warna putih yang sudah berubah kusam itu pun terasa kalau tidak disapu.

Kami terpaksa menginap di “hotel” itu karena dini hari baru sampai Liwa dengan kondisi lelah dan mengantuk. Saya sulit tidur karena selalu diganggu mimpi buruk. Makanya, saya sebut tempat penginapan itu sebagai “hotel hantu”. Saya tak bisa membayangkan jika ada wisatawan asing menginap di hotel itu.

Juwendra Asdiansyah, jurnalis koran Sindo menolak keras usulan saya agar esok hari berangkat ke Danau Ranau. Alasannya, selain dia pernah ke Danau Ranau, tempat wisata itu arahnya bertolak belakang dengan tujuan liputan yang kami rencanakan esok harinya. “Besok kita akan ke Pantai Krui dan melihat penangkaran penyu di daerah Biha. Kalau ke Ranau dulu kita akan kemalaman di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan,” kata Juwendra.

Untunglah tawaran ”cerdas” datang dari Basuki Rahmat, staf Humas Pemda Lampung Barat. ”Bagaimana kalau menginap di hotel dekat Danau Ranau. Besok jam 09.00 WIB sudah bisa berangkat ke Kru dan Biha,” ujarnya.

Saya berteriak dalam hati. Bukan saja karena malam itu akan terbebas dari mimpi buruk dan godaan hantu, tetapi lantaran akan bisa mewujudkan mimpi lama: menikmati indahnya Danau Ranau.Selama ini saya baru menikmati indahnya Danau Ranau dari cerita teman-teman dan beritaa yang saya baca di koran atau tayangan yang saya lihat di layar kaca.

Setelah pamitan dengan Basuki, malam itu kami bertujuh meluncur ke Pekon Lombok, Kecamatan Sukau. Kepala saya sudah terasa pusing. Hujan yang megguyur sebagain besar wilayah Lampung Barat membuat saya harus merapatkan jaket ke tubuh. Saya tak bisa menikmati perjalanan karena malam pekat. Yang pasti, mobil yang membawa kami melintasi jalan yang berkelak-kelok. Rasanya seperti menuku Puncak, Jawa Barat. Perjalanan sangat lancar karena jalan raya Liwa—Sukau kini diperlebar dan mulus.

Kurang dari satu jam kami sudah sampai di Hotel Seminung Lumbok Resort. Lampu hanya berpendar di sekitar areal hotel sehingga kami tidak bisa melihat indahnya Danau Ranau dan Gunung Seminung. Rasa penasaran saya simpan di hati.

”Besok kita harus jalan-jalan dan mandi di danau,” ujar Budisantoso Budiman, jurnalis kantor berita LKBN Antara.

Saya mengiyakan. Malam itu, saya bisa tidur nyenyak tanpa dihantui mimpi buruk.

Setelah salat subuh, saya dan Budi menikmati dingin kabut menuju tepi Danau Ranau. Kami menyusuri jalan menurun. Dari kejauhan tampak gugusan bukit berbalut kabut. Gugusan bukit nan biru itu seolah sabuk yang melingkari pinggang Danau Ranau.

Dua nelayan dengan perahu kecil tampak hilir mudik di danau. Beberapa burung terbang. Sesekali turun rendah dan menjejakkan kakinya ke air danau, lalu terbang lagi.

Sejauh mata memandang, yang tampak adalah bentangan warna biru dan sedikit saputan kabut putih. Saya jadi teringat Danau Rawapening di Ambarawa, Jawa Tengah. Tidak. Rawapening tak seindah Danau Ranau. Rawapening yang berbalut kisah legenda itu dipenuhi enceng gondok sehingga perahu sulit berjalan. Sementara Danau Ranau sangat bersih. Asri.

Di sebelah kanan gazebo di pinggiran danau tampak beberapa karamba ikan tawar. Ada dua karamba apung dan puluhan karamba tancap di sana. ”Sebagian sudah mulai berproduksi. Rumah mertua saya juga ada di sekitar situ,” kata Hendri Rosadi, jurnalis Lampung Post.

Jenis ikan yang kini banyak dibesarkan di dalam karamba adalah ikan emas dan nila. Ikan itu bisa dipanen jika sudah berusia 4 bulan. Namun,di luar karamba--maksudnya di seantero danau--ikan mujair menjadi "komunitas" terbanyak.

Sebenarnya rasa penasaran saya terhadap Danau Ranau tidak semata-mata karena keelokannya, tetapi juga karena cerita-cerita di baliknya. Beberapa teman dari Sumatera Selatan dan Lampung sering bercerita bahwa danau itu dipenuhi kisah legenda. Yang paling terkenal adalah Legenda Pohon Ara dan Si Pahit Lidah.

Konon sebagian besar masyarakat sekitar danau itu percaya danau ini berasal dari pohon ara. Pada zaman dulu di tengah-tengah Danau Ranau tumbuh pohon ara warna hitam yang sangat besar.

Pada suatu masa warag di daerah Ogan, Krui, Libahhaji, Muaradua, Komering kesulitan air. Mereka lalu berduyun-duyun mendatangi pohon ara itu sambil membawa aneka makanan. Mereka mendapatkan kabar akan bisa mendapatkan air jika menebang pohon ara itu. Namun, ketika akan menebang pohon ara mereka kebingunan karena tidak punya alat. Saat itulah datang seekor burung.

Burung yang bertengger di pucuk pohon ara itu bisa bicara. Burung itu mengatakan bahwa pohon tersebut bisa ditebang dengan alat yang bentuknya mirip kaki manusia. Warga pun membuat alat menggunakan batu bergagang kayu untuk memotong kayu ara raksasa itu. Pohon ara itu tumbang. Keanehan pun terjadi: dari lubang bekas pohon mengucur air dengan deras hingga menggenangi kawasan rendah itu. Akhirnya terbentuklah danau yang kini dikenal sebagai Danau Ranau.

Pohon ara yang tumbang dan melintang itu konon menjadi Gunung Seminung. Hal itu membuat jin yang tinggal di Gunung Pesagi marah . Jin itu pun meludah ke danau. Jadilah bekas ludahan jin air panas. Makanya, di sekitar Danau Ranau kini ada air panas yang juga menjadi obyek wisata pemandaian air panas. Wallahu ’alam.

Terlepas dari legenda itu, Danau Ranau, sabuk bebukitan yang mengelinginya, dan naungan Gunung Seminung sering berselimut kabut kini menyebar pesona bagi siapa saja yang mengunjunginya. Pengunjung bisa berlayar dengan perahu sewaan sambil menikmati indahnya alam.

Bila kawasan wisata itu benar-benar bisa berkembang, tentu akan mendatangkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Persis seperti kisah berkah kayu ara raksasa yang ditumbangkan untuk mendapatkan air bagi kehidupan.

* Oyos Saroso HN., jurnalis The Jakarta Post

Sumber: Taman Sastra dan Jurnalisme, Senin, 31 Desember 2007

1 comment: