December 4, 2011

Unila, Bahasa Lampung dan Multikultur

Oleh Didi Arsandi

SUDAH saatnya perguruan tinggi di Lampung—Universitas Lampung (Unila) utamanya—menempatkan diri sebagi poros bagi upaya-upaya pengembangan bahasa, sastra, dan budaya Lampung. Sebagai satu-satunya universitas negeri di Lampung, Unila dapat diposisikan secara strategis sebagai pusat kebudayaan Lampung, bukan sekadar pusat studi budaya Lampung.

Desakan itu mengapung dalam Bilik Jumpa Sastra-Budaya Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (Bijusa UKMBS) Unila dengan tema Peranan Universitas Lampung dalam pelestarian dan pengembangan bahasa Lampung di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), Sabtu (19-11) lalu.

Bijusa kali ini menghadirkan para narasumber, di antaranya Kepala Lembaga Penelitian Unila Admi Syarif, mantan Ketua Program Studi D-3 Bahasa Lampung Iqbal Hilal, dan peneliti bahasa Lampung Iing Sunarti dengan moderator Didi Arsandi.

Turut hadir dalam acara ini rekan-rekan dari berbagai lembaga kemahasiswaan seperti BEM KBM Unila, Cendikia FISIP Unila, UKPM Teknokra, KSS FKIP Unila, UKMBS UBL, UKMBS Teknokrat, UKM Senior Umitra, UKM SBI IAIN Raden Intan, juga dari rekan-rekan independen seperti Komunitas Berkat Yakin (Kober), Klub Pembaca dan Penulis Muda (KPPM) Lampung, dan beberapa penyair seperti Edy Samudra Kertagama, Fitriyani, dan Anton Kurniawan.

Iing Sunarti mengatakan kurangnya kebanggaan ulun Lampung dalam memakai bahasa Lampung antara lain disebabkan oleh kurangnya sarana pendukung bagi pengembangan kebudayaan daerah, kurangnya peminat penelitian tentang kebudayaan daerah, dan masih minimnya usaha pendokumentasian kekayaan budaya daerah. Di ruang-ruang publik perkotaan, misalnya, ulun Lampung sendiri masih sungkan atau malu menggunakan bahasa Lampung.

Kendala pengembangan bahasa Lampung, kata Iing, juga disebabkan kurangnya sarana pendukung seperti belum dibukanya Program Studi S-1 Bahasa Lampung, dan hingga kini pembelajarannya masih menempel pada Program Studi S-1 Bahasa Indonesia.

Dukungan pihak perguruan tinggi terhadap usaha penelitian bahasa Lampung oleh para peneliti S-3 sekali pun masih sangat minim. Fakta lain yang cukup ironis pada era multimedia informasi masa kini ialah masih minimnya usaha-usaha pendokumentasian kekayaan budaya Lampung bila dibandingkan dengan usaha-usaha daerah lain, khususnya di Pulau Jawa.

"Bila saya pulang ke Yogya, kemudian ada yang bertanya adakah di sini orang Lampung, saya akan acung tangan dan berkata sayalah orang Lampung. Bila ditanya lagi, bisakah Anda berbahasa Lampung, saya akan menjawab bisa meski cutik-cutik (sedikit-sedikit). Bagi saya, kebanggaan akan identitas diri sebagai orang Lampung adalah hal pertama yang harus dimiliki bila sudah menjadi penduduk di daerah ini. Saya tinggal di Lampung, maka saya menjadi orang Lampung," ujarnya dengan bersemangat dan disambut tepuk tangan para peserta Bijusa.

Perlu Upaya-Upaya Kreatif

Di sisi lain, Admi Syarief optimistis terhadap eksistensi dan perkembangan bahasa Lampung. "Saya enggan percaya terhadap prediksi yang mengatakan bahwa bahasa Lampung akan punah beberapa tahun lagi. Itu kacamata yang pesimis meskipun benar secara ilmiah. Saya selalu optimis bahwa bahasa Lampung akan selalu ada di daerah ini sampai kapan pun," kata penyusun Kamus Lengkap Bahasa Lampung ini.

Sesuai dengan kompetensi keilmuannya, yaitu multimedia dan teknologi informasi, Admi Syarief berupaya menemukan hal-hal baru, yang segar, untuk mendukung pengembangan bahasa Lampung, salah satunya pembuatan Kamus Bahasa Lampung-Indonesia dan Kamus Bahasa Indonesia-Lampung untuk menunjang pembelajaran bahasa Lampung. Tim peneliti Unila juga sudah berusaha membuat software bahasa Lampung untuk memudahkan pembelajaran bahasa Lampung melalui alat multimedia seperti telepon seluler atau internet. Khusus media internet, sudah disediakan situs web khusus yang menyediakan layanan kamus bahasa Lampung online, yakni di link http://kamus.lampung.cc.

Berkenaan dengan wacana pembukaan Program Studi Sarjana (S-1) Bahasa Lampung di Unila, Iqbal Hilal menjelaskan hal ini masih dalam tahap perencanaan, mengingat Unila masih menganalisis peluang lulusannya untuk dapat diserap oleh dunia kerja. Sebenarnya, pembicaraan serius mengenai hal ini sudah dilakukan Rektor Unila Sugeng P. Harianto dengan Ketua Komisi V DPRD Lampung Yandri Nazir di ruang senat Unila. Itu setahun yang lalu (Maret 2010).

"Mungkin kehadiran kita di sini, di forum Bijusa UKMBS Unila ini, sekadar mengingatkan kembali bahwa kita para pelaku dan peminat bahasa Lampung masih menunggu realisasi dari rencana tersebut. Dan saya optimis program studi S-1 akan dapat dibuka dalam waktu dekat," ujarnya.

Salah seorang rekan dari BEM KBM Unila menyinggung soal masih jarangnya penggunaan bahasa Lampung di daerah-daerah pelosok, khususnya yang dihuni masyarakat nonsuku Lampung. Di lingkungan tersebut, masyarakatnya masih lebih suka menggunakan bahasa etnis sendiri (misalnya Jawa, Bali, dan lain-lain) dalam percakapan sehari-hari terhadap sesamanya.

Menanggapi hal tersebut, agaknya Iing Sunarti, Iqbal Hilal, dan Admi Syarief sependapat hal itu hak setiap individu. "Meski demikian, sangat disayangkan bila seseorang yang menghuni suatu daerah enggan mengenal lebih dekat situasi budaya daerah tersebut, misalnya dengan mempelajari bahasa lokalnya," ujar Iing.

"Kita memang sepatutnya merayakan konsep multikulturalisme sebagai haluan hidup kita dalam bersosial di negeri ini. Lampung adalah provinsi yang sudah multikultral. Tapi semoga kita tidak lupa juga, kita orang Indonesia kan punya prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Saya orang Lampung asli, tapi kalaupun saya suatu saat menetap di daerah lain, saya pasti akan mempelajari bahasa lokalnya karena saya sudah menjadi bagian dalam masyarakat di daerah tersebut," ujar Admi Syarif yang diamini pembicara lain.

Peserta lain dari Cendikia FISIP Unila juga menyayangkan bahasa Lampung yang masih jarang dipakai dalam keseharian mahasiswa-mahasiwa di kampus Unila. "Kalau saja mahasiswa-mahasiwa Unila yang suku Lampung tidak minder, tidak malu menggunakan bahasa Lampungnya dalam percakapan sehari-hari, pasti para mahasiwa lain yang bukan dari suku Lampung perlahan-lahan akan tertarik untuk turut mempelajari dan menggunakannya."

Penyair Anton Kurniawan menambahkan, "Wacana semacam ini sudah sering berputar dari diskusi ke diskusi. Mungkin yang kita perlukan sekarang adalah langkah-langkah nyata, baik oleh pihak Unila sendiri maupun semua insan yang mengaku peduli terhadap pengembangan bahasa Lampung."

Menanggapi kedua hal ini, Iqbal Hilal mengusulkan gagasan pembentukan Komunitas Berbahasa Lampung (Kobala) di lingkungan Unila sendiri. "Jadi wacana pelestarian dan pengembangan bahasa Lampung tidak berhenti di tataran teoritis dan diskusi-diskusi belaka. Kita juga harus punya gebrakan-gebrakan segar yang konkret dan implikatif dalam upaya tersebut," ujarnya.

Iqbal Hilal juga berharap suatu saat pihak Unila membangun Sesat Agung di lingkungan kampus sebagai pusat studi budaya Lampung dan segala aktivitas kemahasiswaan yang sifatnya mendukung pelestarian dan pengembangan budaya Lampung itu sendiri.

Didi Arsandi, pekerja seni

Sumber: Lampung Post, 4 Desember 2011

No comments:

Post a Comment