January 19, 2014

[Fokus] Kuliner Menjemput Konsumerisme Bandar Lampung

Oleh Meza Swastika


RUANG restoran seluas lapangan futsal di salah satu mal di pusat Kota Bandar Lampung itu penuh dengan pengunjung. Tak tersisa satu meja pun.

Suasana sebuah tempat kuliner di Bandar Lampung.
Enam remaja yang masih berseragam putih abu-abu itu terpaksa masuk daftar tunggu urutan ketiga dari dua tamu lain yang juga menunggu agar bisa mendapat tempat di restoran cepat saji itu.


Pemandangan seperti ini nyaris tak berubah setiap harinya. Jam makan siang ataupun makan malam restoran yang bertajuk menu bintang lima harga kaki lima ini selalu penuh. "Biasanya setiap weekend juga selalu penuh," ujar salah seorang pelayan restoran itu. Dengan menu yang variatif dan harga yang relatif terjangkau, pemandangan meja-meja yang penuh memang menjadi lazim. Bisnis kuliner di Bandar Lampung kini memang tengah booming. Hampir setiap hari ada rumah makan-rumah makan baru yang ikut bersaing mencicipi gurihnya bisnis kuliner ini.

Dari yang hanya warung makan biasa sampai rumah makan yang menawarkan suasana yang serbaada.

Budaya konsumtif yang disebut sosiolog Unila, Bartoven Pipit, adalah tren masyarakat urban yang terus merangsek. Apalagi makanan memang menjadi faktor pemicu sehingga menjadikan bisnis kuliner dari yang hanya kaki lima sampai kelas mewah menjadi peluang bisnis yang besar kini.

Budaya ini, katanya, tak hanya dimiliki oleh kalangan menengah ke atas semata, tapi hampir menyentuh semua lapisan. Rasa penasaran yang tinggi untuk mencoba sesuatu yang baru, khususnya dalam hal pangan dan sandang, membuat keadaan ini menjadi buruk karena hanya tergantung pada tren semata.

"Lagi musim pecel lele, semua rumah makan yang menjual menu pecel lele ramai. Nanti kalau ada menu baru, yang lama ditinggalkan," kata dia.

Tapi, Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Lampung Yaman Aziz menyebut banyaknya rumah makan maupun restoran baru yang bermunculan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari wisata kuliner justru belum mengarah pada kaidah-kaidah wisata kuliner yang seharusnya.

Bertumbuhnya rumah makan di Bandar Lampung yang bak jamur di musim hujan, menurut Yaman, masih belum memenuhi standar untuk menyebut Kota Bandar Lampung sebagai kota wisata kuliner.

Pelayanan rumah makan yang masih buruk, kebersihan rumah makan yang ala kadarnya, sampai belum ramahnya pelayan terhadap pengunjung membuat deretan rumah makan yang ada di Bandar Lampung belum sampai pakem pariwisata. "Dari kelas gambreng sampai restoran China masih belum ramah untuk pengunjung," kata Yaman.

Satu lagi, Yaman menambahkan, meski ada ratusan rumah makan di Bandar Lampung, yang menawarkan menu khas masakan Lampung masih bisa dihitung dengan jari. Padahal, wisata kuliner tak melulu tentang makanan dan suasana yang ditawarkan, tapi juga tentang identitas sebuah daerah melalui makanannya.

"Coba hitung ada berapa banyak rumah makan yang menawarkan pindang atau sambal seruit? Tak banyak,? kata dia.

Ia melihat ada sisi pembinaan yang belum dilakukan oleh pemerintah akibat kebanyakan pengusaha rumah makan yang cenderung main terabas dalam hal mengurus perizinan untuk membuka usaha rumah makan. "Yang ada di benak pengusaha bagaimana bisa mendapat untung. Akibatnya, bagian-bagian dari pelayanan, seperti keramahan, kebersihan justru diabaikan, ini akibat proses perizinan yang asal main terabas saja.?

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bandar Lampung Rifa'i terkesan tak mau mengomentarinya. Dihubungi melalui ponselnya, Rifa'i justru menolak untuk berbicara tentang menggeliatnya wisata kuliner di Bandar Lampung. "Saya enggak mau komentar," ujarnya sembari menutup telepon selulernya. (M1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Januari 2014

No comments:

Post a Comment