April 6, 2008

Khazanah: Kebudayaan Lampung Beban bagi Masyarakat

-- Budi P Hatees*

ADA banyak fakta yang bisa dikedepankan untuk menyimpulkan bahwa masyarakat Lampung (ulun Lampung) bersama kebudayaan warisan leluhur budayanya berada pada masa transisi dari kejatuhannya sebagai penata kebudayaan nasional.

Citra kebudayaan Lampung memperlihatkan sosoknya yang paling ironis karena para penganutnya merasa tidak nyaman dengan identitas yang mereka sandang, dan karenanya identitas kebudayaan daerah yang satu ini tidak lagi terjaga dan terpelihara. Dengan begitu, keberlangsungan hidup kebudayaan ini sangat diragukan, apalagi para penganut kebudayaan ini tidak memiliki kesadaran untuk melestarikannya, setidaknya tidak hanya menjaga keaslian tradisi yang diwariskan leluhur budayanya.

Jika kebudayaan mengandalkan tradisi, keberlangsungan kebudayaan Lampung akan terjaga, tetapi tidak ada jaminan berkembang lebih lanjut. Sementara itu, dinamika kehidupan memperlihatkan sosoknya yang dinamis, yang mengharuskan setiap penganut kebudayaan tidak hanya mengandalkan tradisi dalam menyikapi peradaban. Setiap penganut kebudayaan harus memerhatikan pentingnya reformasi agar tidak terjadi resistensi, bahkan penolakan dari tradisi itu sendiri.

Tidak memberi rasa nyaman


Tesis ini terkesan sebuah prasangka, tetapi menurut Ignas Kelden, kebudayaan tidak bisa dibicarakan tanpa pengaruh yang kuat dari prasangka karena sifat kebudayaan yang paling mudah untuk ditandai ialah selalu menjadi sebuah apriori bagi setiap orang. Di sinilah letak persoalan kebudayaan Lampung, ulun Lampung merasa tidak nyaman dengan identitas yang mereka miliki sehingga tidak merasa perlu menjadikan nilai-nilai kebudayaan itu sebagai pegangan dalam kehidupan sehari-hari.

Penyebabnya bisa dilacak dari faktor sejarah kebudayaan Lampung. Nilai-nilai kebudayaan itu tidak pernah berlaku universal bagi seluruh ulun Lampung karena kebudayaan Lampung tumbuh dari atau dan membentuk dua lingkungan yang saling bertolak belakang. Hilman Hadikusuma, budayawan Lampung, mendefinisikan ulun Lampung sebagai orang Lampung asli yang asal-usul keturunannya dari zaman Tulangbawang dan Skala Brak, yang berbahasa dan beradat Lampung.

Dari definisi itu, kita bisa melihat bahwa di Lampung dikenal dua kultur dan memiliki dialek bahasa masing-masing. Perbedaan kultur itu terjadi dalam hal adat-istiadat dan sistem sosial masyarakatnya sehingga Lampung disebut juga dengan nama Sang Bumi Ruwa Jurai--bumi kediaman mulia dari dua golongan masyarakat yang berbeda asal usul. Ullun Lappung sebagai masyarakat adat dibedakan dalam dua kelompok budaya, pepadun dan peminggir (saibatin).

Apa yang dimaksud dengan masyarakat sulit mendefinisikannya. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko memberi definisi masyarakat dengan melihat ciri-cirinya. Masyarakat terdiri dari manusia yang hidup bersama, yang secara teoritis berjumlah dua orang dalam ukuran minimalnya, dan mereka bergaul antara satu dan lainnya dalam kurun waktu yang cukup lama. Mereka pun sadar bahwa hubungan di antara mereka merupakan satu kesatuan yang akan menghasilkan kebudayaan. Artinya, masyarakat merupakan suatu sistem, yakni sistem sosial. Sementara itu, suatu sistem merupakan suatu keseluruhan terangkai, yang mencakup unsur-unsur, bagian-bagian, konsistensinya, kelengkapan, dan konsepsi-konsepsi atau pengertian-pengertian dasarnya.

Tiap-tiap kelompok budaya Lampung diatur sistem sosial masing-masing. Sistem sosial menunjuk pada suatu keseluruhan terangkai, menyangkut hubungan antara manusia dan kelompok, yang tercakup dalam pengertian interaksi sosial. Setiap manusia memiliki apa yang dimaksud dengan perilaku, yakni suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi, dan fungsi kognitif dari manusia. Salah satu unsur dari perilaku adalah gerak sosial, yakni suatu gerak yang terikat oleh empat syarat, yakni diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, terjadi pada situasi tertentu, diatur kaidah-kaidah tertentu, dan terdorong oleh motivasi-motivasi tertentu.

Setiap gerak sosial merupakan suatu sistem yang mencakup subsistem budaya, subsistem sosial, subsistem kepribadian, dan subsistem organisme perilaku. Pembagian ulun Lampung ke dalam dua kelompok budaya bisa dipahami jika dilihat dari struktur sosialnya. Yang dimaksud dengan struktur sosial adalah pola-pola dari organisasi intern suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup segala hubungan antara anggota-anggota kelompok sosial tersebut beserta hubungan antara anggota-anggota dan kelompoknya. Lampung sebagai sebuah masyarakat memiliki struktur dan organisasi dengan genealogis yang tegas, faktor teritorial menjadi faktor yang sangat penting.

Menurut strukturnya, masyarakat Lampung merupakan masyarakat hukum adat yang bertingkat genealogis teritorial. Kepala adat yang merupakan kepala dari masyarakat hukumnya dinamakan penyimbang yang berarti pengganti. Kepenyimbangan seseorang bersifat sebagai kewarisan, putra sulung suatu keluarga yang mempunyai hak-hak istimewa.

Setiap lingkungan kebudayaan memiliki dimensi yang khas dan dapat dibedakan. Kedua kutub itu tercerai berai antara satu dan lainnya sehingga tidak ada kemungkinan terjadi dialektika. Para penganut kebudayaan yang berseberangan itu, dengan cara yang sangat ganjil dan tidak masuk akal, tidak pernah berupaya memikirkan, memperbaharui, dan membangun kebudayaan yang bisa diterima di setiap lapisan masyarakat.

Berharap pada konsep negara


Awalnya, konsep negara kebangsaan yang menawarkan cita-cita kebersamaan dan diwujudkan dalam pembentukan Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Lampung diharapkan memberi dampak bagi terwujudnya sebuah nasionalisme dengan segala perbedaan menjadi larut di dalamnya. Kenyataannya, organisasi modern yang diperkenalkan lewat konsep pemerintah daerah menjadi pemicu utama menajamnya resistensi antardua kutub kebudayaan yang ada. Karena upaya mengintegrasikan keduanya tidak hanya tergantung kepada masyarakatnya, tetapi sangat terkait pada bentuk-bentuk interaksi sosial yang dibawa organisasi modern tersebut. Artinya, integrasi kedua kultur yang bertolak belakang hanya bisa diwujudkan jika terjadi perubahan pandangan dan sistem nilai (aspek kognitif dan normatif) bukan saja pada masyarakat, melainkan juga pada kalangan eksekutif pemerintah dan kaum politisi.

Dalam hal program pembangunan, misalnya, besarnya perhatian terhadap kultur pepadun oleh eksekutif pemerintahan signifikan dengan program pemberdayaan ekonomi kerakyatan kampung tua (PPEK-KT) yang digulirkan Pemda Provinsi Lampung pada 2002. Program untuk mengatasi kesenjangan pembangunan di kampung tua (sebutan dalam program bagi kampung-kampung asli yang dihuni ulun Lampung) lebih banyak digulirkan untuk para penganut kultur pepadun. Program ini punya andil tidak sedikit dalam memodernisasi pola pikir ulun Lampung dengan memperkenalkan konsep-konsep demokrasi, meskipun risikonya semakin memiskinkan ulun Lampung yang tinggal di kampung-kampung tua dan menggiring mereka dalam perangkap kasus korupsi dana program tersebut.

Penyebabnya, partisipasi ulun Lampung yang digerakkan melalui Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat (LMMA) tidak muncul seperti diharapkan, karena keberadaan mereka dalam program hanya sebagai pelengkap penderita. Rendahnya tingkat pemahaman tokoh-tokoh adat terhadap nilai-nilai demokrasi modern membuat posisi mereka dalam program hanya sebatas penyambung lidah para fasilitator program. Revitalisasi kelembagaan adat yang menjadi tujuan program tersebut hanya menyisakan fakta negatif sejumlah kasus korupsi dana program yang sampai kini masih mengendon dalam berkas-berkas kasus yang ditangani Kejaksaan Tinggi Lampung, tetapi tidak pernah ada keputusan karena melibatkan sekian banyak elite kebudayaan dan pemerintahan

Selain itu, PPEK-KT yang dijalankan dalam bentuk pemberian modal kerja bagi ulun Lampung untuk membuat usaha produktif skala rumah tangga itu tidak dibarengi dengan menciptakan pasar bagi seluruh hasil produksi tersebut. Program kurang memperhatikan pentingnya diferensiasi produk dan kualitas barang produksi sehingga banyak hasil produksi yang tidak laku di pasar karena tidak bisa bersaing dengan produk yang sudah ada sebelumnya. Sebagai contoh, usaha skala rumah tangga yang digerakkan dalam program tidak beranjak dari usaha kopi bubuk, keripik pisang, keripik singkong, sulam usus, sablon, percetakan, dan kerajinan tapis. Sementara itu, produk-produk tersebut telah diproduksi secara massal dengan kualitas dan kemasan yang jauh lebih bagus.

Itu sebabnya, kemiskinan yang terjadi di Lampung membuat provinsi ini menjadi daerah termiskin di Pulau Sumatra--di bawah posisi Provinsi Bangka Belitung. Sepuluh kabupaten/kota di Lampung, semuanya, menjadi penyumbang angka kemiskinan, bahkan ada tiga daerah yang masuk dalam klasifikasi rawan pangan. Dari penelitian Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL), kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal dan rawan pangan itu dominan dihuni ulun Lampung.

Fakta-fakta serupa ini punya andil besar untuk meruntuhkan rasa nyaman dalam diri ullun Lappung terhadap kebudayaannya. Akibatnya, jika terhadap kebudayaan lain yang tumbuh di Nusantara kita bisa menerapkan apa yang diungkapkan penyair Prancis, Rene Char, bahwa pada awalnya kebudayaan bagi kita adalah nasib, baru kemudian kita memanggulnya sebagai tugas, bagi ulun Lampung, kebudayaan bukanlah nasib dan bukan tugas. Kebudayaan bagi ullun Lappung adalah beban, sesuatu yang harus dilepaskan karena dapat menghambat ruang gerak sosial.

Alasan ini yang membuat bahasa Lampung tidak memberikan kenyamanan bagi pemiliknya, juga terhadap aksara Lampung. Bahasa Lampung hanya ditemukan dalam rumah tangga-rumah tangga ulun Lampung, tidak pernah terdengar di halaman rumah mereka. Di dalam pergaulan sehari-hari, ulun Lampung lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia.

Penolakan ulun Lampung dalam berbahasa Lampung sekaligus merupakan penolakan mereka terhadap kebudayaan Lampung.

* Budi P Hatees, peneliti pada Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung, dosen Universitas Sang Bumi Ruwah Jurai

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 6 April 2008

1 comment:

  1. Anonymous7:54 AM

    salam kmuakhian gaoh.. link balik yu puakhi semoga kham dapok bersatu

    ReplyDelete