January 31, 2014

Pengumuman Hadiah Sastra “Rancage” 2014

Keputusan

Hadiah Sastera  “Rancagé”  2014


Alhamdulilah  atas  rido Allah SWT dan bantuan  berbagai pihak yang menaruh perhatian terhadap perkembangan bahasa dan sastera ibu insya Allah Hadiah Sastera “Rancage” 2014 akan diberikan untuk   sastera Sunda buat yang  ke-26 kalinya, untuk sastera  Jawa buat ke-21 kalinya, untuk sastera Bali buat yang ke-18 kalinya dan untuk sastera Lampung buat keempat kalinya. Selain untuk sastera  Lampung  untuk  sastera Sunda, Jawa dan Bali, Hadiah Sastera “Rancagé”  diberikan setiap tahun tanpa lowong, artinya diberikan  saban tahun.  Dalam bahasa Lampung tidak setiap  tahun ada buku terbii,  sehingga Hadiah Sastera “Rancagé” tidak  bisa  diberikan setiap tahun. Tahun 2013 yang lalu terbit dua judul buku dalam bahasa Lampung, sehingga tahun ini ada Hadiah Sastera “Rancagé” untuk sastera Lampung.

Yayasan Kebudayaan “Rancagé menerima buku-buku dalam bahasa Madura dan bahasa Banjar terbitan tahun 2013. Dua judul buku bahasa Madura semuanya kumpulan puisi, dan keduanya ditulis oléh seorang penyair yaitu Yayan K.S. Kejhung Aghung merupakan kumpulan sajak modéren dalam bahasa Madura dan Puisi Jhâpamerupakan puisi mantera dalam bahasa Madura. Kecuali itu ada kiriman  buku kumpulan sajak dalam bahasa Banjar Sisigan Sungai karya Abdurrahman El Husaini. Tahun 2012 Yayasan “Rancagé”  juga mendapat kiriman dua judul buku kumpulan sajak dalam bahasa Banjar, yaitu Jukung Waktu dan Do’a Banyu  Mata keduanya karya Abdurrahman El-Husaini juga. Seperti pernah kami sampaikan, Hadiah Sastera “Rancagé” baru diberikan kepada karya dalam bahasa ibu selain Sunda, Jawa, Bali dan Lampung, kalau penerbitan buku dalam bahasa tersebut berlangsung tidak putus selama tiga tahun.  Maka untuk buku dalam bahasa Banjar dan Madura – begitu juga dalam bahasa Batak – tahun ini belum dapat  diberikan Hadiah Sastera “Rancagé”. 

Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 untuk sastera Sunda

Dalam tahun  2013 buku sastera bahasa Sunda dan bacaan anak-anak   yang terbit ada 42 judul, yaitu 27 judul buku baru  dan 15 judul merupakan cétak-ulang.   Seperti biasa buku cétak ulang, karya bersama  dan karya Ajip Rosidi tidak masuk hitungan, artinya tidak dipertimbangkan untuk mendapat Hadiah “Rancagé”.  Lebih sedikit  dari buku yang terbit tahun sebelumnya (ada 68 judul). Penerbit yang menerbitkan buku bahasa Sunda dalam tahun 2013 kian banyak. Selain Kiblat Buku Utama yang menerbitkan  17 judul, ada Geger Sunten (5 judul), Green Smart Books Publishing (4 judul), TBM Nurul Huda (4 judul), Pustaka  Jaya (3 judul), Wisata Literasi (3 judul), Studio Titik Dua (1 judul), Rak Buku (1 judul), MSB Publishing (1 judul), dan Galeri Padi (1 judul). Dua judul  diterbitkan oléh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemda Jawa Barat.
                 
Dari 27 judul buku baru  ada sebuah yang merupakan terjemahan (Si Démplon karya Guy de Maupassant diterjemahkan oléh Duduh Durahman). Dari 26 judul karya asli,  satu berupa ésai  berjudulWanoh ka Lakuning Jagat yang ditulis oléh Adjat Sudradjat, guru besar géologi dan vulkanologi Universitas Padjadjaran. Buku-buku lainnya berupa fiksi:  Berlian : 11 carpon wanoja (karya bersama), Boa-boa karya Irianto; Wayahna karya Irianto, Tunggu Hujankarya Irianto, Nunang Nunaning karya Irianto, Lalakon Awon karya Godi Suwarna,  Ronggéng Sajajagat karya Ahmad Bakri, Lalaki na Tungtung Peuting karya Tiktik Rusyani, Londok karya Hérmawan Aksan, Randa Ték Dungkarya Muryana Surya Atmaja dan Nénéng Sumarni, Bulan Buleud dina Jandéla karya Dudung Ridwan, Kalakay karya Dény Riaddy, A Liong karya Nyi Roro, Kumaha Aing Wéh karya @KumahaAingWéh, Srie Sunarsasi karya Enas Mabarti, Kabungbulengan karya H.D. Bastaman, Sabalakana karya Dadan Sutisna,Tariking Angin karya Godi Suwarna, Katumbiri: Antologi Sajak Sunda diédit oléh Téddi Muhtadin, Hariweusweus Leuweung Pineuskarya Arom Hidayat dan Titimangsa: 68 Sajak Alit  karya Abdullah Mustappa.  
                  
Setelah semuanya dipertimbangkan ada dua judul yang masuk nominasi, ialah  roman Sabalakana karya Dadan Sutisna dan kumpulan sajak Titimangsa: 68 Sajak Alit karya Abdullah Mustappa.
                  
Roman Sabalakana  yang tebalnya 344 halaman itu dibuka dengan adegan tokoh Santana berada di puncak bukit pada senja muram dan hujan deras untuk mendekami kuburan  Rastiti, bakal isterinya  yang téwas terbunuh beberapa jam  menjelang nikah. Sejak awal pengarang sudah mampu membetot pembaca untuk terus masuk ke jalan cerita yang dibangun dengan bahasa ritmis, teratur panjang péndéknya kalimat.
                  
Adegan pembunuhan hanyalah bagian dari rangkaian cerita yang dibangun pengarang untuk mengungkapkan inti cerita, yaitu tentang orang-orang yang bersikap terus-terang mengungkapkan apa yang dilakukan dan diketahuinya. Namun justru sikap demikian dianggap berbahaya oléh rezim penguasa dan orang-orang itu harus  dikucilkan dengan cara dikandangkan dalam sebuah bangsal.
                  
Sabalakana mempunyai kekuatan psikologis, memiliki rasionalisasi baik dalam setiap adegan maupun latar belakang timbulnya adegan seperti dalam perkelahian Aki Médi dan Olot Dayat yang cukup dramatis karena  dilatar-belakangi politik, yaitu perebutan tahta kepala désa.
                  
Agak sulit untuk menentukan siapa sebenarnya  tokoh  utama dalam Sabalakana. Selain banyak sekali nama tokoh, beberapa tokoh cukup kuat perwatakannya. Untuk menyebut Santana sebagai tokoh utama, kita juga melihat watak dan peran Unang Kédi, sahabat Santana sejak kecil yang kemudian menjadi Lebé. Rastiti yang muncul di permulaan cerita sehingga menimbulkan kesan bahwa dialah tokoh utama, namun ternyata setelah terbunuh, adiknyalah, Gayatri, yang lebih banyak perannya. Kalau mau dibilang ada kelemahan maka banyaknya nama tokoh itu salah satunya, sehingga membuat pembaca “barieukeun”. Di samping mungkin karena mau segera terbit, terdapat kalimat-kalimat yang ceroboh seperti “meureun cék nu batur” (h.167), kata  ”nu” seharusnya tidak ada. Pada hal. 270 kalimat “Geuning siga teu jagjag belejag euy?” yang bisa menimbulkan gangguan pada kontéks cerita. Seharusnya kata “teu” tidak ada.
                  
Sajak-sajak Abdullah Mustappa dalam Titimangsa :  68 Sajak Alit, sesuai dengan judulnya merupakan sajak-sajak péndék. Sajak terpanjang terdiri atas 8 larik/5 bait, dan yang terpéndék hanya satu larik. Selain judul kumpulan, setiap  sajak hanya ditandai  dengan angka dari 1 sampai 68. Jika melihat bahwa penyair lahir pada tahun 1945, maka angka 68 itu bertepatan dengan ulang tahunnya  yang ke-68.  Oléh karena itu sajak-sajak dalam Titimangsa itu dapat dianggap sebagai surat tentang ésénsi kehidupan penyair yang disampaikannya secara simbolis kepada Aam Amilia, isterinya (lihat kolom persembahan pada halaman 2).
                  
Dibuka dengan sajak nomor 1 yang menegaskan  secara simbolis bahwa  asal kehidupan itu seperti aksara yang menjadi kata lalu tersusun menjadi kalimat yang terus bertambah banyak dan ditutup dengan sajak nomor 68 yang  menandaskan bahwa suratnya  terléwat belum diberi titik dan di bawahnya pun  belum ditandatangani – yang menginformasikan bahwa harapan masih panjang, lakonnya belum  tamat. Pada sajak nomor 2 sampai 67 tergambar berbagai rasa kehidupan baik yang manis maupun yang pahit,  baik yang nyata maupun yang khayali.
                  
Sajak-sajak Abdullah sederhana dan mudah dimengerti namun mengandung makna yang dalam dan  luas. Seperti  yang terlukis pada sajak nomer 65: “nété sigay noong lodong / kalah langit nu katémbong”. Tiada kata-kata yang anéh, tak ada métafora yang dibuat-buat,  sajak Abdullah Mustappa péndék-péndék,  tapi tidak selesai  sampai di situ. Bayangan maksudnya memanjang dalam ingatan, karena yang menjadi  pusat perhatiannya adalah inti kehidupan manusia yang universal, seperti harapan, keraguan, kekhawatiran dan keyakinan.
                  
Maka setelah dipertimbangkan dengan matang yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera  “Rancage” 2014 buat  karya dalam sastera Sunda adalah

                                    Titimangsa: 68 Sajak Alit
                                    Karya Abdullah Mustappa
                                    Terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung
                  
Kepada Abdullah Mustappa sebagai pengarang Titimangsa :  68 Sajak Alit akan disampaikan   Hadiah Sastera “Rancage” 2014 buat karya berupa piagam dan uang (Rp.  5 juta). Sebelumnya Abdullah pernah menerima Hadiah Sastera  “Rancage” untuk jasa (2006).
                  
Sedangkan yang terpilih untuk menerima Hadiah Sastera  “Rancagé”  sastra Sunda 2014 buat jasa  adalah 
                                    Manglé
                                    Majalah basa Sunda mulai terbit tahun 1957
                                    Alamat: Jalan Lodaya 19, Bandung 40262 

Majalah Manglé, walaupun menyebut dirinya sebagai majalah hiburan (“panglipur”), namun bukan saja banyak memuat karya sastera baik berupa cerita péndék,  cerita nyambung, gending karesmén, guguritan, maupun sajak, melainkan juga memuatkan  ésai dan bahasan-bahasan lain mengenai kebudayaan dan kesusasteraan. Bahkan berkali-kali memberikan Hadiah Sastera  Manglé buat karangan  yang dimuat dalamnya.  Sejak terbit, Manglé selalu memuatkan cerita péndék, paling tidak 4 judul. Maka  sekarang setelah lebih dari setengah  abad terbit (lebih dari 2450 nomor), Manglé telah memuat kl.  10.000 judul cerita péndék. Banyak pengarang Sunda yang sekarang terkemuka, begitu juga sarjana mulai memuatkan atau banyak memuatkan karyanya  dalam Manglé seperti Wahyu Wibisana, Saléh Danasasmita,  Kis. Ws., Ahmad Bakri, Ki Umbara,  Rustandi Kartakusumah, Ayatrohaédi,  Yus Rusyana, Edi S. Ekadjati,  Aam Amilia,  Ningrum Djulaéha, Holisoh ME, Dyah Padmini, Iskandarwassid, Usép Romli HM,  Etti Rs., Acép Zamzam Noor, Godi Suwarna, dan puluhan nama lagi.
                  
Banyak cerita péndék yang sekarang terbit sebagai buku kumpulan karya pengarangnya, semula dimuat dalam Manglé.Begitu juga sajak dan guguritan.  Banyak juga cerita yang populér dan digemari pembaca seperti Tjarmad karya  Tjandrahayat (ps. R.H. Oeton Muchtar) yang kemudian pernah dibukukan bahkan  difliemkan dengan sutradara Chairul Umam  dan penulis skénario Putu Wijaya.  Pemuatan roman Mh. Rustandi Kartakusumah berjudul Mercedes 190meningkatkan tiras Manglé hampir mencapai 100.000 éksemplar karena cerita itu   sangat digemari oléh pembaca.
                  
Keistiméwaan Manglé yang berlainan dengan  majalah-majalah bahasa Sunda yang lain ialah mampu bertahan terus terbit  hingga  lebih dari  setengah abad. Meskipun  keadaannya sekarang jauh dari masa keemasannya, namun Manglé tetap merupakan tempat pembibitan pengarang dalam bahasa Sunda. Banyak pengarang yang sebagai penulis  pemula mengirimkan karyanya ke majalah Manglé dan banyak di antaranya kemudian menjadi pengarang Sunda terkemuka.
                   
Hadiah Sastera “Rancagé”  2014 sastra Sunda untuk bidang jasa akan disampaikan kepada pimpinan  MajalahManglé, berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).


Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 untuk sastera Jawa

Dalam tahun 2013 buku karya sastera bahasa Jawa yang terbit ada 17 judul, tetapi 5 judul berupa cétak ulang dan satu judul merupakan karya bersama, sehingga yang enam itu tidak dinilai buat  mendapatkan Hadiah Sastera “Rancagé”. Kesebelas judul  buku yang dinilai adalah roman Rembulan Ndhuwur Blumbangkarya Narko Sodrun Budiman,  romanPiwélingé Puranti karya Tiwiek SA, romanSawisé Langité Katon Biru karya Yunani SW,Kembangé Ngaurip lan Gegayuhan karya Parpal Poerwanto, kumpulan cerita péndékTanduré wis  Sumilir karya J.F.X. Hoery, kumpulan cerita  péndék Lintang Alit karya Sumono Sandy Asmoro, kumpulan cerita péndék Kluwung karya Nono Warnono, antologi puisi Tembang Sandhal Jepit karya Triman Laksana, antologi puisi Kidung Lingsir Wengi karya Suharmono K., antologi puisiPuser Bumi karya Mas Gampang Prawoto, dan antologi puisi Misteri Misteri, Wadi Winadi karya Sudi Yatmana.
                  
Roman Piwélingé Puranti karya Tiwiek SA, menceritakan seorang lulusan SD Sujiman yang menghilang dari kampungnya, di Semarang diangkat anak oléh Bu Rukmi seorang janda kaya yang mempunyai anak gadis, Nining.  Setelah 11 tahun  Sujiman pulang ke kampungnya, menemukan ayahnya Singa Bawuk berada dalam tahanan karena dituduh mendalangi pembunuhan terhadap Pak Wikono, guru Sujiman di SD dulu.  Bu Wikono yang sangat dia hormati kini hidup dalam kemiskinan  berdua dengan anaknya, Puranti, hampir terusir dari  rumah séwaannya. Diam-diam Sujiman membayar séwa rumah itu. Ibu angkat Sujiman, dari Semarang menaruh kasihan terhadap  Bu Wikono dan membantu ékonomi  keluarga tersebut dan menikahkan Sujiman dengan Puranti. Padahal Sujiman telah menjalin hubungan  akrab dengan Nining. Pada suatu pagi sepulang Puranti belanja mendapatkan Sujiman sedang mencium kening Nining. Puranti terkejut dan lari ke belakang dan ia yang sedang hamil itu terjatuh.  Hampir tetabrak mobil Bu Rukmi.  Puranti melahirkan tapi nyawanya tidak tertolong. Sebelum meninggal ia berpesan agar Nining dan Sujiman memelihara anaknya.
                  
Narko Sodrun B.  adalah pengarang sénior dari Sanggar Sastra Triwida di Tulungagung, Jawa Timur. RomannyaRembulan Ndhuwur Blumbang mengisahkan keluarga pasangan muda yang selama tujuh tahun pertama pernikahan meréka hidup tenteram, namun kemudian dirongrong kehidupan ékonomi yang memburuk karena sang suami, Purnomo  di-PHK dan  suka menghabiskan waktu di Kafé Kresna  dan mulai  suka menyiksa isterinya.  Sang isteri, Anisah, memergoki suaminya sedang makan di réstoran bersama  Séptiani yang sedang hamil. Terjadi  pertengkaran antara suami-isteri itu. Anisah menyodorkan bukti-bukti yang tak dapat dibantah oléh  Purnomo. Waktu Anisah mau pulang datang polisi yang menangkap Purnomo atas tuduhan mengedarkan ganja. Sebenarnya roman ini  padat dan mengajak pembaca memikirkan banyak hal, tapi sayang di dalamnya banyak adegan-adegan  vulgar ketika menggambarkan momen-momen érotis. 
                  
Roman Kembangé Ngaurip lan Gegayuhan karya Parpal Poerwanto menceritakan bagian-bagian penting dari hidup tokoh utamanya. Dimulai dengan kisah tokoh utamanya, Gun, yang tidak bisa menembang di sekolah. Lalu menceritakan masa lalunya dengan sahabatnya,  Yanto. Cara berkisah penuh dengan detail itu terasa melelahkan. Yang menarik pada akhirinya Gun bertemu dengan teman lamanya, Anjasmara yang menjadi  primadona wayang orang. Gun jatuh cinta pada Anjasmara  tanpa mengetahui latar belakangnya. Namun Anjasmara menghindar karena  tidak mau Gun nanti  kecéwa terhadapnya.
                  
Yunani S.W. dalam romannyaSawisé Langité Katon Biru menceritakan kasih-sayang antara dua orang kakak beradik, Endah dan Retno. Tetapi pada usia 8 tahun, Retno mengalami kecelakaan sehingga matanya buta. Endah setelah selesai kuliah, pindah bekerja di Jakarta dan berusaha mendapatkan suami seorang dokter mata agar dapat mengobati adiknya. Usaha itu berhasil dan dokter mata suami Endah mau pindah ke Surabaya karena Endah berasal dari Batu. Hendratmo, suami Endah, akhirnya berhasil mengoperasi mata Retno sehingga dia dapat melihat lagi.  Tetapi sebelum dan sesudah operasi itu Héndratmo  tertarik kepada Retno yang cantik dan mencoba menciumnya. Retno yang sadar akan akibatnya kalau hubungan dengan iparnya itu dilanjutkan meninggalkannya  dengan menjadi biarawati.
                  
Kumpulan crita cekak Kluwungkarya Nono Warnono memuat 23 cerita yang menurut pengarangnya semuanya seperti “kluwung” (pelangi), yaitu campuran berbagai warna yang membentuk sesuatu yang indah. Peristiwa-peristiwa dalam hidup juga penuh warna dan indah kalau diceritakan. Bebagai masalah dalam kehidupan masarakat itulah yang menjadi ilham penulisan cerita-cerita yang dimuat  dalam buku tersebut. Dalam bercerita, Nono sering mengakhirinya  dengan sesuatu yang tak tersangka. Dalam “Kopi  Pait” misalnya, dia menceritakan warung kopi Raminten yang selalu penuh dikunjungi orang. Tarmuji si pedagang sapi misalnya tak merasa puas kalau belum minum kopi racikan tangan Raminten karena di situ dia  dapat mencolék-colék tubuh atau mencubit tangan Raminten tanpa teguran suaminya. Isteri Tarmuji pun tak  pernah menegur suaminya yang suka pulang terlambat. Sampai pada suatu malam gerimis, Tarmuji mampir di warung kopi Raminten, kebetulan suaminya sedang tidak ada. Kesempatan yang baik untuk dia menggoda Raminten sepuasnya. Tapi tiba-tiba ia ingin segera pulang. Setiba di rumah, ternyata pintu depan dikunci, maka dia berjalan ke belakang rumah. Dia terkejut ketika mendengar ada suara laki-laki  dan isterinya dalam kamar.
                  
Dalam cerita  “Sarampungé Wisuda” dikisahkan tentang  Tarno yang bisu dan  menghidupi keluarganya dengan berjualan  wingko secara asongan. Namun begitu ia dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan baik. Yang laki-laki, Suprapto hampir selelai kuliahnya di perguruan tinggi, sedang yang perempuan, Martingah, masih di sekolah lanjutan atas.
                  
Pada suatu soré, ketika Tarno pulang dari berjualan, ketika mau masuk rumah, dia dengar isterinya sedang menasihati anak perempuannya  yang  merasa malu  diolok-olok oléh kawannya di sekolah karena ayahnya menjadi pedagang asongan. Tarno merasa sedih dan terharu mendengar nasihat  isterinya lalu dia berbalik arah dan menyelinap pergi.
                  
Hari berikutnya keluarga Tarno bingung karena tadi malam Tarno tidak pulang padahal Suprapto datang menjemput keluarganya untuk  menghadiri dia diwisuda. Karena tidak berhasil menemukan ayahnya, Suprapto berangkat bersama ibu dan adiknya. Ketika acara wisuda sedang berlangsung, masuklah Tarno dengan berbaju batik. Suprapto menjemput ayahnya dan memeluknya, begitu juga ibu dan adiknya. Sepulang dari wisuda, Suparto mengajak keluarganya ke pojok términal.  Suprapto membuka pintu kios “Toko Wingko Joyo”, lalu berkata, “Pak, toko iki takbangun kanggo sampéyan.” (Pak, toko ini saya bangun untuk Bapak”.
                  
Kejutan pada akhir cerita cukup banyak terdapat dalam Kluwung, selain yang dua, ada pula antaranya “Hélm”, “Kuis”, “Méja kursi”,  “Sambel”, dan ”Stémpél”.
                  
Kumpulan cerita péndék Tanduré Wis Sumilir karya J.F.X. Hoery, merupakan penerbitan cerita-cerita  yang ditulis  tahunn 1970-an—1980-an.  Hoery lebih kuat dalam penulisan puisi Jawa Modéren  atau guritan seperti terbukti dengan antologi  Pagelaranyang mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” (2004). Seperti dalam guritannya, dalam cerita-ceritanya juga  Hoery banyak memperhatikan keadaan di sekitarnya,   désa-désa dan kota-kota kecil.  Dari  keadaan lingkungannya itu, Hoery banyak mengangkat téma-téma percintaan, misteri, sosial,  kejahatan  dsb. Dia tidak kekurangan bahan  kerana dia menjadi wartawan. Meskipun ditulis  sudah lama, tapi cerita-cerita yang dimuat dalam buku ini énak dibaca dan dapat memperkaya pengalaman pembaca.
                   
Lintang Alit judul kumpulan cerita péndék karya Sumono Sandy Asmoro yang pernah mendapat Hadiah Sastera ”Rancagé” untuk romannya Layang Panantang (2010). Ceritanya yang diambil dari kehidupan sahari-hari masarakat Jawa, banyak yang diceritakannya secara lucu. Misalnya “Culika” menceritakan Darko diajak teman sekolahnya di SMP, Panjul,  yang nampak kaya berbuka di masjid yang terletak di belakang Super Market, ketika mau pulang ternyata sepatunya hilang. Hal itu tidak dia ributkan. Ternyata keésokan harinya sepatu itu dia dapati di tukang loak. Maka dibelinya Rp. 30.000. Soré harinya dia berbuka lagi di masjid itu. Tapi ia selalu mengawasi  sepatunya. Ketika ada orang yang mengambil sepatunya ia berdiri dan mengikuti orang itu dan setelah dekat dia menarik kerah baju orang itu.  Ternyata orang itu Panjul!  Cerita “Calon” juga lucu mengisahkan saling jegal dalam pemilihan lurah sehingga pernikahan yang akan dilangsungkan dibatalkan karena pengantin dan mempelai dituduh sebagai  pengédar uang  palsu. Ternyata tuduhan itu  dari  calon yang menjadi  saingannya.
                  
Guritan   karya  Mas Gampang Prawoto yang dimuatkan dalam Puser Bumi, banyak menggunakan kata-kata yang tak dikenal atau kata-kata dialék yang hanya dikenal oléh komunitas setempat atau kata-kata  yang tidak populér lagi dalam komunitas sehari-hari. Menggunakan kata-kata demikian untuk membangun suasana kedaérahan – asal dapat dimengerti – dapat diterima. Tapi penggunaan kata-kata yang  jauh dari pemahaman bahasa sehari-hari menyebabkan guritannya menjadi gelap dan  jadi  tidak bermakna.      
                   
Antologi guritan Tembang Sandhal  Jepit karya  Triman Laksana memuatkan 107 guritan di antaranya guritan péndék péndék yang padat. Tapi penyair ini suka menulis guritan yang panjang, padahal menulis guritan yang panjang memerlukan keterampilan  menata alur dan dinamika imaji yang saling terkait sehingga tidak terjadi loncatan-loncatan yang mengganggu keutuhan alur dan dinamika internalnya. Misalnya pada guritan  ”Wis Bén Bulan Mésem Sithik” alur gagasan yang akan disampaikan penyair ketika sedang merenungi panjangnya malam ada bulan yang menjadi saksi yang dihubungkannya dengan niat  penyair yang ingin menjala bulan. Pertanyaannya ialah apa hubungan kata-kata tersebut dengan pernyataan pada bait selanjutnya: “bisa gawé sikil / jumangkah nebahi jaman / tetep padha / kaya nalika kawuri ..” Larik-larik itu menunjukkan imaji dan gagasan yang tidak menyambung sehingga menyulitkan interprétsi.
                  
Kumpulan Guritan Kidung Lingsir Wengi karya penyair sénior dari Surabaya, Suharmono K. sebagian besar menggambarkan kedalaman renungan penyair tentang hidup dengan bahasa yang sederhana tapi indah seperti dalam  “Isih Ana Esem ing Dina  Iki” yang menggambarkan rasa simpati penyair kepada  pasangan tua yang sedang memancing. Meski meréka mempunyai mimpi-mimpi indah, tapi sudah  tersenyum kalau mendapat ikan yang memakan umpannya. Demikian pula dengan guritan i “Jalatunda”,  “Mecaki Dalam Kasetyan” dan “Nalika Tilik Omah”.
                  
Antologi guritan Misteri Misteri Wadi Winadi karya Sudi Yatmana terdiri dari  15 judul guritan yang pada setiap  guritan itu  terdapat penjelasan arti kaka-kata sulit, sehingga terkesan sebagai buku  pelajaran memahami puisi.
                  
Setelah mempertimbangkan semunya dengan seksama,  maka diputuskan bahwa buku  sastra Jawa terbitan 2013 yang terpilih sebagai penerima  Hadiah Sastera “Rancagé”  2014 buat karya  adalah
                                                      Kluwung
                                                      Kumpulan crita cekak karya Nono Warnono
                                                      Terbitan Alamatera, Yogyakarta 
                  
Kepada pengarangnya Nono Warnono  akan diberikan Hadiah Sastera “Rancagé” berupa  piagam dan uang (Rp. 5 juta).                                               
                  
Adapun yang terpilih sebagai penerima Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 buat jasa adalah
                                                      Dhanu Priyo Prabowo
                                                      Lahir di Kulonprogo, Yogyakarta,  15 Januari 1961.
                  
Lulusan  jurusan  Sastera Daérah Fakultas Sastera   UNS Surakarta (1985), dan Jurusan Ilmu Humaniora Fakultas Sastera UGM Yogyakarta (2000), Dhanu bekerja di Balai Bahasa Yogyakarta sebagai peneliti sastera. Dia aktif dalam kegiatan sastera di berbagai daérah, baik di  Yogyakarta, Jawa Tengah maupun di  Jawa Timur. Pada tahun 1991 ia terlibat membidani lahirnya Sanggar Sastera Jawa Yogyakarta dan menjadi Sékertarisnya (1991—1994). Dia juga menjadi penggagas dan wakil penyunting majalah intern sanggar tersebut bernama Pagagan.
                  
Dia juga terlibat dalam  kegiatan Féstival Kesenian  Yogyakarta sebagai Ketua Séksi Pergelaran Sastera Jawa pada tahun 1992, 1993, 1994, 1995, 1997 dan 1998. Dalam pergelaran itu terjadi kolaborasi pengarang  sastera Jawa dengan seniman-seniman dari  berbagai kesenian lain. Dalam kegiatan itu diterbitkan antologi geguritan dan cerita cekak berjudul Rembulan  Padhang ing Ngayogyakarta (1992), Cakramanggilan(1993), Pangilon (1994), Pésta Emas (1995) dan Pisusung (1997).
                  
Dia banyak menulis  ésai dan kritik sastera Jawa dimuat dalam berbagai penerbitan seperti Mekar Sari, Jaya Baya, Djaka Lodang, Panyebar Semangat, Jawa Anyar, dll. Juga dalam bahasa Indonésia dia banyak menulis  tentang sastera Jawa antaranya  dimuat dalam Kedaulatan Rakyat, Bernas, Solo Pos, Suara Merdéka, dll). Dia pernah menjadi wartawan majalah berbahasa Jawa Damarjati, Jakarta (2005-2006) dan sejak 2007 menjadi wartawan majalah Jaya Baya, Surabaya. Di kantornya ia menjadi anggota penyunting jurnal ilmiah Widyaparwa (sejak 2009).  
                
Dia juga sering diminta menjadi penyunting buku-buku sastera Jawa, di samping menulis buku bacaan anak-anak.
                  
Hasil penelitiannya tentang sastera Jawa  yang dikerjakan  secara pribadi al.Pengaruh Islam dalam Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita (2003), Pandangan Hidup Kejawén dalam Serat Pepali Ki Ageng Sela(2004), Dr. Sutomo dan Karyanya (2006),Penerbitan Novel-novel Jawa Pasca Pembentukan OPSJ     (2008), Diménsi Kemanusiaan dan Kebudayaan di dalam antologi Angin Sumilir karya Suripan Sadi Hutomo (2011),  Sistem Pengarang dan Kepengarangan Sastera Jawa Modéren 1980—1997 (2011) sedangkan yang dikerjakan secara bersama  al.  Glosarium Istilah Sastera Jawa (2007), Ensiklopédi Sastera Jawa (2010). Dalam keduanya   Dhanu menjadi Ketua Tim.  
                  
Kepada Dhanu Priyo Prabowo akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 berupa piagam  dan uang  (Rp. 5 juta).


Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 untuk sastera Bali

Buku karya  sastera Bali modéren yang terbit tahun 2013 ada 17 judul hampir dua kali lipat dari yang terbit tahun sebelumnya  (9 judul). Dari 17 judul itu, 8 di antaranya berupa drama. Yang lainnya  berupa roman, antologi puisi, dan antologi cerita péndék.
                  
Ke-8 buah drama itu adalah Mabéla Pati, Kuuk, Jepun Putih Akatih, Mulih, Dukana Pujangga, Pengguk, Dadi Ati dan Jayaprana-Layonsari semuanya  karya I Nyoman Manda yang karena pernah mendapat Hadiah “Rancagé” tiga  kali, telah  memutuskan agar karya-karyanya yang baru jangan dinilai untuk mendapat Hadiah “Rancagé”, karena  beliau ingin  memberi  kesempatan kepada pengarang  Bali yang muda-muda untuk memperoléhnya. Karena itu ke- 8  drama itu ditambah dengan sebuah kumpulan cerita terjemahan yang beliau kerjakan yaitu Kota-Harmoni, tidak dinilai untuk memperoléh Hadiah Sastera  “Rancagé” 2014. Setiap tahun ternyata beliau selalu menerbitkan karya yang baru lebih dari satu.   
                  
Di samping itu ada kumpulan cerita karya I Madé  Pasék berjudul  Anéka Warnayang juga tidak dinilai untuk mendapat Hadiah “Rancagé”  2014 karena merupakan cétak ulang.  Buku itu pertama kali terbit  tahun 1910-an sebagai buku pelajaran membaca  di sekolah dasar pribumi.
                  
Dengan demikian buku terbitan tahun 2013  yang dipertimbangkan  untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 adalah dua buah roman yaitu Benang-benang Samben karya IGG Djelantik Santha dan Sing Jodoh karya I Madé Sugianto, dua buah kumpulan puisi yaitu Padang Tuh karya Tudekamatra  dan Ngantih Bulan karya IDK Raka Kusuma dan tiga kumpulan cerita yaituTutur Bali karya I Wayan Westa, Nguntil Tanah Nulèngèk  Langit karya I Madè Suarsa danBulan Satwak karya Agus Sutrarama.    
                  
Roman Benang-benang Sumben karya IGG Djelanitk Santha  adalah kisah remaja désa yang giat belajar  dan manikmati romantika cinta. Tokoh-tokohnya dilukiskan tekun belajar sejak SMP sampai menyelesaikan pendidikan tingkat diploma atau sarjana, walaupun meréka miskin. Di dalamnya banyak disinggung  nilai-nilai agama seperti status kasta, pernikahan saling-memiliki (pada gelahang), hukum karma dan insés. Pengarang melukiskan terjadi insés antara adik-kakak (kembar buncing), namun meréka baru mengetahui bahwa meréka kembar buncing setelah yang perempuan hamil. Meréka tidak boléh menikah. Orang tua yang mengambil bayi itu dari rumah sakit mengalami berbagai masalah hukum yang pelik yang menekan batin, sampai meréka mengalami kecekaan parah walaupun tidak sampai meninggal. Semua krisis itu dilukiskan pengarang sebagai hukum karma karena ketika melakukan serah-terima bayi di rumah sakit tidak disertai dengan ritual adat/agama.
                  
Sing Jodoh karya  I Madé Sugianto mengisahkan gagalnya percintaan  dua orang remaja. Ketika si perempuan hamil silelaki menyatakan tidak siap untuk menikah karena miskin. Dia minta agar kandungan digugurkan. Tapi saran itu ditolak. Tanpa pamit si laki-laki pergi ke Batam dan tidak pernah menghubungi  pacarnya. Si perempuan menderita lebih-lebih karena dia diperkosa. Untung orangtuanya berhasil mengawinkannya dengan laki-laki lain. Beberapa tahun kemudian silaki-laki pulang dari Batam dengan  maksud hendak menikahi pacarnya.  Bahasanya lancar, témanya cocok untuk bacaan remaja agar meréka berhati-hati kalau berpacaran. Sayang tidak ada pendalaman téma dan nalai-nilai.
                  
Sepuluh cerita  yang dimuat dalam Bulan Satwak karya  Agus Sutarman kebanyakan mengenai cinta remaja. Dilukiskan dengan bahasa sederhana, cerita-cerita itu mampu membangun  kisah yang menarik. Hal itu menunjukkan bahwa  penulisnya,  Agus Sutrarama,  memiliki bakat yang baik bercerita,  menguasai pengaluran, memiliki keterampilan membangun struktur cerita dan memiliki  kemampuan memilih éksprési untuk melukiskan suasana yang tepat.
                  
Nguntil Tanah Nulèngèk Langit karya I Madè Suarsa memuat sebelas cerita yang sebagian besar mengisahkan tragèdi kehidupan tokoh-tokohnya entah karena kemiskinan atau  kelemahan atau karena keduanya. Cerita “Dadong Kuning”  misalnya mengisahkan seorang nénék miskin  yang diperberat oléh karena harus menghidupi cucu yang ditinggal orangtuanya. Kisah yang menyentuh tapi kurang konflik. Cerita “Bungan Srama, Bungan Satua, Bungan Sétra” melukiskan seorang isteri yang menggantung diri karena derita dan beban hidup. Suaminya penjudi dan sedang meringkuk di penjara. Dengan akal-akalan akan bisa membébaskan suaminya seorang polisi merayu si janda agar mau ditiduri. Ciri khas cerita-cerita I Madé Suarsa adalah bahasanya yang liris, penuh dengan  syair sehingga terasa berirama.
                  
Tutur Bali  karya I Wayan Westa memuat  42 kisah  yang sangat péndék, semuanya sengaja ditulis untuk memberi naséhat (tutur). Témanya sangat beragam dan rélevan dengan kehidupan kontémporér seperti  soal  penyakit  AIDS,  téroris, donor darah, dll. Kekuatan cerita-cerita dalam  buku ini adalah keseimbangan antara bentuk dengan isi, keduanya selaras, sama kuat antara kisah dengan tutur. Tutur disampaikan dalam dialog dengan narasi atau déskripsi yang minim tapi membangun suasana. Judul buku dan isi serasi sekali. Bahasanya jernih dan kuat. Baik kalau dijadikan buku téks di sekolah sebagai bacaan buat  pengayaan bahasa Bali di sekolah karena isinya bermanfaat untuk pembinaan watak berdasarkan  kearifan lokal.
                  
Kumpulan puisi Padang Tuh karya Tudékamatra (ps. I Putu Gede Raka Prama Putra) témanya banyak yang menarik antaranya  berupa  kritik sosial, renungan tentang nilai, pesan-pesan ketabahan menghadapi hidup. Sajak “Peluru Anak Bali” berisi sindiran kuat kepada sesama orang Bali yang suka bertengkar  padahal mestinya rukun. Eksprésinya sederhana,  jelas dan utuh. Penyair muda  ini mempunyai kemampuan untuk menulis sajak yang menjadikan  apa yang ada di alam semesta (makrokosmos) sebagai landasan atau asosiasi untuk melukiskan apa yang ada   dalam jiwa (mikrokosmos), misalnya sajak “Segara Indria” yang mengasosiasikan ombak di samudera dengan ombak dalam hati. Sayang kualitas sajak-sajak dalam Padang Tuh  ini tidak merata.
                  
Sebagian besar sajak yang dimuat dalam Ngantih Bulan karya  IDK Raka Kusuma témanya bersifat  mistis. Bait-baitnya péndék-péndék, kalimat-kalimatnya pun péndék, namun  mampu melukiskan gambaran yang kompléks. Banyak juga  yang merupakan sajak   panjang yang menggarap téma naratif tapi tetap dengan baris-baris yang péndék. Misalnya sajak “Ngutus Nyama”  yang dituangkan dalam lima bagian sepanjang tujuh halaman, berkisah tentang hal mistis dalam kepercayaan masyarakat Bali yakni tentang lima saudara-maya yang dimiliki setiap  orang. Ungkapan dalam sajak-sajak ini terjaga dalam rima. Rima memperkuat éstétika sajak. Makna sajak-sajaknya tersembunyi dalam lapisan-lapisan  éksprési  -- sesuatu yang  pembaca awan akan terbata-bata menyimaknya.
                  
Maka setelah dipertimbangkan dengan seksama akhirnya diputuskan untuk memberikan Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 buat karya dalam sastera Bali kepada:

                                                      Tutur Bali
                                                      Kumpulan cerita karya I Wayan Westa
                                                      Terbitan Deva Charity (Utrecht, negeri Belanda)
                  
Kepada I Wayan Westa akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé’ 2014 untuk karya berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).

                  
Sedangkan Hadiah  Sastera “Rancagé” 2014 untuk jasa dalam sastera Bali akan dihaturkan kepada
                                                                        I Gusti Madé Sutjaja
                                                                       Lahir Oktober 1944
                  
I Gusti Made Sutjaja adalah ahli bahasa dengan latar-belakang  pendidikan bahasa Inggris. Dia menyelesaikan  Master (1984) dan doktor (1988) di The University of Sydney, Australia. Sejak 1990-an menaruh perhatian pada  pengembangan bahasa dan sastera Bali melalui riset dan publikasi. Karya-karyanya mendorong publik untuk memperdalam dan memperkenalkan  bahasa Bali ke masyarakat internasional.  Tahun 2012—2013 IGM Sutjaja aktif mendukung perjuangan para mahasiswa dan guru yang tergabung dalam  Aliansi Peduli Bahasa Bali agar bahass Bali masuk dalam Kurikulum dunia  pendidikan.
                  
Dia menyusun kamus Bahasa Bali-Indonésia-Inggris dan buku pelajaran bahasa Bali untuk umum dan wisatawan. Dia juga menyusun Concise Balinese Dictionary  (2009), dan Everyday Balinese: Your Guide to Speaking Balinese Quickly and Effortlessly in a few hours (2009), Kamus Praktis Jepang-Indonésia-Bali (2013).
                  
IGM  Sutjaja juga memperkenalkan kembali kekayaan  sastera Bali dengan menerbitkan karya-karya geguritan sepertiGeguritan  Amad Muhamad, Geguriitan  Siti Badariah, Pupulan Satua Bali, dll. Karya-karya sastera  tradisional itu banyak dikenal masyarakat karena diturunkan secara lisan tetapi teks tertulis berupa  buku tidak  mudah didapat.
                  
Tahun 2006, Sutjaja menerbitkan buku Belajar Menulis Hanacaraka léwat Bahasa Indonésia sebagai bagian dari usahanya untuk memperkenalkan aksara  Bali kepada publik. Buku itu melengkapi kehadiran sistim penulisan aksara Bali léwat piranti lunak MsWord untuk Window yang disebut Bali Simbar. Penggunaan Bali Simbar dilakukan Sutjaja sejak 1998 ketika menerbitkan Pesalin Gaguritan Transmigrasi ka Lunyuk Pakaryan Jro Mangku Lunas. Selain memindahkannya ke dalam aksara Bali, Sutjaja juga menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonésia dan bahasa Inggris.
                  
Menjelang pensiun Sutjaja pertama mengumpulkan kosa kata Bali untuk membuat database bahasa Bali buat keperluan pendidikan. Kosa kata itu ditulis dengan huruf Latin dan Bali Simbar. Kedua mengumpulkan cerita rakyat Bali yang kemudian ditulis ulang dengan Bali Simbar, di samping membuat cerita baru yang mengikuti pola  tradisi namun témanya masalah masa kini seperti soal kebersihan, limbah dan daur ulang.
                  
Sebagai penghargaan terhadap usahanya membina dan mengembangkan bahasa dan sastera Bali, Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 untuk jasa dalam bahasa Bali, dihaturkan kepada  I Gusti Madé Sutjaja berupa  piagam dan uang (Rp. 5 juta).

Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 untuk sastera Lampung

Tahun 2013 dalam bahasa Lampung terbit dua buku, satu kumpulan  sajak sedang  yang satu lagi kumpulan cerita. Kumpulan sajak berjudul Suluh karya Fitri Yani, sedang kumpulan cerita berjudul Tumi Mit Kota  karya  Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti .
                   
Warna lokal Lampung yang begitu mencolok dalam Suluh membuatnya lebih lengkap sebagai  karya sastera Lampung. Bukan saja karena disajikan dalam bahasa Lampung melainkan juga membicarakan perkara kelampungan. Tidak ada satu pun sajak yang dimuat dalam Suluh yang tidak mengandung warna lokal  Lampung, utamanya Lampung Barat. Dan warna lokal Lampung itu tidak hanya sekedar témpélan, melainkan sebagai unsur utama.  Judul-judulnya pun banyak yang membuktikan hal itu.
                  
Sebaliknya kehadiran warna lokal Lampung  itu kurang nampak dalam cerita-cerita yang dimuat dalam Tumi mit Kota. Téma ceritanya banyak yang mengarah pada persoalan yang biasa kita jumpai dalam cerita péndék atau roman sastera Indonésia. Di samping itu cerita-cerita dalam Tumi Mit Kota tidak berhasil menggarap kisahannya agar memikat secara naratif. Belum sampai pada upaya bercerita yang bertolak  dari penggarapan konflik dengan memuaskan.
                  
Namun Suluh juga bukannya tanpa kelemahan. Akan tetapi karena jenisnya puisi, penyair agak leluasa memanfaatkan berbagai cara membangun satuan-satuan makna, utamanya bait. Suluh tersaji dalam banyak pola bait: satu larik sebait, dua, tiga, empat larik sebait, atau lebih.  Lain dari itu Suluh memberikan sejumlah métafora yang unik, barangkali  diambil dari khazanah puisi tradisional Lampung.
                  
Karena itu maka diputuskan bahwa Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 buat karya dalam sastera Lampung  diberikan kepada:

                                                                       Suluh
                                                                       Kumpulan sajak oléh  Fitri Yani
                                                                       Terbitan Lampung  Literature, Lampung.
                   
Kepada pengarangnya, Fitri Yani, akan disampaikan Hadiah      Sastera “Rancagé”  berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).    
                   
Seperti yang sudah-sudah, untuk sastera Lampung tidak diberikan hadiah untuk jasa.


Hadiah Samsudi 2014 untuk  bacaan kanak-kanak dalam bahasa Sunda

Di antara 42 judul buku Sunda yang terbit tahun 2013, ada  9 judul buku bacaan kanak-kanak dan remaja.  Di antaranya ada tiga judul yang baru dan  dinilai untuk mendapat Hadiah Samsudi. Ketiga judul itu adalah Dirawu Kélongkarya Ahmad Bakri, Prasasti nu Ngancik  na Ati karya Popon Saadah dan Persib nu Aingkarya Dédy Windyagiri.
                  
Dirawu Kélong karya Ahmad Bakri menceritakan kehidupan anak-anak di kampung. Jang Udin anak Jurutulis Désa digambarkan sebagai anak yang kritis dan suka bertanya, rajin, suka bekerja membantu orang tua dan sangat mempedulikan orang lain. Bahasa dan dialog-dialog  ciri khas Ahmad Bakri, mengalir dengan menarik. NamunDirawu Kélong disajikan secara linier dan sangat didaktis.
                  
Persib nu Aing karya Dédy Windyagiri berisi cerita-cerita yang beragam téma dan sangat banyak yang diceritakannya sehingga tidak memberi gambaran  yang utuh. 
                  
Prasasti nu Ngancik na Ati karya Popon Saadah alakah cerita cinta segi tiga. Tokoh aku bernama Rinega sejak kecil berkawan dengan Prasasti  anak campuran Batak-Sunda, yang adakah tetangganya.  Pertemanan itu kemudan tumbuh menjadi cinta, tetapi keduanya  tidak berani berterus-terang. Sementara itu datang orang ketiga, Fauzan,   teman sekampus yang sudah sarjana yang secara terang-terangan menyatakan cintanya  kepada Rinega.
                  
Kekurangan yang terasa dalam cerita ini adalah penggunaan bahasa Sunda yang terasa mengganggu karena pengarang menggunakan kata-kata  yang kurang tepat. Misalnya kata “ngahanakeun” dalam kalmat “Tuh tempo si Pras, ka kolot téh tara ngahanakeun”  (h. 10). Mungkin yang dimaksud adalah “ngahésékeun”. “Ku saliwatan ,mah asa taya kacawadna” (h. 99). Mungkin yang dimaksud  “taya cawadeunana:”. Seharusnya hal demikian itu ditangani oléh redaktur penerbitnya.
                  
Maka pemenang Hadiah Samsudi 2014 adalah

                                    Prasasti nu Ngancik na Ati
                                    Karya Popon Saadah
                                    Terbitan Green Smart Books Publishing, Bandung
                                    
Kepada Popon Saadah akan disampaikan  Hadiah Samsudi 2014 berupa piagam dan uang Rp. 5 juta.

                  
Upacara penyerahan Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 dan Hadiah Samsudi 2014 akan dilaksanakan atas kerjasama dengan unversitas yang sekarang masih belum ditetapkan. Begitu juga waktunya. Kalau sudah  ada kepastian, insya Allah akan segera diumumkan.

Pabélan, 31 Januari 2014
Yayasan Kebudayaan “Rancagé”

Ajip Rosidi
Ketua Déwan Pembina

1 comment:

  1. http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/2014/02/pengumuman-hadiah-sastra-rancage-2014.html

    ReplyDelete