June 21, 2009

[Perjalanan] Mitos yang Melestarikan Kijang

SUKAU--Matahari mulai lindap. Tetapi, amparan Danau Ranau masih kemilau tersorot mentari yang menguning. Gunung Seminung yang bertakhta di belakangnya terbias dari birunya air danau di Pekon Sukabanjar, Kecamatan Sukau, Lampung Barat.

Sementara, aktivitas pekon mulai lingsir. Warga yang semula berikhtiar di sebilang tempat, kembali bersatu ke rumah-rumah di perkampungan etnis Lampung yang lestari itu.

Pekon (desa) yang terletak di perbatasan Provinsi Lampung--Sumatera Selatan ini memang eksotis. Itu karena paduan alam dengan satwanya dan budaya yang masih melekat. Tak heran jika di desa yang berada di paling ujung dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) tersebut banyak menyimpan legenda. Salah satunya leganda tentang kijang yang membuat hewan ini lestari di kawasan itu.

Dikisahkan Haji Romzi, tetua warga Sukabanjar, legenda yang menjadi mitos itu berawal dari kisah beberapa abad silam. H. Muhammad Amin, yang diyakini berasal dari tanah Arab datang ke wilayah sekitar Danau Ranau. Di daerah baru itu, perantau itu menyebut diri Puyang Sekhajangan.

Suatu waktu, pemuda itu mendengar adanya sayembara Kerajaan Sekala Brak untuk mendapatkan gadisnya. Syaratnya, sang pemuda harus dapat menumbuhkan tunas dari arang kayu dan lesung. Maka, Sekhanjangan ikut dan menang.

Namun, saat hendak membawa pulang sang gadis, dalam perjalanan ia diadang segerombolan orang yang hendak merebut. Di luar dugaan, datanglah sekelompok kijang dari semak-semak. Para anggota gerombolan tergoda menangkap kijang dari pada konsentrasi merebut gadis. Sehingga, Puyang Sekhanjangan lolos bersama sang gadis.

Kisah itu dikuatkan Ketua Adat setempat, Nasruddin gelar Suttan Taruttus. Suttan menambahkan dalam beberapa perperangan di wilayah Danau Ranau, Puyang Sekhanjangan kembali diselamatkan dan dibantu oleh kijang-kijang. Sehingga sejak itu, Puyang Sekhanjangan bersumpah bahwa anak cucu dan keturunannya kelak tidak boleh memakan daging kijang. Jika dilanggar, mereka akan menderita penyakit kurap yang tidak bisa diobati.

Menurut, Nurdin, tetua masyarakat lainnya, ada keturunan Puyang Sekhanjangan yang pernah melanggar sumpah itu, kemudian mengalami penyakit kurapan yang sangat parah. Orang itu baru sembuh setelah datang ke keramat Sekhanjangan (nangguh) untuk meminta ampun kepada Tuhan.

Karena keyakinan terhadap mitos yang masih melekat tersebut, sehingga masyarakat Pekon Sukabanjar merasakan adanya ikatan batin dengan kijang-kijang yang ada di daerah itu. Sehingga jika ada pemburu-pemburu yang masuk Pekon Sukabanjar, mereka cukup dengan bahasa batin "awas pergi jauh-jauh", maka mudah-mudahan pemburu itu tidak bertemu satu pun kijang di wilayah mereka.

Imbas positif dari mitos itu, binatang kijang di pekon dan kawasan TNBBS lestari. Bahkan, sangat sering kijang muncul di permukiman dengan bergerombol tanpa diganggu warga. "Kijang-kijang itu sering turun ke kampung. Kami biasa saja. Dan mereka juga tidak takut dengan warga. Kijang-kijang itu sudah seperti ternak kambing warga saja. Tapi kalau ada orang luar, mereka tidak muncul," kata Suttan.

Penasaran, beberapa wartawan dan fotografer Lampung Post ingin membuktikan keberadaan kijang-kijang itu. Dipandu Suttan dan beberapa warga, mereka datang ke juru kunci untuk meminta izin. Setelah didoakan, mereka menyusuri kawasan Bukit Barisan Selatan. Namun sayang, mereka belum dipertemukan. n HENRY ROSADI/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Juni 2009

No comments:

Post a Comment