June 7, 2009

[Wawancara] Ratna Riantiarno: Teater itu Ilmu dan Media

DUNIA panggung seolah hanya untuk mencari hiburan. Padahal, panggung seharusnya juga menjadi media pendidikan, penyadaran, dan ladang ilmu yang tak pernah kering. Dan teater adalah salah satunya. Sayang, ranting seni peran ini tidak dilirik pemerintah.

Akhir Mei lalu, Kala Sumatera, pergelaran panggung teater dari seluruh Sumatera tampil di Taman Budaya Lampung. Ratna Riantiarno, salah satu tokoh teater Indonesia yang juga mengelola Teater Koma, Jakarta, hadir sebagai kurator.

Dalam satu wawancara dengan Sudarmono dari Lampung Post saat jeda pertunjukan, Rabu (27-5), ia mengatakan teater seharusnya mendapat tempat yang baik oleh pemerintah. Berikut petikannya.

Sebagai praktisi teater nasional, bagaimana pengamatan Anda tentang perkembangan teater Indonesia?

Ya, saya sudah 30 tahun dengan teater Koma bersama suami saya, Nano Riantiarno. Saya sempat pesimistis dengan perkembangan teater di Indonesia. Sebab, hampir tidak ada perkembangan yang signifikan. Saya ambil contoh di Ibu Kota Jakarta sebagai pusat perkembangan seni dan budaya, ternyata juga begitu. Juga di Yogya, Bandung, Bali, yang juga sebagai pusat-pusat tumbuh-kembangnya seni-seni murni, tidak ada perkembangan berarti.

Tetapi, terus terang, rasa pesimistis saya sebelum datang ke Lampung kemarin, jauh lebih parah. Tetapi, setelah melihat pertunjukan demi pertunjukan di Lampung ini, agak sedikit terobati. Terus terang, sebelumnya saya underestimate. Di Jawa saja seperti itu, apalagi di luar Jawa, pikir saya.

Parameter apa yang Anda gunakan?

Parameter yang paling sederhana adalah penonton. Dalam beberapa pertunjukan kemarin, saya cukup surprise dengan hadirnya ratusan pelajar untuk menonton. Mereka bayar lagi. Kalau nggak salah, tiketnya Rp10 ribu.

Di Jakarta, untuk mendapatkan penonton para muda, itu tidak mudah. Teater Koma yang hanya mampu berproduksi dua kali setahun pun penontonnya sudah bisa ditebak dari kalangan seperti apa. Pelajar hampir tidak punya ketertarikan. Jadi, menurut saya, ini adalah oase yang cukup menyejukkan dunia teater.

Anda sudah menonton lima pertunjukan dari lima daerah di Sumatera dalam tga hari ini. Bagaimana pendapat Anda?

Pentas untuk Kala Sumatera ini kan ada 10 kelompok teater. Sementara itu, saya baru menonton lima. Jadi tidak fair kalau sudah membuat semacam kesimpulan. Tetapi memang, secara sepintas saya sudah bisa membuat prediksi, meskipun belum tentu sama dengan fakta hingga pentas berakhir.

Secara umum, saya melihat semangat para peserta cukup luar biasa. Dari semangat itu mencerminkan bahwa di daerahnya sana, ada yang dari Aceh, Riau, Bengkulu, dan sebagainya, artinya ada geliat teater yang cukup intens. Meskipun saya tidak tahu persis peta teater di setiap daerah itu.

Kualitasnya?

Saya harus mengatakan intensitas latihan dan mungkin narasumber teater di daerah yang kurang banyak dan kurang beragam. Itu terlihat dari pertunjukan mereka yang belum menunjukkan suatu kelompok teater yang digarap secara serius dan berkelanjutan. Memang ada beberapa yang cukup baik, tetapi ada yang terlihat kurang persiapan.

Saya kira bukan bermaksud mengesampingkan daerah, teater di Jawa masih menjadi tolok ukur nasional. Meskipun, di Lampung ada Teater Satu bersama Iswadi yang sudah menasional. Ini juga mungkin karena kedekatan Jakarta dan Lampung dengan Iswadi yang intens berinteraksi dengan tokoh-tokoh teater nasional.

Terus terang, Teater Satu Lampung yang mendapat apresiasi sangat tinggi dari Majalah Tempo dengan karya-karyanya adalah suatu lompatan sangat tinggi di tingkat nasional. Artinya, di level nasional pun, sesungguhnya teater dari daerah bisa melebihi reputasi teater dari Jawa pada umumnya. Saya hanya ingin mengatakan jika berkarya terus secara serius, teater ini bukan ditentukan faktor daerah.

Orang teater masih terus berkarya dan beraktivitas. Sementara itu, sepertinya kurang mendapat tempat dari pemerintah?

Itu saya kira kesalahan pemerintah yang sangat materialistis. Seolah, sesuatu yang dikerjakan setiap elemen bangsa ini harus bernilai materiil dalam rangka kontribusi membangun daerah atau negara. Saya juga prihatin mendengar, katanya Pemerintah Provinsi Lampung tidak lagi memberi anggaran untuk kesenian. Ini contoh konkretnya.

Memang, tidak semua orang paham teater, bahkan antipati. Ini tak terlepas dari pengaruh budaya instan dan hiburan yang sangat gencar memasuki ruang-ruang sepi untuk membuat keramaian dan hiburan kepada semua orang. Hasilnya, ya semua orang, terutama remaja dan anak-anak tidak peduli lagi dengan proses. Yang mereka lihat setiap hari di televisi adalah tayangan yang glamor dan hiburan populer.

Jadi, siapa yang salah?

Ini bukan soal salah atau benar. Yang pasti, teater adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam bidang seni yang memiliki nilai-nilai cukup kompleks. Ilmu yang dipelajari juga bukan sekadar seni peran, tetapi berkait dengan ilmu-ilmu lain yang bermanfaat.

Selain itu, teater juga mempunyai peran yang cukup penting sebagai media penyampai pesan. Tadi, ada teater dari Padang yang mengusung tema lingkungan dalam naskah yang dimainkan. Beberapa kelompok teater juga pernah diajak bermitra dengan LSM perempuan, LSM lingkungan, dan lainnya untuk sosialisasi program. Ini bukti teater juga bisa menjadi media yang tepat untuk menyampaikan pesan moral.

Tetapi jumlah penontonnya tidak banyak.

Faktanya memang begitu. Sebab, sekali lagi saya katakan, teater memang media yang amat halus untuk memasuki ruang-ruang pemahaman. Ini sangat berbeda dengan sinetron atau film yang cenderung realis dan komunikasinya bisa sangat mudah dipahami. Sementara itu, teater membutuhkan pemaknaan yang serius dan mendalam.

Meskipun demikian, cara teater ini bisa jadi lebih efektif menyampaikan pesan kepada kelompok atau kalangan tertentu. Sebab, menonton teater memang butuh energi lebih untuk menghayati mengikuti alur cerita yang dimainkan. Biasanya, pemaknaan terhadap naskah teater yang dimainkan akan jauh lebih dalam ketimbang tontonan populer lainnya.

Sebagai praktisi teater, apakah Anda merasa kalah dengan sinetron?

Kita punya panggung masing-masing. Jadi, tidak ada istilah kalah atau menang. Bahwa sinetron mendapat tempat lebih tinggi dari media massa televisi, itu memang faktanya. Itu memang permintaan pasar dan televisi memang mengejar pasar itu.

Tetapi, untuk diketahui, teater punya andil cukup besar untuk sinetron. Banyak pemain sinetron dengan akting yang baik adalah produk teater. Mereka belajar berakting dari dunia teater. Dan meskipun teater sendiri tidak muncul sebagai komoditas yang laris dijual televisi, ilmu teater menyumbang banyak pada tayangan itu.

Apakah Anda sepakat jika teater dijadikan pijakan atau tempat belajar akting bagi sorang aktor atau aktris menuju layar sinetron?

Itu adalah hak setiap orang. Bahwa panggung teater dijadikan kendaraan, itu terserah mereka. Kami sudah cukup bangga jika ada orang teater yang kemudian menjadi orang terkenal atau berhasil dalam bidang lain. Tetapi, banyak juga aktor teater yang setia dengan dunia teater. Sebab, seni peran di teater dengan di sinetron memang berbeda. Main di teater terasa lebih menantang.

Banyak orang tua yang menolak anaknya untuk ikut teater karena takut dengan masa depannya. Apa komentar Anda?

Sebagai suatu media pembelajaran, saya menyatakan teater adalah media yang cukup kondusif membangun karakter. Di teater sangat menghargai kedisiplinan, tanggung jawab, dan kejujuran.

Bahwa ada beberapa pemain teater yang terlihat kumal atau kurang menjaga penampilan keseharian, itu wujud dari kebebasan berekspresi dalam dunia kesenian pada umumnya. Juga ada yang memaknai kebebasan berekspresi di dunia seni melebihi batas-batas norma, itu sama sekali bukan ekspresi seni itu sendiri, melainkan penyimpangan pemaknaan.

Kita bisa membuktikan masih sangat banyak seniman dan pemain teater yang bermoral baik dan berpenampilan rapi pula. Juga banyak yang berhasil menjadi orang ketika kemudian menekuni berbagai profesi. Sebab, saya melihat teater itu sebagai wahana yang baik untuk mengolah kemampuan dan mengolah rasa. Itulah mengapa menonton teater juga harus menggunakan rasa, bukan sekadar indra penglihat.




Dari Tari hingga Teater


RATNA Riantiarno, lahir di Manado, Sulawesi Utara, 23 April 1952. Ia adalah aktris, manajer seni pentas, dan aktivis teater Indonesia.

Semula, mengenal dunia kesenian lewat seni tari. Dengan menari, dia berkeliling dunia, kemudian dia sempat berdomisili di New York, AS, selama dua tahun, 1974--1975.

Guru tari (Bali) yang pertama adalah I Wayan Supartha. Main drama pertama kali di Teater Kecil dalam lakon Kapai Kapai, 1969. Sesudah itu dia sering memainkan peranan penting dalam lakon-lakon karya Arifin C. Noer, sutradara kenamaan asal Cirebon yang dia anggap sebagai guru teaternya, antara lain; Sumur Tanpa Dasar, Mega-Mega, Madekur Tarkeni, dan Kocak-Kacik.

Bersama Teater Kecil, ikut pentas Sumur Tanpa Dasar keliling Amerika dalam KIAS (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat), 1992. Pada 1997, keliling Jepang atas undangan Japan Foundation. Dan tahun 2000, memperoleh grant dari Pemerintah Amerika Serikat untuk kunjungan budaya selama sebulan dalam program bertajuk The Role of Theatre in US Society.

Ikut mendirikan Teater Koma, 1 Maret 1977. Bermain dalam banyak lakon karya penulis drama dan sutradara N. Riantiarno, yang kemudian menjadi suaminya pada 1978. Antara lain; Rumah Kertas, Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Primadona, Sampek Engtay, Konglomerat Burisrawa, Suksesi, Kala, Republik Bagong, Presiden Burung-Burung, Republik Togog, dan Maaf. Maaf. Maaf.

Dia juga memainkan peran penting dari karya para penulis drama kelas dunia. Antara lain, Orang Kaya Baru dan Tartuffe/Moliere, Perang Troya Tidak Akan Meletus/Jean Girodoux, Teroris/Jean Paul Sartre, Brown Yang Agung/Euegene O'Neill, Exit The King dan Macbeth/Eugene Ionesco, The Threepenny Opera dan The Good Person of Szechwan/Bertolt Brecht, The Crucible/Arthur Miller, Romeo Juliet/William Shakespeare, dan Women in Parliament/Aristophanes.

Sebagai aktris, selain panggung, dunia film dijelajahinya pula. Dia bermain dalam film-film; Akibat Buah Terlarang, Jangan Ambil Nyawaku, Petualang-Petualang, Jakarta 66, Opera Jakarta, Petualangan Sherina, Brownies. Di kelompok Teater Koma, dia manajer grup sekaligus "ibu" yang penuh perhatian kepada para anggota. Pernah bekerja sebagai asisten kehumasan majalah Pertiwi, dan direktris perusahaan PR, RR & Associates. Dia memimpin pengelolaan sebuah Forum Apresiasi Seni Pertunjukan, yang sudah diperjuangkannya sejak 1997 dan didanai Ford Foundation.

Pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta, periode 1996--2003. Mengelola berbagai festival seni-pertunjukan; musik, tari, teater, berskala nasional dan internasional. Dia ikut mengelola Pertemuan Sastrawan Nusantara di Padang, Festival Teater Indonesia di Solo dan Yogyakarta, dan Musyawarah Dewan-Dewan Kesenian se-Indonesia di Medan dan Makassar.

Dia ikut mengelola pelaksanaan Art Summit Indonesia (Festival Seni Pertunjukan Kontemporer Internasional) sejak awal, 1998. Dia mengelola berbagai kolaborasi seni pentas, antara lain PRISM, yang mementaskan hasil kolaborasinya di Tokyo, Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Manila, dan Jakarta. Juga terlibat sebagai salah satu pengelola Kolaborasi Forum Sutradara Muda Asia, yang hasil eksplorasinya akan dipentaskan di Tokyo dan kota-kota lain di Asia. n M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Juni 2009

No comments:

Post a Comment