Esai Arman A.Z.
BUKU Sumatera Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka yang disusun Anthony Reid, terbitan Komunitas Bambu (2010), memuat reportase atau catatan perjalanan sejumlah penjelajah barat yang pernah menginjakkan kaki di Pulau Sumatera antara abad ke-9 hingga abad ke-20. Anthony Reid, yang sejarawan dengan spesialisasi sejarah Asia Tenggara, memang tertarik dengan Sumatera.
Menarik, melihat situasi dan kondisi Sumatera kala itu; aspek sosial, agama, budaya, politik, dan seluk-beluk sejumlah daerah di Sumatera, dari perspektif orang-orang dari negeri atas angin.
Sejumlah reportase mereka kemudian menjadi dokumen vital bagi rekonstruksi sejarah Sumatera, khususnya catatan perjalanan pra 1850. Hanya dua orang asli Sumatera yang dimuat kesaksiannya dalam buku ini, yaitu Tan Malaka dan Muhammad Radjab.
Taprobane, Rami atau Ramni, Azebai atau Azebani, Lameri, Swarnadwipa, Indalas atau Andalas, Sobormah, Samandar, Zamatra, Zamara, Java Minor, dan Ophir adalah sejumlah variasi nama bagi pulau yang kini dikenal sebagai Sumatera.
Pulau ini memang menarik minat penjelajah atau penulis masa silam untuk menuliskan segala sisik melik di dalamnya. Demikian pula dengan mereka yang tulisannya termaktub dalam buku Sumatera Tempo Doeloe.
Sayang, buku setebal 400 halaman ini tak satu pun memuat ihwal Lampung. Yang dominan dibahas dalam buku ini adalah Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Nias. Memang sangat sedikit, bisa dibilang langka, catatan perjalanan orang-orang barat yang pernah singgah di Lampung di abad-abad silam.
Sesungguhnya ada reportase dari dua penjelajah yang mengunjungi Lampung pada abad 18, tepatnya ke Danau Ranau dan Way Tulangbawang. Kedua catatan perjalanan ini bisa ditemukan dalam buku Malayan Miscellanies vol II, terbitan Sumatran Mission Press, Bengkulu 1822.
Mungkin Reid memiliki pertimbangan sendiri hingga tidak memasukkan dua reportase ini dalam buku STD.
Catatan perjalanan pertama berjudul Account of a Journey To The Lake of Ranow In The Interior of Kroee In 1820, yang ditulis J. Pattullo. Catatan kedua, ditulis oleh Captain Jackson, berjudul Course of The Tulang Bawang River, In The Eastern Coast of Sumatra, Extracted From The Journal of Capt. Jackson, of The Brig Tweed, 1822.
Pattullo memulai perjalanannya dari Krui, malam 19 September 1820. Ia sempat menginap di Dusun Uluh (ejaan lama). Tak dijelaskan secara perinci jumlah rombongan Pattulo kala itu. Hanya tertera seorang rekannya yang turut dalam perjalanan, bernama Mr. Beasley.
Dalam reportasenya, Pattullo juga menginventarisir populasi penduduk di sekitar Danau Ranau dan Liwa kala itu. Data itu mencakup jumlah rumah, jumlah pria dan wanita, juga keluarga. Total penduduk di sekitar Ranau kala itu sekitar 1.500 lebih.
Sementara populasi penduduk di Liwa yang didata Pattullo hampir 1.500, dengan asumsi tambahan sekitar 500 penduduk sedang berada di ladang. Kalimat yang cukup menarik dan bisa ditelisik lebih jauh validitasnya, seperti: Lewah is governed by a pangeran and twelve proatteens, who are in alliance with the Honorable Company.
Istilah-istilah kuno untuk suatu daerah juga merupakan peninggalan budaya dari suatu masa yang jauh. Dalam jurnal Pattulo ada banyak nama daerah dalam ejaan lama.
Sejumlah tempat yang dilewati atau dilihat Pattulo, seperti Tubbah Pituh (Gunung Tujuh), Lumboh (Lumbok), Dusun Sourabaya, Dusun Suhubye, Sungai Waye Assat, Warkie, Sukow atau Socow (Sukau), Ranow (Ranau), Gunung Si Menung (Seminung), Dusun Wallah di Banding, Gunung Chukut Lioh Kichil, gunung Chukut Tambur, gunung Chukut Lioh Gadang, Lewah (Liwa), Pulo (Pulau) Pisang.
Selain beberapa lokasi di atas, Pattulo juga mencatat nama-nama dusun di Ranau kala itu: Lumboh, Ranow, Sourabaya, Banding Auging, Warku, Tanjong Jatie, Suhubye, Padang Ratoo, Ungkusa, Pila, Gadong. Lima dusun terakhir dibuat berdasarkan perkiraan rata-rata.
Dusun Banding Auging merupakan penyatuan Dusun Negri dan Pendaggang, dengan tujuan mempertahankan diri dari serangan Makakows (?). Sementara nama-nama dusun di Liwa kala itu: Bumi Agong, Surubaya, Kasugihan, Paggar, Negri, Perwatta, Banding, Waye Mengaku, Tanjung, Gadong, Sungie, dan Genting. Beberapa nama daerah tersebut mungkin saja sudah berganti nama seiring zaman.
Reportase Captain Jackson bertitimangsa 24 Juli 1820. Ia membawa rombongan beberapa perahu dan sampan berisi peralatan. Jackson mengungkapkan pengalamannya menyaksikan sekitar dua ratusan gajah liar, juga macan, yang ditemuinya dalam perjalanan.
Daerah-daerah di sekitar Sungai Tulangbawang yang tertulis dalam catatan Capt. Jackson, antara lain Kampung Labboo, Negeri Parooan, Oojong Goonong, Manjab, Tenjening, Boomi Agong, Bagarding, Barouan, Goonong Trang, Kerterjis, Rombiu, dan Paronas.
Selain menuliskan proses pernikahan penduduk Lampung kala itu, Jackson juga menjelaskan bagaimana proses perkelahian atau balas dendam di antara kaum lelaki. Ada pula kalimat menarik yang ditulis Capt. Jackson mengenai penduduk Lampung dibanding penduduk Melayu di daerah lain: "The natives of the Lampong country about the banks of the river Toolang Bawang are generally speaking of a moderate stature, well made and their countenances much more pleasant than the generality of Malays."
Sulit melacak lebih jauh biografi J. Pattullo dan Captain Jackson. Namun, merujuk tahun penulisan reportase itu, kemungkinan besar mereka berasal dari Inggris kala zaman EIC, sebelum Belanda dan Inggris tukar guling Malaka dan Bengkulu.
Reid dalam pengantar buku STD mengingatkan agar pembaca bersedia untuk terus mengeksplorasi literatur-literatur mengenai Sumatera, dan yang paling penting adalah mengeksplorasi realita, yaitu Sumatera itu sendiri. Apa yang dikatakan Reid ada benarnya, dan bisa diperkecil ruang lingkupnya pada daerah Lampung.
J. Pattulo dan Captain Jackson memang tak seterkenal penulis masa silam yang reportasenya termuat dalam Sumatera Tempo Doeloe, apatah lagi seperti William Marsden yang bukunya, History of Sumatra, masih jadi rujukan mereka yang tertarik mengetahui Sumatera masa silam.
Mungkin saja reportase Pattullo dan Jackson tentang Lampung abad 18-an ini tak menarik di mata Anthony Reid untuk disertakan dalam buku Sumatera Tempo Doeloe. Mungkin juga tak ada gunanya buat masyarakat Lampung saat ini yang kian abai pada sejarah.
Namun, hemat saya, reportase atau kesaksian J. Pattullo dan Captain Jackson, meskipun tampak sepele, tentulah berharga sebagai bagian dari sejarah panjang Lampung. Ia semacam potret Lampung tempo dulu.
Bisa menambah referensi tertulis tentang Lampung selain yang telah banyak diketahui umum. Reportase mereka dapat pula menjadi rujukan melihat Lampung masa silam lewat perspektif orang luar Lampung, tepatnya orang-orang dari negeri atas angin.
Arman A.Z., pembaca buku
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 September 2012
BUKU Sumatera Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka yang disusun Anthony Reid, terbitan Komunitas Bambu (2010), memuat reportase atau catatan perjalanan sejumlah penjelajah barat yang pernah menginjakkan kaki di Pulau Sumatera antara abad ke-9 hingga abad ke-20. Anthony Reid, yang sejarawan dengan spesialisasi sejarah Asia Tenggara, memang tertarik dengan Sumatera.
Menarik, melihat situasi dan kondisi Sumatera kala itu; aspek sosial, agama, budaya, politik, dan seluk-beluk sejumlah daerah di Sumatera, dari perspektif orang-orang dari negeri atas angin.
Sejumlah reportase mereka kemudian menjadi dokumen vital bagi rekonstruksi sejarah Sumatera, khususnya catatan perjalanan pra 1850. Hanya dua orang asli Sumatera yang dimuat kesaksiannya dalam buku ini, yaitu Tan Malaka dan Muhammad Radjab.
Taprobane, Rami atau Ramni, Azebai atau Azebani, Lameri, Swarnadwipa, Indalas atau Andalas, Sobormah, Samandar, Zamatra, Zamara, Java Minor, dan Ophir adalah sejumlah variasi nama bagi pulau yang kini dikenal sebagai Sumatera.
Pulau ini memang menarik minat penjelajah atau penulis masa silam untuk menuliskan segala sisik melik di dalamnya. Demikian pula dengan mereka yang tulisannya termaktub dalam buku Sumatera Tempo Doeloe.
Sayang, buku setebal 400 halaman ini tak satu pun memuat ihwal Lampung. Yang dominan dibahas dalam buku ini adalah Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Nias. Memang sangat sedikit, bisa dibilang langka, catatan perjalanan orang-orang barat yang pernah singgah di Lampung di abad-abad silam.
Sesungguhnya ada reportase dari dua penjelajah yang mengunjungi Lampung pada abad 18, tepatnya ke Danau Ranau dan Way Tulangbawang. Kedua catatan perjalanan ini bisa ditemukan dalam buku Malayan Miscellanies vol II, terbitan Sumatran Mission Press, Bengkulu 1822.
Mungkin Reid memiliki pertimbangan sendiri hingga tidak memasukkan dua reportase ini dalam buku STD.
Catatan perjalanan pertama berjudul Account of a Journey To The Lake of Ranow In The Interior of Kroee In 1820, yang ditulis J. Pattullo. Catatan kedua, ditulis oleh Captain Jackson, berjudul Course of The Tulang Bawang River, In The Eastern Coast of Sumatra, Extracted From The Journal of Capt. Jackson, of The Brig Tweed, 1822.
Pattullo memulai perjalanannya dari Krui, malam 19 September 1820. Ia sempat menginap di Dusun Uluh (ejaan lama). Tak dijelaskan secara perinci jumlah rombongan Pattulo kala itu. Hanya tertera seorang rekannya yang turut dalam perjalanan, bernama Mr. Beasley.
Dalam reportasenya, Pattullo juga menginventarisir populasi penduduk di sekitar Danau Ranau dan Liwa kala itu. Data itu mencakup jumlah rumah, jumlah pria dan wanita, juga keluarga. Total penduduk di sekitar Ranau kala itu sekitar 1.500 lebih.
Sementara populasi penduduk di Liwa yang didata Pattullo hampir 1.500, dengan asumsi tambahan sekitar 500 penduduk sedang berada di ladang. Kalimat yang cukup menarik dan bisa ditelisik lebih jauh validitasnya, seperti: Lewah is governed by a pangeran and twelve proatteens, who are in alliance with the Honorable Company.
Istilah-istilah kuno untuk suatu daerah juga merupakan peninggalan budaya dari suatu masa yang jauh. Dalam jurnal Pattulo ada banyak nama daerah dalam ejaan lama.
Sejumlah tempat yang dilewati atau dilihat Pattulo, seperti Tubbah Pituh (Gunung Tujuh), Lumboh (Lumbok), Dusun Sourabaya, Dusun Suhubye, Sungai Waye Assat, Warkie, Sukow atau Socow (Sukau), Ranow (Ranau), Gunung Si Menung (Seminung), Dusun Wallah di Banding, Gunung Chukut Lioh Kichil, gunung Chukut Tambur, gunung Chukut Lioh Gadang, Lewah (Liwa), Pulo (Pulau) Pisang.
Selain beberapa lokasi di atas, Pattulo juga mencatat nama-nama dusun di Ranau kala itu: Lumboh, Ranow, Sourabaya, Banding Auging, Warku, Tanjong Jatie, Suhubye, Padang Ratoo, Ungkusa, Pila, Gadong. Lima dusun terakhir dibuat berdasarkan perkiraan rata-rata.
Dusun Banding Auging merupakan penyatuan Dusun Negri dan Pendaggang, dengan tujuan mempertahankan diri dari serangan Makakows (?). Sementara nama-nama dusun di Liwa kala itu: Bumi Agong, Surubaya, Kasugihan, Paggar, Negri, Perwatta, Banding, Waye Mengaku, Tanjung, Gadong, Sungie, dan Genting. Beberapa nama daerah tersebut mungkin saja sudah berganti nama seiring zaman.
Reportase Captain Jackson bertitimangsa 24 Juli 1820. Ia membawa rombongan beberapa perahu dan sampan berisi peralatan. Jackson mengungkapkan pengalamannya menyaksikan sekitar dua ratusan gajah liar, juga macan, yang ditemuinya dalam perjalanan.
Daerah-daerah di sekitar Sungai Tulangbawang yang tertulis dalam catatan Capt. Jackson, antara lain Kampung Labboo, Negeri Parooan, Oojong Goonong, Manjab, Tenjening, Boomi Agong, Bagarding, Barouan, Goonong Trang, Kerterjis, Rombiu, dan Paronas.
Selain menuliskan proses pernikahan penduduk Lampung kala itu, Jackson juga menjelaskan bagaimana proses perkelahian atau balas dendam di antara kaum lelaki. Ada pula kalimat menarik yang ditulis Capt. Jackson mengenai penduduk Lampung dibanding penduduk Melayu di daerah lain: "The natives of the Lampong country about the banks of the river Toolang Bawang are generally speaking of a moderate stature, well made and their countenances much more pleasant than the generality of Malays."
Sulit melacak lebih jauh biografi J. Pattullo dan Captain Jackson. Namun, merujuk tahun penulisan reportase itu, kemungkinan besar mereka berasal dari Inggris kala zaman EIC, sebelum Belanda dan Inggris tukar guling Malaka dan Bengkulu.
Reid dalam pengantar buku STD mengingatkan agar pembaca bersedia untuk terus mengeksplorasi literatur-literatur mengenai Sumatera, dan yang paling penting adalah mengeksplorasi realita, yaitu Sumatera itu sendiri. Apa yang dikatakan Reid ada benarnya, dan bisa diperkecil ruang lingkupnya pada daerah Lampung.
J. Pattulo dan Captain Jackson memang tak seterkenal penulis masa silam yang reportasenya termuat dalam Sumatera Tempo Doeloe, apatah lagi seperti William Marsden yang bukunya, History of Sumatra, masih jadi rujukan mereka yang tertarik mengetahui Sumatera masa silam.
Mungkin saja reportase Pattullo dan Jackson tentang Lampung abad 18-an ini tak menarik di mata Anthony Reid untuk disertakan dalam buku Sumatera Tempo Doeloe. Mungkin juga tak ada gunanya buat masyarakat Lampung saat ini yang kian abai pada sejarah.
Namun, hemat saya, reportase atau kesaksian J. Pattullo dan Captain Jackson, meskipun tampak sepele, tentulah berharga sebagai bagian dari sejarah panjang Lampung. Ia semacam potret Lampung tempo dulu.
Bisa menambah referensi tertulis tentang Lampung selain yang telah banyak diketahui umum. Reportase mereka dapat pula menjadi rujukan melihat Lampung masa silam lewat perspektif orang luar Lampung, tepatnya orang-orang dari negeri atas angin.
Arman A.Z., pembaca buku
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 September 2012
No comments:
Post a Comment