January 19, 2014

[Lampung Tumbai] Pandangan Pertama pada Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


Gadis Lampung, tanpa tahun
(Tropen Museum, Amsterdam)
PADA 1810, Sultan Palembang memutuskan untuk menjual timah dari Pulau Bangka kepada Inggris. Ia tak mau lagi bekerja sama dengan Belanda. Ketika itulah, Marsekal Daendels di Batavia mulai melirik Lampung. Ia berniat menyerang pertahanan Sultan Palembang dengan mengirimkan pasukan-pasukan untuk menyerang Palembang melalui Sungai Tulangbawang.

Akan tetapi, sebelum niat itu dapat diejawantahkannya, Inggris merangsek masuk Pulau Jawa. Daendels kerepotan membela diri sehingga ia tak sempat lagi memikirkan Lampung dan punggung Sultan Palembang yang hendak ditusuknya dari belakang.


Sejarah mencatat bahwa Inggris bertakhta sebentar di Pulau Jawa. Selama itu, mereka tidak memperhatikan keberadaan Lampung di ujung selatan Pulau Sumatera. Ketika wilayah-wilayah nusantara dibagi-bagi di antara Belanda dan Inggris, pada 1817 orang Belanda mengutus J.A. Du Bois dan pasukan kecil untuk meredakan keresahan di Lampung (yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Banten).

Tak banyak yang dapat dilakukan orang Inggris ketika melihat Belanda mulai bercokol di Lampung. Tak ada yang dapat dilakukan karena sesuai perjanjian, mereka tak berhak atas daerah itu karena Lampung (dianggap) berada di bawah kekuasaan Banten. Dan, Banten termasuk dalam wilayah yang diperuntukkan Belanda. Du Bois memantapkan keberadaan Belanda di Lampung dan memperoleh anggaran untuk memerintah sekitar 80 ribu jiwa di sana.

Ketika itu, hampir semua dusun, bahkan setiap suku, dipimpin oleh seorang kepala atau pangerannya masing-masing. Setiap dusun, suku dan pangeran itu berdiri sendiri sehingga terkesan banyak pusat-pusat kekuasaan di Lampung, yang satu sama lain tidak saling menyukai dan tidak berhubungan. Pelanggaran adat atau kejahatan biasanya dihukum dengan sanksi pembayaran denda. Tindak pembunuhan pun dikenai sanksi denda saja. Setiap orang sepertinya memiliki nilai nominal tertentu, tergantung dari kedudukan sosialnya dan/atau keluarganya. Besarnya denda yang dijatuhkan bila membunuh seseorang ditentukan oleh kedudukan sosial orang yang dibunuh itu. Denda yang tinggi dikenakan bila orang kaya dan penting dibunuh; denda yang lebih rendah dikenakan bila membunuh rakyat jelata!

Seseorang yang berkelana di Lampung pada masa itu akan terkesan oleh belantara yang menghijau ke mana pun mata memandang. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik, burung-burung dan binatang-binatang di balik pohon. Jarak di antara dusun yang satu dengan dusun yang lain teramat jauh. Tak banyak manusia yang tampak. Tanah di Lampung memang sangat baik untuk usaha pertanian. Namun, sawah atau ladang ditanami padi hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Persediaan tenaga kerja tak pula cukup untuk membuat sawah atau ladang yang lebih besar.

Penduduk Lampung juga menanam tembakau. Tetapi ini pun hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Gading dan emas pun ada, tetapi dalam jumlah yang sangat terbatas. Hasilnya tidak sebanding dengan tenaga yang harus dikeluarkan untuk memperoleh kedua komoditas itu. Emas di dalam kandungan pasir di sungai tidak pula terlalu banyak. Ketika P.P. Roorda van Eysinga datang ke Lampung, kebun-kebun lada penduduk banyak yang terbengkalai dan tidak terurus.

Dahulu kala, petani lada yang rajin dan banyak menghasilkan sering mendapatkan status sosial, bahkan gelar tertentu. Akan tetapi, pemberian gelar-gelar dan status sosial tinggi itu menyebabkan meningkatnya jumlah orang-orang “penting”. Orang-orang ini kemudian cenderung tidak lagi mau bekerja di ladang dan kebunnya. Akibatnya, mereka—yang tadinya kaya—jatuh miskin. Atau, bila mereka berkuasa dan memiliki banyak pengikut, pengikut itulah yang dipaksa bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan tuannya.

Banyaknya orang berstatus sosial tinggi dengan gelar-gelar tertentu membawa dampak lain: banyak gadis Lampung yang sukar bertemu jodoh. Adat perkawinan di Lampung menentukan bahwa calon mempelai lelaki harus membayarkan sejumlah uang sebagai maskawin. Di mata orang Belanda seperti P.P. Roorda van Eysinga, kebiasaan itu seperti transaksi dagang. Ia lalu menulis: “De lampungse meisjes worden als het ware aan de minaars verkocht” (Bahasa Indonesia: “Gadis-gadis Lampung dijual kepada kekasih mereka.”). Selama maskawin itu belum dilunasi, mempelai lelaki dianggap masih berutang dan harus memberikan tenaganya untuk kepentingan mertuanya. Utang maskawin itu diwariskan kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan itu bila si laki-laki tadi meninggal tanpa melunasi utangnya.

Nyatanya, semakin tinggi status sosial sang ayah, semakin tinggi pula jumlah maskawin yang harus dibayarkan. Terkadang seorang lelaki terpaksa menggadaikan harta-bendanya untuk membayar maskawin itu. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan konflik berkepanjangan di antara anggota-anggota keluarga. Hampir semua perjanjian disepakati secara lisan sehingga sulit ditelusuri lagi di kemudian hari.

Penilaian seperti di atas sering terbaca di dalam tulisan-tulisan dari akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Ketika itu, orang Eropa menganggap diri sebagai manusia sempurna utusan Tuhan untuk mendidik orang-orang yang berkulit berwarna. Itu adalah tugas mulia orang berkulit putih, kata mereka. A white man’s burden.

Pemikiran itu berakibat munculnya pemikiran bahwa segala sesuatu yang lain (dan tidak dipahami) tidak beradab. Lalu, setelah beberapa kali saja mengunjungi Lampung, P.P. Roorda van Eysinga menyimpulkan: “Orang Lampung menganggap pemikiran dan budayanya sendiri paling baik dan benar.”

Lucunya, ia tidak menyadari bahwa ia sendiri berpikir bahwa pemikiran dan kebudayaan Belanda-lah yang paling baik dan benar! n

Pustaka Acuan:
P.P. Roorda van Eysinga. “Beschouwing van den staat der nog weinig bekende Lampongs” dalam  Verschillende Reizen en Lotgevallen van S Roorda van Eysinga (Amsterdam: Johannes van der Hey & Zn. 1832).

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Januari 2014

No comments:

Post a Comment