March 12, 2012

Plagiarisme, Tragedi Pendidikan Kita

Oleh Udo Z. Karzi



SEORANG calon guru besar Univesitas Lampung (Unila)— sebelumnya disebutkan dua, tetapi kemudian diralat hanya satu—diindikasikan melakukan plagiat (Lampung Post, 9-10 Maret 2012). Sungguh ini tragedi yang memalukan dalam tradisi akademik perguruan tinggi. Wajar saja kalau Rektor Unila Sugeng P. Harianto mengatakan akan bertindak tegas terhadap calon guru besar yang terbukti menyontek karya ilmiah orang lain: dibatalkan menjadi guru besar!

Peristiwa ini belum lama berselang dari kehebohan plagiat tiga dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Ketiganya, nama mereka tidak disebutkan, tepergok menyontek naskah untuk promosi menjadi guru besar. Berdasar keputusan senat UPI, meskipun tidak dipecat, ketiga dosen diberi sanksi penurunan pangkat dan jabatan serta pembatalan promosi guru besar mereka.

Kalau melihat kasus-kasus tersebut, agaknya plagiarisme sebenarnya seperti puncak gunung es yang semakin lama semakin terbuka boroknya. Nyaris semua perguruan tinggi terkait dengan plagiat guru besarnya. Lihat saja daftar 21 perguruan tinggi yang disebut Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersangkut praktek plagiarisme oleh (calon) guru besar: Unhas, Unand, UI, Unibraw, dan Unila. Berikutnya, Universitas Jambi, Unpad, Universitas Mataram, UNS, Unsamrat, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Universitas Udayana, dan USU. Lalu, Unipatti, Universitas Negeri Gorontalo, Unimed, Universitas Negeri Makassar, UPI, Universitas Negeri Surabaya, ITS, dan IPDN.

Tragedi Memalukan

Kasus plagiarisme (penjiplakan karangan) oleh guru besar merupakan tamparan bagi dunia pendidikan Indonesia. Jangankan oleh guru besar yang menjadi anutan tertinggi di dunia pendidikan, tindakan plagiarisme merupakan hal terlarang dan terkutuk dalam dunia kreatif (tulis-menulis misalnya). Lampung Post, misalnya, segera saja memasukkan ke daftar blacklist begitu seorang penulis diketahui melakukan plagiasi. Hal ini tak bisa ditawar karena orisinalitas dan kejujuran menjadi unsur terpenting dalam jagad intelektualitas.

Betapa gegernya ketika diketahui artikel Banyu Perwita, seorang dosen di Universitas Katolik Parahyangan, Jawa Barat, berjudul RI's defense tranformation yang diterbitkan di The Jakarta Post, 14 Juni 2009, ternyata hasil plagiat karya Richard A. Bitzinger yang berjudul Defense Transformasion and The Asia Pacific: Implication for regional Millitaries, yang diterbitkan di Asia-Pacific Center for The Security Studies Volume 3—No.7, Oktober 2004.

Sebelum 2000, betapa populernya Ipong S. Azhar sebagai kolumnis di berbagai media. Namun, kasus plagiarisme disertasinya menghancurkan semuanya dalam sekejap. Senat Universitas Gadjah Mada (UGM) akhirnya membatalkan gelar doktor Ipong S. Azhar. Disertasi Ipong ini mulai menjadi masalah setelah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Radikalisme Petani Masa Orde Baru: Kasus Sengketa Tanah Jenggawah pada pertengahan 1999. Mochammad Nurhasim, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkejut setelah membaca bab demi bab buku itu, karena isinya sama dengan skripsinya. Ia lalu menulis surat ke Senat UGM, sekaligus mengirim salinan skripsinya. Ia juga membuat surat terbuka ke berbagai media massa. Intinya, ia menuduh Ipong melakukan plagiat dan mendesak supaya gelar doktor kolumnis itu dicabut. Dan, keputusan final telah dijatuhkan pada 25 Maret 2000 dalam Forum Rapat Senat UGM yang dipimpin Ichlasul Amal, rektor UGM, dan dihadiri 102 anggota senat. Gelar doktornya dibatalkan.

Jalan Pintas

Dalam ilmu pengetahuan terdapat aspek-aspek etika yang kalau diterapkan dapat membentuk pribadi-pribadi yang jujur, disiplin, bertanggung jawab, dan sportif. Dengan mengetahui aspek etika dalam sains, dan mengajarkannya kepada peserta didik dapat membantu membentuk kepribadian. Bukankah mempelajari ilmu pengetahuan merupakan sebuah upaya untuk keluar dari ketidaktahuan, kebingungan, dan ketersesatan pikiran dan sebagai bentuk dari pencarian dari kebenaran? Sementara perguruan tinggi –terlebih guru besar—jelas merupakan institusi penting yang menjunjung tinggi tradisi akademik, budaya intelektualitas? Bukankah tradisi akademik dan budaya intelektual itu senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai kejujuran dan kebenaran?

Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita telah babak belur oleh beberapa kasus korupsi yang yang melanda negeri ini. Dan, kini kita pun menyaksikan betapa telah terjadi pula pembohongan publik dan korupsi intelektual dari kalangan perguruan tinggi. Padahal, perguruan tinggi selama ini masih dipandang sebagai institusi yang paling berkompeten saat berbicara soal kebenaran yang tercermin dari ilmu pengetahuan yang digeluti, tradisi intelektual yang dijalankan sivitas akademika, dan semangat membela nilai-nilai obyektivitas yang memancar dari kampus.

Penipuan saintifik (scientific fraud), yaitu usaha untuk memanipulasi fakta atau menerbitkan hasil kerja orang lain secara sengaja jelas merusak nilai-nilai objektivitas. Ilmuwan yang objektif dan melaporkan hasil pengamatan secara lengkap dan jujur tentu akan menghasilkan sains yang ideal. Selain itu, bermanfaat bagi masyarakat bila hasil penelitiannya (karya ilmiahnya) diimplementasikan.

Tapi, apa yang hendak dikatakan jika akademisi tanpa rasa malu dan mengambil jalan pintas mengaku karya ilmiah orang lain sebagai karya sendiri? Apa lacur ilmuwan jika lebih suka memalsukan karya ilmiah ketimbang melakukan riset dengan benar, jujur, dan objektif. Sebuah tragedi tak berdarah yang memukul peradaban sebuah bangsa ke titik nadir, saya kira. n

Udo Z. Karzi, tukang tulis

Sumber: Lampung Post, Senin, 12 Maret 2012

No comments:

Post a Comment