December 18, 2010

[Tanah Air] Dulu Dianggap Hama, Kini Jadi Maskot

Oleh Yulvianus Harjono

BERKAT luwak, nama kota Liwa mendunia. Hewan sejenis musang itu pun kemudian dijadikan maskot daerah. Gambarnya bertaburan di pakaian batik berwarna merah yang wajib dikenakan para pegawai negeri sipil di Lampung Barat setiap Jumat.

Kemasan kopi luwak rumahan yang dihasilkan Sukardi dengan merek Kupi Musong Liwa di Way Mengaku, Liwa, Lampung Barat, Lampung, Jumat (10/12). Perajin kopi luwak di Way Mengaku umumnya menyatakan masih kesulitan mendapatkan paten. (KOMPAS/LASTI KURNIA)

Tak disangka-sangka, keberadaan luwak secara alamiah itu akhirnya menjadi begitu berarti. Padahal, selama ini masyarakat Lampung Barat dan petani kopi di Liwa khususnya menganggap binatang tersebut sebagai hama.

Selain sering memakan kopi di kebun, luwak-luwak liar kerap masuk ke perkampungan dan mencuri ayam milik warga. Kebun-kebun pisang, pepaya, dan kakao pun tak luput dari hewan omnivora, pemangsa berbagai macam makanan—baik daging maupun buah-buahan—itu.

”Dulu, luwak banyak dibunuh. Biasanya pakai Timex, racun babi,” cerita Gunawan Supriadi (41), pengusaha kopi luwak di Way Mengaku, Liwa, Lampung Barat, yang dihubungi pada pekan lalu.

Empat tahun terakhir, seiring menggeliatnya industri kopi luwak rumah tangga di Liwa, hewan penghasil kopi enak itu pun mendadak jadi populer dan diburu. Seekor luwak jenis musang bulan kini bisa dihargai Rp 500.000. Untuk jenis yang mulai langka, yaitu luwak binturung atau sering disebut musang pandan, harganya mencapai Rp 1 juta per ekor.

Itulah sebabnya sekarang luwak liar semakin jarang ditemui di Lampung Barat. ”Saya juga sudah jarang menemui kotoran luwak di kebun-kebun,” ujar Burzan Barnau (45), petani kopi di Lombok Seminung, Lampung Barat. Padahal, tambahnya, pada masa-masa kecilnya dulu, luwak dan kotorannya sering dijumpai di kebun-kebun kopi.

Wartawan

Berkembangnya kopi luwak Liwa berawal dari kedatangan sejumlah wartawan televisi asing dari Hongkong tiga tahun lalu. ”Mereka datang ke sini untuk mencari kopi luwak hutan. Dari situ, lalu saya tahu bahwa (kopi luwak) ternyata dicari dan harganya mahal,” ujar Sukardi, ketua kelompok perajin kopi luwak Pesagi Mandiri.

Sejak itu pula Sukardi mengaku mulai menekuni bisnis kopi luwak. Ia pun kemudian mencari hewan tersebut untuk dipelihara. Kini sudah ratusan luwak yang dimilikinya di Way Mengaku, Liwa.

Di Way Mengaku, industri kopi luwak tidak didominasi perusahaan nasional atau pemilik modal kuat. Mulai dari hulu ke hilir, industri tersebut digerakkan warga setempat dalam skala rumah tangga.

Gang Pekonan di Way Mengaku, misalnya, merupakan salah satu ”perkampungan” kopi luwak. Di kawasan ini terdapat sedikitnya sepuluh perajin. Beberapa di antaranya bahkan sudah memiliki merek dagang dan memasarkan produksinya masing-masing.

Saat ini, di Way Mengaku sedikitnya tercatat empat merek dagang kopi luwak, yaitu Kupi Musong Liwa, Raja Luwak, Ratu Luwak, dan Duta Luwak.

Beralih profesi

Begitu menariknya kopi luwak, berapa warga yang dulunya petani belakangan ini beralih profesi menjadi pebisnis kopi luwak. Sapri (39), misalnya, mengaku meninggalkan pekerjaan bertani sayuran sejak dua tahun lalu. Pekarangan rumahnya kini dihiasi 25 kandang luwak.

Meskipun usahanya masih terkendala pemasaran yang belum stabil, melalui usaha barunya tersebut Sapri sudah memiliki satu mobil Daihatsu Luxio terbaru untuk operasional bisnisnya.

Menurut Gunawan Supriadi, keterbatasan modal hingga kini masih merupakan kendala utama perajin kopi luwak di Way Mengaku. ”Biaya operasionalnya (termasuk pemeliharaan luwak) tinggi sekali, mencapai Rp 1,6 juta per bulan per ekor. Sementara permintaan belum rutin. Tidak sedikit perajin yang gulung tikar karena tidak mampu memutar modal,” katanya.

Masalah lainnya, tambah Sukardi, kopi luwak palsu juga banyak beredar di Indonesia. Di Kota Bandung, Jawa Barat, misalnya, ada sejumlah produsen yang menghasilkan kopi ”mirip” kopi luwak. ”Aromanya juga tajam (seperti kopi luwak), tapi didapatkan dari proses non-alamiah. Itu menggunakan esens, dari bahan kimia. Rasanya sekilas mirip,” ujarnya.

Persoalan tak hanya berhenti di situ. Perajin juga pernah terganjal isu fatwa haram terkait produksi kopi luwak mereka meski akhirnya fatwa itu ditarik. Selain itu, pengajuan hak paten juga dirasakan sangat mahal, mencapai belasan juta rupiah.

Dikendalikan

Harga jual kopi luwak saat ini cukup beragam. Jika dari Liwa para broker atau perantara, termasuk eksportir, bisa membelinya paling mahal Rp 600.000 per kg (bubuk), di kota-kota besar mereka bisa menjualnya hingga Rp 1,5 juta per kg.

Karena itu, tak perlu heran jika di Jakarta, misalnya, secangkir kopi luwak dijual hingga Rp 100.000. Berbeda dengan di Liwa, yang umumnya hanya Rp 15.000 per cangkir.

Di Liwa, tak sedikit perajin yang menjual produksinya secara eceran demi bertahan memutar modal. Kopi luwak mereka kemas dalam sachet-sachet berukuran 10 gram, lalu dijual dengan harga Rp 10.000.

Di daerah itu penyajian kopi luwak (dalam bentuk es) juga kadang dicampur dengan susu atau duren. Kopi ”modifikasi” ini, menurut produksi kopi luwak Ny Sapri, biasanya dipasarkan pada bulan Ramadhan. ”Secangkir kopi luwak aneka rasa dijual Rp 20.000-Rp 30.000,” paparnya.

Bisa dibilang, industri rumah tangga kopi luwak tidak hanya membawa rezeki bagi produsennya, tetapi juga menjadi roda penggerak baru ekonomi di Way Mengaku. Tak sedikit tenaga kerja yang terserap di sektor ini.

Di tengah kondisi terus merosotnya harga kopi di Tanah Air akibat gempuran kopi asal Vietnam dan Brasil, petani kopi di Liwa sepatutnya terus bergairah dan optimistis terhadap kopi luwak. Sebab, buah itu tidak hanya memberi nilai tambah, tetapi juga mampu mengharumkan nama daerah, bahkan negeri ini, di dunia internasional berkat kekhasannya.

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Desember 2010

No comments:

Post a Comment