September 16, 2012

Wacana Teater, Teater Wacana, dan ‘Tau Ah Gelap’!

Oleh Alexander G.B.



"Cuma mengulang pertengkaran yang sama, dari dulu sampai sekarang. Punya pasangan bukannya makin baik malah makin jauh..." (Gegeroan, Harris Priadie Bah)

‘GEGEROAN’. Kelompok Teater Kami menampilkan teks dramatik Gegeroan karya Harris Priadie Bah di Taman Budaya, Bandar Lampung, Jumat (7-9). Teks dramatik Gegeroan menyoalkan masalah keretakan hubungan antarpersonal individu yang berada dalam sebuah relasi keterhubungan satu dengan yang lain. (LAMPUNG POST/IKHSAN D.N. SATRIO)

SEBUAH kalimat yang menarik dan menjadi pintu masuk untuk membaca pertunjukan teater dari Kelompok Teater Kami di Taman Budaya Lampung, Bandar Lampung, 7-8 September lalu.

Memasuki usianya yang ke-23, kelompok teater yang didirikan Harris Priadie Bah pada 21 Juli 1989 ini hadir menyapa Lampung. Kelompok Teater Kami—seperti tertulis di database Yayasan Kelola—termasuk salah satu kelompok teater yang produktif dan sering mengangkat tema yang menjadi problema di sekitar kehidupan manusia.

Cara memandang kelompok ini, menurut Afrizal Malna, bisa disederhanakan dengan "mereka menggarap tema-tema realis dengan bentuk yang imajinatif". Harris sendiri mengakui, baik naskah sendiri maupun naskah asing akan diperlakukan dengan cara seperti itu.

Karena itu saya merasa bahagia bisa menonton pentas Gegeroan dari kelompok teater ini.

***

Gegeroan yang disutradarai Harris Priadie Bah tampil dengan konsep fragmentatif menyapa publik teater di Lampung. Tak banyak properti di atas panggung sepanjang pertunjukan. Penonton disuguhi kecerdasan dalam penataan properti dan blocking pemain yang efektif.

Pertunjukan dimulai dengan seorang lelaki yang asyik menabuh jembe. Lalu muncul empat orang performer lain. Keempatnya mengucapkan dialog yang sama, berulang-ulang, berganti posisi, diulang-ulang. Lalu panggung kembali gelap.

Ketika lampu kembali menyala, menerangi seorang lelaki tua (Jean Maramis) tampak sangat lelah dan frustrasi dengan kehidupan yang ia jalani. Sebuah kursi, obat nyamuk semprot, lampu yang menggantung di sisi kanan panggung. Saya teringat kisah Nyanyian Angsa karya Anton Chekov, tentang seorang aktor yang kesepian di usia senjanya. Penampilan lelaki itu unik. Hadir dengan batuk parah yang menegaskan penderitaan. Bertahun-tahun berkutat dengan sepi dan hidup yang terasa tak berarti. Fragmen ini berakhir ketika si lelaki minum obat nyamuk, semacam keadaan absurditas yang dihadapi seorang tokoh atas hidupnya.

Fragmen selanjutnya. Seorang wanita (Irawati) sedang mengeringkan rambutnya. Seorang lelaki (Zank Smooth) masuk lalu duduk di sisi yang berbeda. Setelah sejenak diam, lelaki itu mengungkapkan perasaannya yang tidak sepaham dengan si wanita. Lelaki itu merasa kurang dihargai oleh si wanita yang kerap terlambat pulang ke rumah dan membalas SMS (pesan singkat) darinya.

Wanita itu adalah istrinya, yang kemudian membela diri atas apa yang dilakukannya. Rupanya si lelaki egois dan mau menang sendiri, sedangkan si wanita yang sibuk dengan pekerjaannya pun tak kalah egois. Macetnya komunikasi menjadi akar perselisihan yang berujung pada perceraian.

Fragmen bergeser lagi. Seorang aktor bergerak dan berdialog sendiri. Lakunya didukung lampu yang membentuk satu garis membelah panggung. Di salah satu sudut panggung dua performer berperan sebagai pengamen. Komposisi yang sangat menarik.

Fragmen lain, mungkin di sebuah kamar atau ruang tamu. Seorang wanita-istri (Ribka Maulina Salibia) dan lelaki-suami (Harris Priadie Bah) mengusung fragmen "Tema yang dibicarakan" dan "Menonton". Percapakan terus berlangsung pada persoalan-persoalan filosofis dari realitas yang tampak sederhana.

***

Secara umum pertunjukan berlangsung dengan rapi (terencana), sederhana, dan efektif. Setiap pemain mengikuti garis laku tertentu. Setiap fragmen hadir secara utuh, pergantian antarfragmen cukup rapi. Semangat pelaku teater untuk terus berinovasi dan bereksplorasi pada setiap penghadirannya cukup apresiatif dan mendapatkan aplaus dari penonton.

Namun, ada beberapa catatan pentas ini. Pertama, titik lemah dari pertunjukan Gegeroan adalah teks (dialog). Aspek filosofis yang mencoba ditampilkan terlampau banal atau berkesan menggurui. Kilasan-kilasan peristiwa yang dibangun pada pementasan Gegeroan juga tak mampu menjangkau lapis kesadaran penonton yang lebih dalam (manusia secara psikologis).

Kehadiran fragmen demi fragmen, tidak memungkinkan adanya sublimasi di panggung dan penontonnya. Sementara beberapa celoteh yang segar dan mengundang komedi, menjadi gagal sebagai ironi. Karena sepanjang pertunjukan penonton hanya dihadapkan rentetan pemikiran dan bukan peristiwa. Masih mengatakan dan belum menunjukkan.

Dari segi acting (laku) aktor di panggung, banyak laku yang kurang jelas motif dan sasarannya.  Misalnya, apa alasan yang kuat ketika seorang aktor meminta salah satu penonton untuk menggambar posisi rebahnya, sebab setelah itu ia asyik dengan dirinya sendiri, dengan celoteh-celotehnya. Keterlibatan penonton yang semula dibangun pada awal fragmen jadi sia-sia.

Lalu pada adegan selanjutnya seorang lelaki yang tampak sedang melakukan pemanasan (perenggangan yang lazim pada setiap latihan teater) sambil terus mengucapkan dialog. Dialog-dialog filosofis pula. Ia terus beraktivitas, tetapi aktivitasnya itu sepertinya tidak bertolak dari dialog atau peristiwa yang mencoba dibangun. Termasuk kemunculan bocah kecil yang melintas sambil salto bagi saya tidak memiliki alasan yang kuat di pertunjukan tersebut.

Dengan begitu, setidaknya pendapat saya, Gegeroan adalah pentas kebanalan pelaku teater dengan persoalannya sendiri, yang pretensinya keluar dari niat teater sebagai pertunjukan yang objektif, yang mengungkap kemanusian dari berbagai sudut pandang dan teater sebagai ilmu pengetahuan yang bisa ditelusuri jejaknya. Teknik yang mereka tampilkan tidak berfungsi untuk memperkuat peristiwa panggung, tetapi sebaliknya karena hanya memenuhi aspek indah secara artifisial semata.

Ada kesan pentas Gegeroan tak peduli dengan penonton, dan tak lebih baik daripada gosip atau berita berbagai stasiun televisi atau surat kabar yang bisa kita dapatkan setiap hari.

Maka, dialog pada salah satu fragmen: "cuma mengulang pertengkaran yang sama, dari dulu sampai sekarang. Punya pasangan bukannya makin baik malah makin jauh", bagi saya adalah potret retaknya hubungan antara pelaku teater dan penontonnya, yang semakin terasing dan saling mengasingkan. Panggung teater, kini tak ubahnya hanya menampilkan kehausan eksistensi pelaku teater itu sendiri.

***

Masalahnya sekarang, apakah pelaku teater hendak menampilkan kebanalan dan kehausan eksistensi semacam itu dalam perjalanan teater kita di masa mendatang? Ada apa dengan teater kita? Teater kita mungkin tidak ada apa-apa. Tidak jelas masalah apa yang hendak dipanggungkan, tidak jelas ideologi, tidak tegas sikapnya terhadap persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya.

Sayang sejak dulu, bertahun-tahun yang lalu, meski telah banyak yang menulis tentang sepinya kritik teater di Indonesia, faktanya sampai sekarang kita masih menghadapi kenyataan yang sama. Sehingga pelaku teater terkadang tak bisa disalahkan ketika bersikap semena-mena terhadap pertunjukan dan penontonnya.

Ah, mengapa hingga hingga saat ini persoalan sama masih harus teater hadapi. Teater hanya wacana. Wacana teater yang melulu ekspresi tanpa memperhatikan presisi. Teater kehilangan pijakannya sebagai ilmu pengetahuan. Teater telah kehilangan objek, kehilangan tema, kehilangan dirinya. Ekspresi teater sepertinya melulu eksistensi dan (mungkin) ekonomi.

Pelaku teater kemudian tidak jauh berbeda dengan kebiasaan sebagian dari sastrawan kita yang terus menerus bergelut dengan kesepiannya, dengan kesendiriaannya, dengan sore dan hal-hal yang melankolik belaka, tanpa sadar (menutup mata) dengan kenyataan—realitas sosial yang terjadi di sekitarnya, dengan berbagai praktek penindasan dan kekerasan yang terus berlangsung setiap hari. Sastrawan terasing dengan masyarakat pembacanya. Demikian halnya teater, yang juga sibuk dengan kelimun pikirannya sendiri sehingga pelan-pelan penonton menarik diri. Padahal teater lebih dari itu. Bukan sekadar itu. Benarkah?

Alexander G.B., cerpenis, pekerja teater

Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 September 2012

No comments:

Post a Comment