Oleh Febrie Hastiyanto
BANYAK tempat yang puitik, tempat yang darinya dapat lahir puisi-puisi yang indah sekaligus menggugah. Bagi seorang penyair, tempat yang puitik bisa berada di mana saja: di taman, di sekolah, kebun binatang, mal, terminal, atau jalan. Jalan atau jalanan memang identik dengan puisi. Tak sedikit penyair yang memulai karier kepenulisannya dari jalan(an). Persada Studi Klub (PSK), komunitas sastrawan yang diasuh Umbu Landu Paranggi misalnya kerap nongkrong di kawasan (Jalan) Malioboro Jogja. Dari rahim PSK lahir sejumlah sastrawan terkemuka tanah air macam Emha Ainun Nadjib termasuk penyanyi balada Ebiet G. Ade. Jalan dan jalanan memang memberikan ruang yang penuh kontemplasi sekaligus paradoks, dan biasanya pula penyair menggemari realitas ini.
Berbeda dengan PSK sebagai komunitas yang alumninya produktif melahirkan karya saat komunitas ini masih eksis antara tahun 1969 hingga 1977, Dahta Gautama penyair kelahiran Hajimena Lampung Selatan 37 tahun lalu ini adalah seorang pejalan kaki yang sunyi. Seorang diri Dahta Gautama muda kerap memburu puisi di sejumlah ruas jalan di Bandar Lampung, semenjak Jalan Raden Intan, Jalan Malahayati, Jalan Kartini atau Jalan Teuku Umar yang seringkali berakhir di Pasar Seni (Enggal?). Dalam keramaian Dahta meresapi kesunyian—sesungguhnya laku ini sudah puitik; memaknai perasaan kaku, gugup, gelisah, rendah diri, sulit bergaul dan insomnia yang dideritanya. Dalam penyakit psikis yang diakui Dahta menderanya saat remaja ini justru terlahir banyak puisi. Melalui puisi pula Dahta hendak berkabar bahwa banyak hal yang terjadi terhadap dirinya, dan kesemuanya ia potret dari jalan. Puisi-puisi itu sebagian kemudian diterbitkan dalam Ular Kuning: Sajak-Sajak Pilihan (Pijar Media, Juli 2011).
Puisinya Belati di Jakarta misalnya, begitu kuat memotret realitas jalanan di Jakarta. Memotret, karena dalam banyak puisinya Dahta menggunakan metode bercakap-cakap dengan pembacanya. kau torehkan belati di pipiku/ sebagai kenang-kenangan bahwa kita/ pernah bertemu dan bersahabat/ di Tanah Abang. Kegetiran belati yang diacungkan kepada seorang pejalan kehidupan di Jakarta ditulis Dahta tanpa pretensi amarah dan dendam. Dahta justru menulisnya secara bersahabat, sebagai tanda perkenalan. Dahta melanjutkan kisahnya dengan lancar: ketika itu kita bertengkar soal Tuti/ pelacur yang ketiaknya bau bedak kantil/ kita tak pernah peduli, ternyata Tuti/ bukan perempuan Madura/ rasanya pun biasa-biasa saja. Sedikit rasis, namun Dahta mengolok-olok dirinya sendiri dan pembaca yang kerap ke lokalisasi. Tak peduli Ramuan Madura sebagaimana kata iklan di televisi karena “rasanya pun biasa-biasa saja”. Kalau kita panjangkan, Dahta hendak mengatakan kepada pembaca: kalau begitu, mengapa masih juga kau datang ke sana?
Tak hanya soal-soal menggetarkan dari jalanan yang identik dengan kekerasan dan kriminalitas, Dahta pun mampu menyuguhkan realitas puitik dari jalanan secara apik. Puisinya yang lain lagi, Khimaci di Showa Kinen menggambarkan renik kehidupan di Taman Showa Kinen Tokyo dengan apik. Sebab puisi ini pula Dahta diganjar Pena kencana Award sebagai Puisi Terbaik Indonesia Tahun 2008. Katanya kepada pembaca: Showa Kinen bertabur lili/ jalan-jalan merintih. Konon taman ini dibangun/ dewa matahari. Dan gadis kecil itu adalah Khimaci/ ia kekasih abadi lelaki, yang pernah punya luka belati.
Sebagai orang yang sedang kasmaran dan menggubahnya menjadi puisi, Dahta masih menambahi: Khimaci, beri aku mawar/ sebagai penawar/ dan Showa Kinen sebagai mata kita/ ia telah mengungkap pengembaraanku ke kota-kota penuh taman. Tak ada catatan apakah Dahta sungguh pernah mengunjungi Tokyo dan menjejak Taman Showa Kinen, namun Dahta mampu mendeskripsikan Tokyo secara meyakinkan. Kereta-kereta listrik, Pendeta Budha di Kelenteng Bhoghaca, Pasar Khoyota, Paman Khobata adalah tempat, nama dan identitas yang dapat membawa asosiasi persepsi publik pembaca di tanah air terhadap Jepang. Kata-kata ini bertabur dalam Khimaci di Showa Kinen sebagai ikhtiar Dahta untuk meyakinkan pembacanya.
Seperti halnya jalan(an) yang menyimpan paradoks, sebagai penyair Dahta pun berada pada kondisi yang sama. Selain fasih bertutur mengenai realitas puitik di jalan(an), Dahta juga mampu menyajikan puisi yang memikat tentang rumah dan kehidupan di dalamnya. Meskipun lelah memburu puisi di jalanan, pada rumahlah Dahta kembali dan bersarang, dan darinya pula tercipta puisi. Puisi Catatan Harian Halaman: 2008, Habis menceritakan realitas rumah yang penuh dengan kebahagiaan dalam kesahajaan. Kumulai hari ini dengan bangun pagi/ sikat gigi dan nyanyi di kamar mandi./ ketika ingin menulis puisi/ istriku dari kamar berteriak:/ beras di kaleng, tinggal setengah/ terasi dan ikan kering, habis! Tanpa perlu memperdebatkan kriteria kemiskinan pada konsumsi 2.100 kalori, atau pendapatan 2 dolar Amerika Serikat satu hari, realitas ini sesungguhnya sehari-hari terjadi dalam banyak rumah tangga kita. Namun Dahta mampu mengemasnya secara jenaka, tak menertawai kemiskinan namun menghayatinya dengan rendah hati. pada selembar terakhir buku harian/ aku tulis kata-kata serupa doa:/ Tuhan, mengapa engkau ciptakan banyak tikus/ bersarang di loteng rumahku/ bila malam, tikus-tikus itu turun dan mencuri banyak makanan. Dahta mengakhiri puisinya secara manis dengan mengatakan: Tuhan, aku mohon padamu sekali lagi/ beri aku beras, sayuran, ikan kering, air di sumur/ makanan untuk sebulan/ dan jadikan aku manusia.
Kepada orang-orang terdekatnya, Dahta mengucapkan terimakasih melalui puisi. Ingin kucium lehermu/ sambil kubangun fantasi, dongeng/ purba. Bahwa kelak engkau melahirkan batu./ mari bercumbu, istriku/ berbulan madu dengan ciuman/ yang hanya sesaat saja/ di tengah air mata dan luka ini/ setelah engkau melahirkan/ seorang perempuan/ baru kutahu/ ia ternyata anak, yang kelak/ aku beri nama: sajak. Puisi ini diberi tajuk Istri dan Sajak menggenapi puisi yang lain lagi soal rumah dalam Rumah Penyair. Rumah ini tanpa halaman/ selalu saja ada orang-orang/ bercakap-cakap di dalamnya/ sebagai perjamuan sunyi. Dahta mengakhiri puisinya dengan sajak pendek-pendek: di depan rumah/ ada jalan raya/ dilewati orang-orang/ yang merantau di dunia kecil ini.
Melalui puisi Dahta ingin mengabarkan kebahagiaan yang dihadirkan jalan(an), rumah dan orang-orang di dalamnya dalam kesahajaan. Teknik bertutur Dahta mengalir lancar, namun pada beberapa puisi teknik ini membuat puisi yang ditulisnya tak efektif dalam masing-masing larik. Puisi Ular Kuning yang dijadikan judul kumpulan puisinya justru ditulis secara panjang-lebar dan menjadi tak ringkas sebagaimana puisi-puisi yang lazim kita kenal, bahkan bila Dahta meniatkannya sebagai prosa atau puisi prosaik sekalipun, Ular Kuning tampak terbata-bata menempatkan estetika dirinya. Beberapa larik Ular Kuning yang sesungguhnya masih dapat dipadatkan sehingga ringkas dan kuat misalnya: pernah ketika masih kanak, nenek dan ayah memukul pantatku dengan ranting tritis. makanya aku tak pernah mempercayai bahwa rasa sakit bisa mengakibatkan kematian. Atau larik yang lain lagi, seperti: ayah dan nenek melarangku berbicara tentang ular kuning/ yang kutemui di semak-semak di samping rumah kami./ mereka bilang, aku tak boleh depresi seperti kakek/ akan menyusahkan karena harus ke rumah sakit jiwa/ setiap hari rabu. Dahta melanjutkan berpanjang-panjang dalam bertutur, seperti larik: nenek bisa mengatur agar kakek tidak terlalu banyak minum kopi./ alasannya, karena setelah itu kakek selalu meracau/ membaca syair yang ditulisnya bermalam-malam.
Sebagai terbitan, Ular Kuning tampak disunting terburu-buru. Masih ada kata-kata tak baku maupun kesalahan penulisan tanda baca yang terlewat oleh penyunting. Kata “kerab” (maksudnya mungkin “kerap”), “prilaku” atau “kedasyatan” atau “merefresentasikan” masih bertabur dalam Ular Kuning. Begitu juga penulisan “di” sebagai kata yang menunjukkan tempat masih banyak ditulis tanpa dipisah dengan kata di belakangnya. Termasuk riwayat penerbitan masing-masing puisi yang tersebar di sejumlah media nasional, regional maupun lokal tak dicantumkan sehingga pembaca yang tak mengenal karya-karya Dahta akan merasa ahistoris membaca bukunya ini. Meski demikian, kalau kita sepakat mengabaikan kekurangtelitian ini, Ular Kuning pantas menjadi referensi untuk dibaca sebagai bekal menghayati jalan, jalanan dan perjalanan serta rumah dan kehidupan di dalamnya. Bukankah sesungguhnya kita adalah pengguna jalan, dan pada akhirnya kembali ke rumah masing-masing?
Febrie Hastiyanto, Pembaca buku dan penikmat puisi. Tinggal di Tegal Jawa Tengah
Sumber: http://horisononline.com, 8 Desember 2011
No comments:
Post a Comment