December 18, 2011

Menguji Nyali, Berlayar di Teluk Lampung

DI tengah laut, hanya air, perahu, kain layar, pelampung. Manusia menjadi amat kecil. Itulah saatnya manusia menghargai angin sebagai mesin untuk jalan menuju pulang.



FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/MEZA SWASTIKA

Revita dengan lincah bermanuver, taking—mengubah haluan dengan cara mendorong kemudi—cepat ia lakukan untuk mengikuti arah angin dan ia nyaris tak terkejar, dan kami terus berlayar ke tengah. Sayup-sayup Pantai Mutun terlebih seperti lidi, semakin kecil dipelupuk.

Perahu-perahu nelayan hilir mudik, datang dan pergi, di antara keterombang-ambingan ombak kuat Teluk Lampung.

Sesekali kami menjaga layar agar tiang tidak kalah oleh angin, hari yang terik itu angin tak terduga-duga, mengalir kencang, padahal seharusnya angin kencang, angin barat berhembus mulai dari Juli hingga September.

Perahu layar jenis optimis—perahu terkecil dalam olahraga perahu layar berkapasitas satu orang—yang kami gunakan hanya terombang-ambing saat angin mereda.

Berperahu layar, menjadi sensasi lain untuk menikmati laut, merasakan betapa ketika berada sendirian di tengah laut yang luas, saat melihat daratan hanya seperti garis-garis samar.

Perahu layar juga menjadi semacam tantangan untuk menguji nyali karena hanya mengandalkan selembar kain sebagai mesinnya.

Di Lampung, khususnya di sepanjang pesisir Padangcermin, Kabupaten Pesawaran, olahraga perahu layar memang seperti barang yang asing buat masyarakat. Sebagian dari mereka bahkan menganggap perahu layar tak ubahnya perahu nelayan biasa yang tak bermesin, tapi baru mahfum ketika dijelaskan bahwa ini adalah perahu layar.

Tak gencarnya pengurus Persatuan Olahraga Layar Seluruh Indonesia (Porlasi) Lampung waktu itu, membuat olahraga ini memang terlihat aneh. Lesunya pengurus Porlasi ketika itu membuat olahraga ini juga minim pembinaan apalagi bantuan tambahan perahu layar terbaru untuk atlet perahu layar berlatih.

Akhirnya saat itu, olahraga ini seperti hidup segan mati pun tak mau, atlet pun tak terasah, Revita, atlet perahu layar asal Lampung, mengaku sering kesulitan untuk latihan. Untuk perempuan yang hanya lulusan SMA ini rasanya tak mungkin menyewa perahu layar hanya untuk latihan, akhirnya Lampung tak pernah banjir prestasi dari olahraga ini.

Padahal, meskipun jarang sekali latihan, Revita pernah mengukir prestasi perahu layar di kelas optimis di tingkat nasional, "Saya hanya kalah oleh atlet perahu layar dari Jawa Timur dan Bali saja, itu pun hanya karena perahu layar yang saya pakai dari bertanding adalah pinjaman dari atlet asal provinsi lain.”

Gereget olahraga layar ini baru terlihat beberapa pekan terakhir, sejak kepengurusan Porlasi Lampung diganti, latihan digencarkan apalagi untuk menghadapi Pra-PON kemarin latihan digenjot hampir setiap hari.

Ketua Porlasi Lampung Tommy M. Nur mengaku prihatin saat melihat cabang olahraga ini seperti “ada dan tiada”. Ia menyatakan keanehannya, Lampung memiliki garis pantai terpanjang di Indonesia, tapi olahraga perahu layar tak bisa meraih prestasi.

"Pertama kali saya lihat, atlet yang punya potensi dan Lampung yang sebagian besar adalah daerah pesisir. Jadi saya yakin dan tanamkan atlet Porlasi Lampung harus punya prestasi, bukan saja di tingkat nasional, melainkan juga internasional.”

Ia bahkan menilai olahraga ini bisa menjadi peluang untuk Lampung mempromosikan betapa indahnya pantai di pesisir Teluk Lampung melalui olahraga layar ini. "Olahraga ini bisa jadi sarana promosi pariwisata, kami juga akan menggelar event-event nasional," kata Tommy optimistis.

Untuk atlet perahu layar yang mempunyai kualitas, ia menjanjikan pembinaan yang serius. Karena itu Tommy berharap dukungan dari masyarakat Lampung untuk mengembangkan olahraga ini. (MEZA SWASTIKA/M-1)


Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Desember 2011

No comments:

Post a Comment